Skenario Investasi Hijau
Oleh: Ndaru Anugerah
Siapa yang paling getol menggulirkan isu global warming selain media mainstream?
Jawabannya para bankir. Terima atau nggak, para bankir berkontribusi dalam membuat situasi panik global atas masalah perubahan iklim.
Ambil contoh, Federal Reserve Bank of San Francisco pada 2 tahun yang lalu memperingatkan bahwa perubahan iklim akan dapat menyebabkan bank berhenti memberikan pinjaman. Akibatnya efek domino dapat terjadi seperti turunnya nilai jual properti hingga potensi kehilangan pajak.
“Perubahan iklim dapat menimbulkan ancaman sistemik bagi pasar keuangan dan ekonomi riil,” demikian kurleb-nya. (https://www.nytimes.com/2020/07/21/climate/investors-climate-threat-regulators.html)
Ajaibnya, pernyataan para bankir tersebut kembali diungkapkan kembali oleh Opa Biden saat dirinya melaju ke Gedung Putih. “Perubahan iklim akan mendatangkan bencana yang mengancam dana pensiun, harga rumah dan stabilitas sistem keuangan,” papar Biden. (https://www.nytimes.com/2021/05/20/climate/biden-climate-change-economy.html)
Pesan yang mau disampaikan sama: perubahan iklim akan berdampak pada kinerja sistem perbankan.
Pertanyaannya: apa iya?
Lucunya, baru-baru ini ada 3 staf Federal Reserve Bank cabang New York mengadakan riset dan menyatakan hal yang mengejutkan. “Kami menemukan bahwa bencana cuaca pada seperempat abad terakhir memiliki efek yang tidak signifikan pada kinerja bank-bank di AS,” begitu ungkapnya. (https://www.newyorkfed.org/medialibrary/media/research/staff_reports/sr990.pdf)
Jadi, ketiga staf tersebut melihat apa yang telah diperbuat bank dalam menangani bencana di masa lalu, dan mereka berkesimpulan bahwa apa yang akan diperbuat bank ke depannya dalam menanggapi isu perubahan iklim, akan sama saja dengan pola masa lalu.
Postulat yang mereka keluarkan: bencana akan paralel dengan jumlah permintaan akan pinjaman. Semakin banyak bencana terjadi, maka akan semakin banyak pinjaman digelontorkan, dan ini akan berujung pada makin besar juga keuntungan yang didapat atas pinjaman tersebut.
Ini sangat masuk akal.
Dimana-mana, kalo ada bencana, pihak bank akan otomatis menggelontorkan pinjaman dalam jumlah besar sebagai dana pemulihan. Semakin banyak pinjaman, berarti makin banyak ‘cuan’ didapatkan.
Jadi kalo The Fed menyatakan bahwa lembaga keuangan yang tidak menerapkan kerangka kerja yang terkait perubahan iklim, dapat menghadapi kerugian besar pada asetnya, logikanya dimana? (https://www.nytimes.com/2021/02/18/business/economy/federal-reserve-climate-change-banks.html)
Lalu kenapa para bankir besar mengulang-ulang pernyataan yang sama tentang dampak perubahan iklim yang bisa berimbas pada ancaman yang berdampak sistemik?
Agar semua perusahaan (terutama di bidang keuangan) dapat mengambil kebijakan yang selaras dengan perubahan iklim. Investasi hijau-lah yang jadi sasarannya.
Dengan aturan main baru pada investasi hijau yang ditetapkan oleh BlackRock (ESG), diharapkan makin sedikit investor yang berinvestasi pada energi kotor dan beralih pada energi terbarukan. (https://www.greenbiz.com/article/blackrocks-former-head-sustainable-investing-says-esg-and-sustainability-investing-are)
Padahal, konsep energi hijau sendiri sangat nggak bisa diandalkan dalam menggantikan energi berbahan dasar fosil, utamanya dalam menyediakan energi yang dibutuhkan. Dan proses peralihan energi yang terjadi saat ini saja, telah sukses memicu krisis energi di banyak negara. (https://michaelshellenberger.substack.com/p/how-climate-activists-caused-the)
Satu yang pasti: investasi hijau yang dilontarkan para bankir akan makin kuat ke depannya.
Ini bisa terlihat pada pernyataan yang dibuat Saule Omarova selaku kandidat Biden untuk mengatur regulasi perbankan. “Kami ingin agar perusahaan minyak dan gas (yang ada di dunia) bangkrut,” tuturnya. (https://www.wsj.com/articles/financial-climate-risks-are-minimal-federal-reserve-study-banks-11637270186)
Omarova menambahkan, “Cara yang kami tempuh untuk menyingkirkan bisnis karbon adalah dengan membuat mereka kekurangan modal.”
Maksudnya tentu saja investor akan ‘diancam’ untuk tidak berinvestasi pada usaha minyak dan gas lagi dan beralih pada energi hijau.
Apa yang diucapkan Omarova mungkin bukan kaleng-kaleng, mengingat Financial Stability Oversight Council (FSOC) yang dikelola pemerintahan Biden saat ini, tengah mengatur sistem perbankan yang berkiblat pada ekonomi hijau. (https://home.treasury.gov/system/files/261/FSOC-Climate-Report.pdf)
Dengan kata lain, apa yang menjadi program Omarova nggak lain adalah kepanjangan dari apa yang tengah dilakukan FSOC saat ini.
Ke depan, bank dituntut selektif untuk memberikan pinjaman pada pelaku usaha. Usaha yang nggak dianggap ‘hijau’ (misalnya masih mengandalkan migas, kertas dan turunannya), bisa dipastikan nggak akan mendapatkan kucuran dana buat mengembangkan usahanya.
Ini selaras dengan apa yang dikatakan mantan Direktur Bank of England, Mark Carney, “Perusahaan yang memiliki aset karbon tinggi akan menghadapi masa depan yang jauh lebih suram. Dan investor pada usaha tersebut, kepemilikan modalnya akan tenggelam.” (https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-11-05/carney-tells-net-zero-investors-they-won-t-face-lower-returns)
Akankah skenario investasi hijau menemukan kendala?
Kalo lihat sikon-nya, sepertinya ini hanya tinggal ketok palu saja.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments