Upaya yang Gagal


509

Upaya yang Gagal

Peristiwa penyanderaan di mako Brimob yang berlangsung cukup dramatis tersebut, awalnya bisa dijadikan pintu masuk untuk menyerang pemerintahan Jokowi.

Begini ceritanya…

Ditengah situasi kalut dan tekanan publik kepada pihak kepolisian untuk segera menuntaskan kasus drama penyanderaan tersebut lewat jalur kekerasan. Jujur, banyak yang ngetwit  ataupun berceloteh lewat sosial media, untuk kepolisian segera menempuh jalur hard-approach.

Lebih runyam, karena posisi pak Tito yang saat itu tengah berada di Yordania. Terjadi kekosongan kekuasaan tertinggi di tubuh Polri. Ini tentu sangat menguntungkan bagi pihak penyandera untuk mengatur “ritme permainan”.

Apa langkah tersebut kemudian diambil? Kita bisa lihat hasil akhirnya, bersama…

Gimana analisanya?

Seperti yang saya ulas sebelumnya, tahun ke-4 adalah tahun konsolidasi. Jokowi sangat sadar akan hal itu. Makanya dari awal, tahun ini, semua jajaran yang berdiri bersamanya, harus berada dalam satu garis komando. Gak boleh ada improvisasi, gak boleh ada kegaduhan dan semua harus senyap…

Peristiwa mako Brimob pun layak dijadikan test case. Coba lihat apa yang dilakukan oleh seorang Tito menghadapi kondisi tersebut? Dia tidak bertindak gegabah alias main hantam. Dia kumpulkan semua informasi di lapang, untuk membuat tindakan yang sangat efektif.

Singkat kata, didapatkan informasi kalo para teroris eks kombatan itu, terbagi atas 2 kubu. Kubu yang pro-penyanderaan dan ada yang anti-penyanderaan. Bisa disimpulkan, mappping’nya mereka ternyata gak solid seperti yang dipikir.

Yang kedua, akar masalah sesungguhnya adalah hal yang kurang prinsipil, bukan ideologis sifatnya. Teroris itu butuh makan alias kelaparan.

Informasi tersebut saya pikir bisa didapat, setelah seorang sandera Bripka Iwan Sarjana – dibebaskan dan ditukar dengan makanan. Mulailah, informasi demi informasi itu disusun untuk dirumuskan langkah efektif yang harus diambil.

Hasilnya, para teroris eks kombatan tersebut yang katanya sudah siap berjihad dengan bom yang sudah sempat mereka rakit plus senjata rampasan dari pihak kepolisian, dipaksa keok dibawah ultimatum pihak polri. Mereka menyerah tanpa syarat. Dan tendangan maut Tito, berhasil menjebol gawang para teroris tersebut dengan skor telak.

Andai skenarionya adalah, pihak kepolisian menembuh jalur hard-approach. Singkat memang waktu yang dibutuhkan. Namun berakibat pada banyaknya jatuh korban di pihak teroris. Dan para kamfreters sudah siap-siap menyerang pemerintah Jokowi dengan isu HAM, anti Islam dan lain sebagainya.

Ujung-ujungnya, suasana gaduh tercipta, dan demo berjilid-jilidpun kembali digelar dibawah bendera panasbung grup. Framing untuk #2019gantipresiden pun akan segera menemui salurannya.

Namun, apa daya. Semua usaha para kamfret harus dikubur dalam-dalam kali ini. Alih-alih mau menyerang dengan isu HAM, malah pihak teroris dan para kamfret yang sekarang rame-rame di-bully oleh netizen. “Gimana mau nyerang pake isu HAM, lha polisi yang mati lebih banyak daripada teroris-nya? Siapa yang sesungguhnya melanggar HAM?”

Bravo untuk pak Tito dan jajarannya.

Walaupun bangsa ini kembali berduka, kehilangan 5 orang kusuma bangsa, akibat ulah barisan ngacenk khilafah. Selamat jalan pahlawan!!

Semoga husnul khotimah..

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!