Simbolisasi ala Jokowi
Adalah Pepe Escobar (2007) yang pernah melontarkan suatu pernyataan bahwa politik praktis bukanlah hal yang tersurat, lebih pada yang tersirat.
Apa maksudnya?
Sebelum memahami pernyataan itu, marilah kita tilik langkah politik yang dilakukan pakde Jokowi. Semua langkah politik yang dilakukannya, sarat makna tersiratnya…
Ambil contoh saat kapal asing berbendera Cina mencuri ikan di kepulauan Natuna. Begitu laporan masuk istana, tak berapa lama berselang, pakde langsung menggelar rapat terbatas di atas kapal perang Imam Bonjol, di kepulauan Natuna..
Pesannya jelas, jangan coba-coba mencuri ikan di perairan Indonesia, kalo nggak mau ngajak perang. Tidak gaduh, cenderung senyap. Tapi pesannya nyampe…
Contoh yang lain, saat Pepo melakukan safari politik keliling Jawa dan mengkritik proyek infrastruktur pakde. Kata Pepo: “Jadi pemimpin jangan terlalu berambisi lah menggeber proyek infrastruktur..” Lantas apa balasan pakde. Cukup dengan mengunjungi proyek mangkrak ‘Candi Hambalang’.
Pesannya jelas, “Nih (Hambalang) proyek pembangunan apa proyek korupsi berjamaah?” Lantaran banyak elite partai Cikeas yang terciduk karena skandal korupsi Hambalang. Tidak gaduh, cenderung senyap. Tapi makjleb nusuknya…
Itulah yang dinamakan politik senyap. Semua dibangun dengan simbol-simbol…
Apa tujuannya, sih? Yah, menghindari kegaduhan. Itu kata kuncinya.
Kenapa harus menghindari kegaduhan? Karena dengan adanya kegaduhan, tujuan yang hendak dicapai sebagai langkah politik, niscaya tidak akan tercapai. Kisruh dan kontraproduktif… Gimana mungkin cita-cita Nawa Cita terwujud??
Menurut Mayer Zaid (1979), simbolisasi dalam berpolitik digunakan sebagai instrumen untuk menata sistem kenegaraan. Singkatnya, ada yang kacau dalam sistem politik kenegaraan kita. Dan pakde bertujuan meluruskan sistem yang kusut tersebut.
Kalo nggak percaya, coba kita lihat tingkah laku pejabat negara kita pada umumnya. Semua cenderung jago retorik dan menjadi politisi sejati, bukan negarawan. Cirinya, hobi nyinyir, karena minim prestasi. Itu lah yang harus dibenahi dari sistem kenegaraan kita.
Bahwa menjadi pejabat publik, yang dituntut adalah etos kerja-nya, bukan retorika-nya. Kebayang dong, kalo sekelas pejabat negara ditanyain solusinya tentang banjir. Alih-alih mendapat jalan keluar, eh dia malah ngajak bersabar karena banjir itu cobaan dari Tuhan…
Itu pula yang mampu menjelaskan, kenapa pakde begitu identik dengan sepeda. Sarat pesan di dalamnya: “Yah, kalo mau tetap hidup, harus kerja. Kayuh sepeda-mu, untuk mencapai apa yang kau mau.., bukan naik dong-odong, tong!”
Ahh, kayaknya pakde udah siap naik ring kembali di 2019. Buktinya kemarin dia udah meng-vlog ria dengan scene lagi latihan tinju… Seakan ada pesan yang mau disampaikannya. Dia mau menantang lawannya, dengan mengatakan: “I’m ready to fight”…
Bagi pihak lawan, harusnya menanggapi dengan bijak simbolisasi ini, bukan malah melontarkan pernyataan dongok untuk sekedar ngajakin duel: “Gimana kalo diadu dengan mantan danjen Kopasssus?” Faking krezi binggo, kan?
Memang benar adanya bahwa: “Politik tidak pernah vulgar dalam menyampaikan pesannya.”
Selamat bertarung, pakde. Semoga 2 periode untuk membangun negeri tercinta!!
Salam Demokrasi!!
(*penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments