“Bagaimana langkah yang paling tepat dalam menuntaskan kasus Enzo?” begitu pertanyaan yang saya dapat pada sebuah komen di laman facebook.
Tentang ini saya pernah ulas. Mau tidak mau, langkah tegas harus dilakukan pada semua pihak yang terbukti berafiliasi dengan HTI sebagai perongrong ideologi negara Indonesia saat ini.
Terserah terima atau tidak, at least saya sudah kasih masukan.
Kalo alasannya adalah Enzo seorang muda yang masih belum tahu ideologi itu seperti apa, maka alasan ini jadi mengada-ada. Pertanyaan saya balik, apabila Enzo tercantum profile picture seseorang yang membawa bendera palu arit, apakah kejadiannya akan sama? Kenapa harus tebang pilih?
Selain itu, kalo berpatokan pada prinsip orang-orang seperti Enzo kelak akan dikader oleh HTI untuk menjadi pelaku teror, juga nggak masuk diakal. Kenapa?
Karena kita punya setidaknya BNPT dan Densus 88 yang tugasnya menanggulangi teror. Apakah kita mau menegasikan tugas penting mereka?
Bahwa pembangunan meninggalkan residu, nenek-nenek juga sudah tahu akan hal itu, There’s no perfect system in this world, guys. Semua meninggalkan term yang namanya kaum pinggiran alias kaum yang tersisihkan sebagai dampak dari pembangunan.
Untuk itu justru peran negara ada untuk merangkul mereka. Masalahnya, apakah jalan? Kan nggak. Kenapa? Karena lembaga negara yang harusnya menangani hal ini abai. Atau jangan-jangan lembaga negara tersebut malah jadi bagian dari kelompok HTI?
Permasalahan utama kaum pinggiran adalah urusan ekonomi. Masalah yang lain memang penting, namun bukan yang terpenting. Bisakah orang yang urusan perutnya dan urusan keduniawian lainnya sudah terpenuhi, gampang dipengaruhi kelompok HTI? Apa untungnya terima konsepsi HTI buat mereka?
Terus, bagaimana langkah kongkrit menumpas gerakan HTI?
Butuh kepemimpinan yang kuat. Setidaknya itu yang dilontarkan oleh pak Tito selaku Kapolri kalo kita hendak menumpas gerakan HTI sampai ke akar-akarnya. Dimulai dari kasus Enzo.
Dulu di 2013 kata pak Tito, polisi nggak berani menindak kelompok HTI, karena tidak adanya strong leadership dari tampuk kepemimpinan nasional yang memberi endorsement. Padahal gerakan itu sudah demikian liarnya.
Negara abai saat itu, akibatnya yah begini kejadiannya sekarang. Mereka sudah cepat membesar, karena penanganan yang bertele-tele.
Nah, langkah Jokowi untuk membubarkan HTI adalah sebuah langkah super berani. HTI yang ‘katanya kuat’, nyatanya, nggak bisa apa-apa juga. Karena nyalinya kurang banyak daripada nyali yang dipunyai sang tukang kayu.
Berikutnya apa? Yah tindakan tegas yang kita sedang tunggu-tunggu.
Lihat sejarah, bagaimana negara-negara Arab menangani kelompok Hizbut Tahrir. Apakah persuasif? Lihat juga, bagaimana stabilitas yang diterapkan oleh Orde Baru terhadap kelompok-kelompok yang ditenggarai sebagai ‘setan gundul’ bisa diterapkan. Apakah pakai cara persuasif?
Saya paparkan ini, bukan berarti saya pro-Orde Baru. Sayapun bagian dari korban kebiadaban rejim Orde Baru. Berapa waktu saya terbuang, hanya untuk melawan rejim Soeharto, saat yang lain masih tiarap? Apakah waktu dan pengorbanan yang saya pernah buat, akan terbuang? Sama sekali nggak.
Sampai sekarangpun, selaku mantan aktivis 98, saya nggak bisa memaafkan rejim otoriter bernama Orde Baru tersebut.
Namun saya harus jelas melihat, bahwa yang namanya sampah sekalipun pasti ada juga gunanya. Begitupun dengan penanganan keamanan negara gaya eyang Harto. Kalo itu bagus dan terbukti efektif, kenapa nggak dilakukan oleh pakde?
Selaku pengamat, saya melihat upaya pembubaran HTI oleh pemerintah berakhir anti klimaks. Kok bisa? Lihat saja kader-kader HTI yang sampai sekarangpun masih bebas mondar-mandir beraktifitas menyebar konsepsi khilafah ala mereka di masyarakat. Kenapa bisa terjadi? Apa ada tindakan tegas?
Jadi jangan heran, bahwa HTI akan terus bergerilya untuk menyentuh akar rumput. Pembiaran yang dilakukan, lah yang membuat mereka bisa bebas melenggang.
Sebaliknya, tindakan tegas dari pemerintah saya yakin akan mampu membuat mereka berpikir dua kali untuk melakukan kerja-kerja politik mereka ke depannya. Minimal mereka akan berpikir, “Si tukang kayu ternyata nggak seperti rejim terdahulu yang karakternya lembek.”
Kita boleh berdamai dengan semua pihak demi tegaknya stabilitas nasional. Itu saya sepakat.
Tapi berdamai dengan ormas perongrong ideologi negara, itu lain lagi ceritanya brayy…. Ibarat kita pelihara ular kobra dari kecil karena kita anggap jinak. Namun percayalah, begitu dia membesar, maka kitapun akan digigitnya.
Jadi tolong bedakan antara musuh taktis, musuh stategis dan musuh ideologis. Apa jangan-jangan nggak tahu, maka semua musuh dianggap sama? Cilaka dua belas, Malih…
Ahh, jalan masih terasa panjang diperiode kedua ini.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments