Kasus video Somad yang belakangan ramai bergulir merupakan hal yang luar biasa. Kental sekali aroma provokasinya.
Coba perhatikan akan 1 hal. Bagaimana mungkin video lawas tiba-tiba menjadi viral saat peringatan HUT RI? Apa tujuannya?
Tentang hal ini saya pernah ulas dalam tulisan saya sebelumnya. Ok, saya coba ingatkan kembali, deh…Tujuannya sebenarnya ada 2.
Pertama adalah untuk mengisi kekosongan kepemimpinan yang ada dikalangan gerombolan kadal gurun pasca pilpres. Kita tahu bahwa setelah Prabowo yang dijadikan tokoh perlawanan oleh mereka selama ini kemudian membelot ke PDIP. Praktis mereka nggak punya kuda tunggangan lagi.
Putar-putar otak, siapa yang bisa menggantikannya? Terpaksa Somad-lah yang kemudian didaulat. Siapa lagi yang bisa diandalkan?
Somad butuh panggung untuk melambungkan namanya, dan HTI grup menyediakan panggung itu. Sebagai gantinya, mereka mendapatkan simbol perlawanan baru yang bernama Somad. Simbiosis mutualisme terjadi dan yang terpenting api perlawanan bisa tetap menggelora.
Kedua, adalah mengukur kedalaman air alias testing the water. Maksudnya? Untuk mengetahui seberapa digdaya kekuatan mereka setelah pilpres 2019 berlangsung. Masih kuat apa sudah letoy?
Untuk kedua tujuan tersebut, maka skenario dijalankan. Bagaimana jalan ceritanya?
Dengan adanya kasus video tersebut, diharapkan kelompok minoritas akan berbondong-bondong mengambil langkah hukum, karena merasa keyakinannya telah dilecehkan.
Singkat cerita, ada aksi, maka ada reaksi. Isu Somad yang didzolimi oleh minoritas kemudian digoreng-goreng sedemikian hingga untuk menggelembungkan aksi togel berjilid seperti tempo hari. “Minoritas mulai ngelunjak terhadap eksistensi mayoritas,” begitu isu yang akan dihembuskan.
Dan kalo sudah membenturkan konsep minoritas versus mayoritas, maka penggelembungan massa akan lebih mudah dijalankan. Tengok kasus Ahok.
Coba bandingkan dengan kasus rusuh Mei 2019 yang lalu.
Pada kasus Ahok, ada musuh bersama ummat, yaitu si kafir yang menista agama. Sementara pada kasus rusuh Mei 2019, musuhnya adalah rejim yang mereka sebut dzolim. Dan bicara negara, jelas bukan musuh bersama yang akan mudah dijual untuk mengundang simpati ummat.
“Masa iya musuhnya negara terus nyuruh ujug-ujug nyuruh ummat jihad? Yang bokir…”
Sayangnya, upaya provokasi ini nggak matang ditataran wacana. Karena ternyata skenarionya mirip sinetron yang mudah ketebak jalan ceritanya.
Nggak ada organ minoritas yang kemudian mengadukan kasus Somad ke jalur hukum. Bahkan PGI-pun tidak setuju kalo ucapan Somad dibawa ke ranah hukum (20/8).
PGI mungkin sadar diri. “Buat apa cari ribut, lha wong NU dan Muhammadiyah aja lebih milih tutup mulut dalam hal ini.” Artinya, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi mereka, kalo memperpanjang kasus ini. Walaupun secara prinsipil ada celah hukum yang bisa dimainkan.
Pendapat umum yang mewakili mungkin yang diucapkan oleh seorang pengurus Muhammadiyah bernama Abdul Rohim Ghazali, yang ngeh bahwa ada yang salah dalam isi ceramah si Somad.
“Saya tidak bisa membayangkan jika itu terjadi pada tokoh agama lain yang menghina simbol Islam. Bisa menjadi gelombang tsunami yang berjilid-jilid, dan pelakunya bisa dituntut hukuman yang sangat berat.” (Tempo, 18/20)
Meskipun sekali lagi suara ARG bukan merupakan suara representasi Muhammadiyah, namun secara nalar menyatakan kasus tersebut memang bermasalah. Namun nggak guna juga diperpanjang karena lebih banyak buntungnya daripada untungnya.
Merasa bahwa provokasinya nggak berhasil, maka HTI grup mulai mati gaya. Malah sasus yang saya dengar, ada beberapa simpul yang coba memainkan aksi bela ulama pada Jumat ini (23/8) di sejumlah masjid.
Lucu juga, mengingat sejauh ini nggak ada yang mempermasalahkan Somad yang bisa dijadikan senjata mereka untuk menaikkan isu “mendzalimi ulama kami”. Pertanyaannya: menapa musti ngotot menggelar aksi? Lha kan mereka sendiri yang memprovokasi?
Selidik punya selidik, ternyata ada agenda besar yang akan digelar oleh Jokowi pada akhir Desember nanti, terhadap sejumlah kementerian dan BUMN strategis. Mengenai hal ini saya sudah membahasnya beberapa kali. Inilah yang jadi sebab utama mereka ngotot menggelar aksi.
Dan jika agenda ini dijalankan, maka periuk nasi para donatur yang selama ini menjadi penyumbang aksi togel, jelas dalam bahaya. Dengan kata lain, upaya provokasi dilakukan untuk prakondisi terhadap agenda tersebut.
“Bagaimana kita menyikapinya, bang?” tanya seseorang.
“Jangan sekali-kali ditanggapi. Anggap aja angin lalu. Ntar juga keok sendiri” jawabku. Walaupun kita tahu bersama, soal urusan provokasi, HTI selaku organisasi klandestin memang ahlinya. Selalu ada celah untuk memainkan agenda mereka, dengan berbagai cara.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments