Sekedar Cari Celah


511

Sekedar Cari Celah

Oleh: Ndaru Anugerah

Buntut dari dikeluarkannya kebijakan abrakadabra oleh Facebook Group kepada para pengguna WhatsApp yang berkaitan dengan integrasi data, membuat para pengguna aplikasi WhatsApp melakukan migrasi besar-besaran ke aplikasi lainnya. (baca disini)

Dan salah satu aplikasi alternatif yang banyak diserbu adalah Telegram.

Alasannya migrasi yang dilakukan pengguna sangat sederhana dan logis: kebebasan untuk bisa mengekspresikan pandangan politik mereka dengan aman dan tanpa penyensoran. (https://www.businessinsider.com/telegram-hits-500-million-users-after-whatsapp-backlash-2021-1)

Ini setelah mereka menyaksikan bagaimana seorang Trump yang diblokir akun media sosialnya oleh raksasa Big Tech, karena dianggap menyebarkan hasutan untuk melakukan aksi kekerasan. Nah, Trump yang jabatannya presiden saja bisa di-suspend akunnya, gimana dengan WN biasa?

Dengan adanya migrasi besar-besaran tersebut, jelas membuat resah raksasa Big Tech. Kalo semuanya kabur, siapa yang bakal pakai aplikasi mereka? Padahal Big Tech telah dirancang untuk program pengawasan global selepas pandemi.

Ini jelas nggak bisa dibiarkan. Dan untuk menyiasatinya, lalu dibuatlah ‘rencana’. Setidaknya di Amrik sana.

Kemarin (17/1), The Coalition for a Safer Web yang merupakan organisasi nirlaba di Washington DC, mengajukan tuntutan hukum kepada Apple untuk menghapus aplikasi Telegram dari App Store. (https://sputniknews.com/us/202101181081797200-coalition-for-a-safer-web-sues-apple-demands-telegram-be-deleted-from-app-store/)

Apa dasarnya The Coalition for a Safer Web mengajukan gugatan tersebut?

Karena mereka menilai Telegram telah digunakan warga AS untuk mengintimidasi, mengancam dan memaksa anggota masyarakat lainnya. “Banyak konten rasis dan ujaran kebencian didistribusikan oleh Telegram yang lebih parah ketimbang aplikasi Parler,” ungkap Mark Ginsberg. (https://www.washingtonpost.com/technology/2021/01/17/apple-capitol-siege-telegram/)

Gugatan ini jelas aneh. Kenapa?

Karena mengacu pada Section 230 UU Kepatuhan Komunikasi AS, platform online diberikan kekebalan atas tuntutan hukum menyangkut konten yang mereka distribusikan. (https://www.dmlp.org/legal-guide/immunity-online-publishers-under-communications-decency-act#:~:text=Summary,provided%20by%20a%20third%20party.)

Dengan kata lain, aplikasi Telegram telah dilindungi oleh 2 payung hukum. Pertama UU Kepatuhan Komunikasi 1996 dan kedua hak kebebasan berbicara yang dimiliki Apple selaku wadah aplikasi bernaung.

Bisa dikatakan, gugatan tersebut jelas mengada-ada.

Harusnya pakai saja aturan yang berlaku umum.

Kalo nggak mau ditinggal para penggunanya, ya jangan buat aturan macem-macem. Pakai main blokir akun dan buat aturan seenak jidat berdalih integrasi data. Wajar kalo kemudian aplikasi Big Tech ditinggal penggunanya.

Padahal hukumnya sederhana: sediakan aplikasi yang aman dan nyaman buat penggunanya. Titik.

Bukan malah terbitin aturan yang mirip kelakuan preman. Mana ada pengguna aplikasi yang mau diancam?

By the way, kenapa belakangan ini kebijakan ala preman banyak diterapkan, ya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


2 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!