Upaya Meledakkan Gelembung (*Bagian 2)


531

Upaya Meledakkan Gelembung (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama, kita telah membahas tentang inflasi akut yang dialami AS saat ini. Kita juga telah mengulas langkah yang diambil Jerome Powell selaku ketua The Fed dalam mendorong kebijakan suku bunga mencapai angka nyaris nol persen. (baca disini)

Dan alasan Powell untuk mengambil kebijakan tersebut adalah untuk mendorong kran pinjaman kepada bank-bank yang pada akhirnya diharapkan mampu mendorong konsumsi (termasuk aksi borong saham) untuk mengimbangi laju inflasi.

Apakah kebijakan ini berhasil?

Sesuai harapan, kebijakan tersebut mampu mendongkrak pasar saham.

Aksi pembelian obligasi bulanan oleh The Fed senilai USD 120 miliar, mampu mengatrol pasar saham ditengah kondisi inflasi yang tinggi. (https://www.barrons.com/articles/fed-reiterates-pledges-on-near-zero-rates-and-120-billion-in-monthly-bond-buys-51611775474)

Jika merunut sejarahnya, ini bukan hal yang aneh. Sejak krisis keuangan global pada 2008 silam, The Fed dan bank sentral lainnya seperti European Central Bank dan Bank of Japan memang telah menetapkan suku bunga mendekati nol selain membeli obligasi pada pasar saham.

Kenapa ini dilakukan?

Untuk menyelamatkan lembaga keuangan utama, bank-bank yang terkoneksi dengan Wall Street dan juga negara dari kejatuhan akibat krisis. (https://www.reuters.com/world/europe/how-do-negative-interest-rates-work-2021-02-04/)

Kalo anda berpikiran bahwa menggeliatnya pasar saham AS saat ini ada hubungannya dengan pemulihan di sektor ekonomi, itu salah besar. Yang benar adalah proses ‘bailout’ yang diberikan kepada kelompok kartel Ndoro besar agar ‘seolah-olah’ ekonomi dalam keadaan booming.

Yang sesungguhnya terjadi adalah perusahaan meminjam uang dengan bunga rendah bukan untuk ekspansi perusahaan melainkan untuk membeli saham mereka sendiri dari pasar saham.

Masuk akal jika kemudian harga saham dari mulai Microsoft, Amazon, Pfizer hingga Tesla terkerek naik karena aksi manipulasi ini.

Bahkan nilai aksi penggelembungan ini mampu menciptakan kapitalisasi Apple Corp di pasar saham menjadi sekitar USD 3 triliun. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-12-13/apple-inching-closer-to-landmark-3-trillion-market-value)

Dengan naiknya harga saham, jelas memberi angin surga bagi warga AS. Ini bisa terjadi karena sejak krisis Lehman Brothers di tahun 2008, banyak orang Amrik yang membeli saham dengan harapan akan mendapatkan keuntungan yang lumayan saat mereka pensiun kelak. (https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/03/25/more-than-half-of-u-s-households-have-some-investment-in-the-stock-market/)

Padahal itu hanya jebakan ilusi, mengingat aksi beli saham kembali oleh perusahaan-perusahaan besar dapat terjadi karena adanya kebijakan suku bunga mendekati ‘nol persen’ yang dikeluarkan The Fed, dan bukan karena ekonomi akan membaik.

Jika kemudian S&P 500 berhasil membeli kembali sekitar USD 472 miliar saham mereka dari pasar, itu dilakukan karena S&P 500 dapat pinjaman berbunga sangat rendah dari The Fed. Dan ini bukan bukan pertanda ekonomi membaik. (https://www.nakedcapitalism.com/2021/12/share-buybacks-surge-to-record-ahead-of-potential-1-tax-companies-buy-as-insiders-dump-like-theres-no-tomorrow.html)

Atau aksi buyback saham yang dilakukan Microsoft pada September 2021 silam dengan valuasi mencapai USD 60 miliar, itu juga bukan berarti ekonomi tengah ‘meroket’. (https://www.reuters.com/technology/microsoft-announces-share-buyback-program-up-60-bln-2021-09-14/)

Itu hanya jebakan ilusi yang sengaja diciptakan, guna menyukseskan panggung The Great Reset yang sudah lama direncanakan.

Harapannya satu: orang percaya akan ilusi ‘perbaikan’ ekonomi yang tengah terjadi, dan ikutan histeria massa dengan membeli lebih banyak lagi saham dari pasar agar ‘cuan’ yang didapat bakal meningkat.

Namun itu hanya sementara, karena dalam waktu dekat dimana gelembung ekonomi sudah sangat membesar, hanya butuh pemicu kecil untuk mengaktivasi ledakan yang dahsyat.

Memang berapa margin utang yang digelontorkan guna menggelar aksi buyback saham itu?

Angkanya telah mencapai hampir USD 1 trilium. Dan ini angka yang sangat banyak. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-09-27/margin-debt-nearing-1-trillion-may-not-be-a-sign-of-euphoria)

Yang namanya pialang, sudah pasti tujuan utamanya cari ‘cuan’. Dengan harga saham yang terus terkerek naik, hanya aksi jual saham guna mencapai keuntungan adalah opsi yang sangat realistik untuk dilakukan. Mereka dapat bayar utang plus dapat untung berlipat-lipat.

Dan menurut prediksi saya, aksi ini akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.

Apa yang menjadi pemicunya?

Tentu saja The Fed sendiri yang akan menaikan suku bunga pada 2022 mendatang. Narasi yang dikembangkan adalah ekonomi mulai membaik, makanya suku bunga juga perlu disesuaikan. (https://www.pbs.org/newshour/show/why-the-fed-will-raise-interest-rates-in-2022-and-how-soon-consumers-will-feel-hikes)

Bisa dibayangkan bagaimana keuangan yang kondisi riilnya tengah sekarat, lalu tetiba dinaikkan suku bunga-nya. Minimal aksi panic selling saham menjadi hal yang tak terelakan.

Pada gilirannya ini akan dapat menjatuhkan sistem keuangan AS ke jurang krisis ekonomi yang sesungguhnya. Sebagai efek dominonya, krisis ini akan menyeret keuangan global yang saat ini tengah mati suri.

Gimana nggak sekarat, mengingat utang global saat ini telah mencapai angka USD 296 triliun. (https://www.reuters.com/business/global-debt-is-fast-approaching-record-300-trillion-iif-2021-09-14/)

Singkatnya, kenaikan suku bunga yang akan diterapkan The Fed dalam beberapa bulan ke depan akan memicu default di banyak negara, karena peminjam nggak dapat membayar utangnya kembali.

Apakah ini peta jalan yang sengaja disiapkan The Fed?

Waktu yang akan menjawabnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!