Serong Kiri di Kolombia
Oleh: Ndaru Anugerah
Sudah rahasia umum kalo Amerika Selatan adalah backyard-nya AS. Sebagai konsekuensinya, segala hal yang mengancam kawasan ini (khususnya yan berseberangan dengan garis kebijakan Washington), sudah otomatis akan ditangani oleh AS. (https://www.history.com/topics/westward-expansion/monroe-doctrine)
Ambil contoh sederhana di tahun 1970-an, dimana kandidat sosialis asal Chili, Salvador Allende memenangkan pilpres kala itu.
Langkah drastis langsung dibuat Allende, dengan menasionalisasi industri pertambangan tembaga dan juga industri telekomunikasi di Santiago. Ini memang ‘kebiasaan’ rezim kiri yang tentu saja menyulut kemarahan AS. (https://www.nytimes.com/1972/07/03/archives/papers-show-itt-urged-us-to-help-oust-allende-suggestions-for.html)
Tentang ini saya pernah bahas dengan lengkap. (baca disini dan disini)
Masalah makin kusut saat Allende yang berniat mewujudkan sistem sosialisme tulen di Chili, dan ini makin membuat Gedung Putih ketar-ketir. Singkatnya Allende merupakan ancaman di halaman belakang AS, dan konsekuensinya dia harus ‘disingkirkan’.
Kita tahu akhir cerita ini, dimana sosok militer Jenderal Augusto Pinochet yang merupakan ‘anjing’ didikan CIA akhirnya mengkudeta Allende di tahun 1973.
Bukan itu saja. Meskipun 17 tahun masa kepemimpinan Pinochet di Chili banyak ditemukan pelanggaran HAM berat, namun nyatanya AS nggak pernah koar-koar soal itu.
Ya jelas aja, lha wong HAM hanya dipakai untuk menghantam siapapun yang berseberangan dengan AS dan bukan ‘anjing binaan’ sekelas Pinochet. (http://archive.boston.com/news/science/articles/2011/05/31/chile_tv_secret_report_suggests_allende_murdered/)
Sukses di Chili menginsiprasi AS untuk menggelar Operasi Condor, yang secara garis besar berusaha menghentikan penyebaran paham Komunisme di Amerika Selatan, selain menyokong kubu sayap kanan yang sudah otomatis sangat anti gerakan kiri.
Nggak aneh jika kemudian Bolivia, Paraguay, Uruguay, Brazil dan juga Argentina akhirnya berada di dalam kekuasaan kediktatoran militer, karena ada dukungan AS di belakangnya. (https://nsarchive.gwu.edu/events/operation-condor-1968-1989)
Namun seiring bubarnya Perang Dingin, bukan berarti AS mengendurkan Doktrin Monroe-nya pada kawasan Amerika Selatan.
Kasus Venezuela di bawah kepemimpinan Nicolas Maduro adalah contoh sederhana dimana Washington main ‘keras’ terhadap rezim kiri di kawasan Selatan tersebut. (baca disini dan disini)
Bukannya kendur, Maduro seolah menantang AS dengan melakukan kunjungan dan mempererat hubungan dengan Iran di tengah sanksi AS yang menarget bukan saja Caracas tapi juga Teheran.
Setelah melakukan kunjungan ke Iran selama 2 hari pada pertengahan Juni silam, Maduro langsung menandatangani kontrak perjanjian kerjasama dengan Negeri Mullah tersebut selama 20 tahun ke depan. (https://ussanews.com/2022/06/12/iran-and-venezuela-sign-a-20-year-agreement/)
Padahal AS telah melakukan operasi rahasia untuk mendongkel kepemimpinan Maduro. Operasi Gideon salah satunya, yang diluncurkan di tahun 2020 silam, ditujukan secara khusus untuk melengserkan tampuk kepemimpinan Maduro di Venezuela. (https://military-history.fandom.com/wiki/Operation_Gideon_(2020))
Makanya saat presiden boneka AS di Venezuela, Juan Guaido berkuasa, sebenarnya itu bagian dari skenario untuk mendelegitimasi kepemimpinan Maduro.
Apakah berhasil?
Anda bisa menjawab sendiri atas pertanyaan retorik tersebut.
Nyatanya, pada 2021 silam, ditengah diberlakukannya sanksi AS pada Venezuela dan juga Iran, Teheran berhasil mengekspor minyak sebanyak 2 juta barrel ke Caracas. (https://parstoday.com/en/news/iran-i159492-iran_delivers_2_million_barrels_of_condensate_to_venezuela_report)
Seakan Maduro mau bilang: “Sanksi yang anda buat, sama sekali nggak ngaruh buat kami.”
Masalah makin kompleks di belahan Selatan Amerika, setelah kandidat kiri lainnya, Gustavo Petro, memenangkan kontestasi pilpres di Kolombia. Dan ini pertama kali dalam sejarah, dimana Bogota memilih capres dari kubu sayap kiri. (https://www.washingtontimes.com/news/2022/jun/20/former-marxist-guerrilla-gustavo-petros-win-colomb/)
Setelah memenangkan kontestasi, Petro langsung menyatakan niatannya untuk menjalin kerjasama dengan Venezuela yang satu aliran dengan-nya. (https://www.telesurenglish.net/news/Colombian-President-Elect-Initiates-Contacts-With-Venezuela-20220622-0008.html)
Bahkan pintu perbatasan yang selama ini diberlakukan, rencananya akan dibuka kembali oleh Petro. (https://www.laprensalatina.com/colombias-petro-makes-contact-with-venezuela-over-border-reopening/)
Apa kebijakan Petro selanjutnya, memang kita hanya bisa mereka-reka.
Tapi sekali lagi, berkaca pada perangai para pemimpin sayap kiri lainnya, langkah nasionalisasi aset-aset asing di negara tersebut, bukan hal yang tabu untuk dilakukan.
Kalo sudah begini ceritanya, maka rumus regime change bakal digelar AS untuk menggulingkan sosok Petro, dengan memakai kekuatan LSM yang ada di seantero Bogota.
Saya rasa, rakyat Kolombia akan harap-harap cemas ditengah kepemimpinan presiden yang selama ini gemar melakukan aksi gerilya. Orang yang biasa gerilya, gimana ceritanya kalo digerilya?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments