Warisan Kopit
Oleh: Ndaru Anugerah – 28022025
Apa legacy alias warisan dari plandemi Kopit?
Tentu saja, New Normal. Semua yang nggak lazim, diperkenalkan seiring plandemi Kopit yang melanda di seluruh dunia, dengan nama kebiasaan yang baru.
New normal yang dimaksud adalah kebiasaan baru seperti penggunaan masker di banyak tempat untuk melindungi diri dari si Kopit, penggunaan uang digital karena uang kartal dinilai nggak steril untuk digunakan sebagai alat transaksi, hingga penggunaan teknologi digital pada ruang-ruang kelas.
Meskipun rada aneh, tapi apa mau dikata. Semua dianggap sebagai kenormalan baru.
“Yang anda butuhkan adalah penyesuaian, dan anda harus membiasakan dengan hal-hal yang baru tersebut,” begitu kurleb-nya.
Saya pernah katakan, bahwa dalam dunia pendidikan, lanskap-nya akan diubah oleh sang Ndoro dari konsep brick and mortar, menjadi e-learning yang tentu saja mengandalkan teknologi digital. (baca disini dan disini)
Makanya pendidikan yang menerapkan prinsip digital, terus mendapatkan endorsement dari banyak kalangan, bahkan dianggap sebagai nilai jual pada beberapa lembaga pendidikan.
Apa dampaknya?
Sekilas pendidikan digital memang menawarkan segudang fitur untuk ditawarkan. Misalnya nih, guru-nya nggak bisa hadir di kelas karena ada keperluan, maka ada fitur classroom yang bisa digunakan sebagai sarana pemberian hingga pengumpulan tugas meski gurunya absent.
Fitur ini tentu nggak kita temukan pada pendidikan konvensional. Kalo gurunya nggak masuk, kemungkinan-nya ya cuma dua, gurunya ninggalin tugas kepada murid-nya, atau murid dipaksa gabut karena nggak ada tugas untuk dikerjakan.
Saya harus katakan bahwa pendidikan digital ada sisi positif yang bisa di explore. Itu fakta.
Masalahnya, kalo semua harus mengandalkan teknologi digital dalam pembelajaran, dan apalagi mengganti perang guru, maka bukan manfaat yang didapat melainkan mudarat.
Apa iya?
Mari kita lihat di sekitar kita saja. Demi menghemat dan mengusung konsep go green, maka pemberian tes tertulis harus dihindari pada banyak sekolah.
Sebagai penggantinya, murid bisa mengerjakan soal tes melalui aplikasi digital dari mulai yang gratis ataupun berbayar.
Bentuk penugasan juga banyak dilirik oleh banyak pendidik, sekedar cari aman, ketimbang memberikan tes tertulis. Walhasil, nilai yang didapat dari penugasan (apalagi sifatnya kolaboratif dengan teman sebaya), akan lebih besar dari written test. Guru senang, siswapun nggak kalah happy mengerjakannya.
Masalahnya, apa semua siswa yang terlibat dalam collaborative project itu ikutan terlibat? Nyatanya, nggak semua terlibat. Ada satu atau bahkan beberapa siswa yang hanya ‘numpang’ nama saja, sementara tugas tersebut hanya dikerjakan oleh siswa yang dianggap pintar dalam kelompoknya.
Pada test dengan aplikasi digital, juga nggak kalah ‘seru-nya’, dimana murid yang merupakan digital native, pasti akan mengeluarkan segenap kemampuannya, agar bisa ‘nge-hack’ test yang diberikan gurunya. Entah cari di youtube hingga membuka aplikasi lain untuk mencari jawaban saat mengerjakan test.
Ujung-ujungnya, hasil test para murid jadi tinggi-tinggi. Namun itu samsek nggak menggambarkan kemampuan-nya karena didapat dari cara-cara ‘smart’.
Dan masih banyak masalah lainnya, terkait pembelajaran bergaya digital.
Ini yang mendasari Finlandia sebagai salah satu kiblat pendidikan di dunia, untuk mengubah pola pembelajaran digital bagi warganya dengan kembali ke buku sebagai sarana belajar utama. (https://learningenglish.voanews.com/a/finnish-students-go-back-to-school-with-books-not-screens/7780131.html)
Sekadar informasi, bahwa di Finlandia, selama 10 tahun terakhir pemerintah mendorong penggunaan laptop dan perangkat elektronik lainnya di ruang kelas. Nggak aneh jika banyak sekolah memberikan laptop gratis kepada semua siswa sejak usia 11 tahun.
Hasilnya apakah membawa perbaikan?
Justru sebaliknya. Banyak ortu dan juga guru malah semakin khawatir menyoal dampak penggunaan teknologi digital, pada anak usia sekolah.
“Anak muda saat ini begitu banyak menggunakan ponsel dan perangkat digital sehingga sekolah hanya dijadikan tempat bagi anak-anak untuk menatap layar laptop, dan kami nggak menginginkan hal ini terjadi,” ungkap seorang pendidik di Finlandia.
“Akibat penggunaan laptop selama pembelajaran berlangsung, menyebabkan anak-anak gelisah dan nggak dapat memberikan perhatian penuh pada pembelajaran,” tambahnya lagi.
Yang terjadi kemudian, mayoritas siswa mengerjakan latihan yang diberikan guru secepat mungkin, agar mereka dapat membuka lama media sosial yang mereka miliki dengan lebih lama.
“Nggak butuh waktu lama untuk mengubah tab di browser. Jadi ketika guru mendatangi siswa, dia bisa mengatakan: Ini saya sedang mengerjakan soal latihan (meskipun yang dibuka bukan-lah soal-soal latihan melainkan lama media sosial mereka,” ungkap-nya.
Akibatnya?
Gampang ditebak lah, yah. Hasil belajar anak-anak di Finlandia perlahan memburuk dalam beberapa tahun terakhir, setelah mengadopsi pembelajaran digital.
Sebagai solusinya, pemerintah Finlandia berencana membuat UU baru yang melarang penggunaan perangkat digital semisal smart-phone dan juga laptop, selama jam pembelajaran.
Dengan kata lain, porsi menatap layar laptop bakal diakhiri dan anak dipaksa kembali belajar menggunakan buku. (https://www.helsinkitimes.fi/finland/finland-news/domestic/25917-finnish-government-unveils-bill-on-school-smartphone-ban.html)
“Terlalu banyak menggunakan perangkat elektronik, akan meningkatkan risiko ganggua fisik dan mental seperti masalah pada mata selain meningkatkan kecemasan,” ungkap Minna Peltopuro selaku psikologi pendidikan di Finlandia.
Itu di Finlandia, lho yah, yang katanya salah satu negara penyelenggara pendidikan terbaik di dunia. Nyatanya mereka berkesimpulan bahwa pendidikan digital yang di endorsed oleh sang Ndoro pasca Kopit, mendatangkan banyak masalah bagi siswa.
Belum lagi dengan koneksi internet entah itu 4G atau 5G yang berpotensi mengganggu otak manusia. (baca disini dan disini)
Bagaimana dengan nasib pelajar di Planet Namek? Alih-alih meninggalkan, pemerintah malah justru mendorong pembelajaran berbasis digital sesuai arahan sang Ndoro. (https://digitaltransformation.co.id/mendorong-pendidikan-indonesia-ke-era-digital-peran-vital-infrastruktur-internet-dan-teknologi-informasi/)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)