Selamat Datang Penyensoran
Oleh: Ndaru Anugerah
Mungkin ungkapan yang paling tepat menggambarkan Trump adalah sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah kalah dalam gelaran pilpres, terusir pula dari jagat media sosial yang dimilikinya karena raksasa Big Tech melakukan pemblokiran terhadap akun pribadinya. (baca disini)
Bagaimana pemerintah AS menggambarkan pilpres 2020?
“Ini pemilihan pilpres paling aman dalam sejarah AS,” demikian ungkap Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. (https://edition.cnn.com/videos/politics/2020/11/13/dhs-election-most-secure-history-trump-biden-burnett-opening-ebof-vpx.cnn)
Artinya apa? Kalo aman artinya nggak ada praktik kecurangan. Dan kalo nggak ada praktik kecurangan, artinya hasil pemilu bersifat mutlak dan nggak perlu diperdebatkan.
Jadi, kalo Trump dan para pendukung fanatiknya mencak-mencak dan menuduh proses pilpres-nya curang, maka itu sudah pasti salah. Titik.
Semua pihak lalu dilanda euphoria. Seolah mereka menertawakan sikap Trump yang dianggap kekanak-kanakan dan mendukung sikap Big Tech yang melakukan pemblokiran.
Mungkin orang lupa, bahwa proses pendudukan gedung Capitol sarat pertanyaan.
Misalnya kenapa saat gedung Capitol diserbu pendukung Trump, kenapa aparat keamanan tidak menjaga gedung tersebut dan terkesan ‘memberikan’ akses masuk?
Kenapa juga Walikota Washington DC, Muriel Bowser menunggu waktu yang cukup lama untuk ambil tindakan yang melibatkan aparat keamanan guna mengendalikan keadaan?
Ini jelas janggal. Ada apa sebenarnya?
Timbul spekulasi kalo situasi ini memang disengaja. Apa tujuannya?
Pertama untuk menggembosi aksi Trump yang dianggap anarkis. Kedua ini membuka jalan buat Big Tech untuk melakukan penyensoran.
Padahal Big Tech itu perusahaan swasta dan bukan lembaga negara. Masa iya perusahaan swasta bisa melakukan penyensoran terhadap Trump yang ‘statusnya’ masih pejabat negara? (https://www.cnet.com/news/capitol-hill-violence-stokes-ire-at-facebook-google-and-twitter/)
Singkatnya ini upaya membuka jalan bagi penyensoran yang dilakukan swasta terhadap siapapun, termasuk lembaga sekelas negara sekalipun. Jadi bukan kejadian yang kebetulan. (https://www.rt.com/usa/511913-big-tech-censorship-capitol/)
Setidaknya model top dunia, Emily Ratajkowski saja bisa bertanya-tanya, “Apakah cukup bijaksana memberikan kekuatan lebih kepada Big Tech daripada kekuatan yang mereka miliki?”
Ratajkowski menambahkan, “Ini jelas upaya untuk melakukan sensor yang dilakukan oleh Big Tech (yang dilegalisasi oleh negara).” (https://twitter.com/emrata/status/1347247385152405504?s=20)
Kalo sekelas Trump saja bisa dilakukan upaya penyensoran, gimana dengan anda dan saya yang statusnya hanya orang biasa?
Untuk apa Big Tech dikasih space untuk melakukan penyensoran?
Karena ada program besar yang akan digadang-gadang setelah pandemi ini berakhir. Jadi ini hanya pemanasan saja sifatnya.
Apa itu?
Pada lain ulasan saya akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments