Pusat Metana Global


513

Pusat Metana Global

Oleh: Ndaru Anugerah – 19062024

Setiap kali anda mendengar kata ‘metana’, apa yang terlintas di kepala anda?

Secara umum, metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas yang tidak berbau namun banyak digunakan untuk keperluan komersial. Sebagai komponen utama gas alam, metana adalah sumber bahan bakar utama. (https://en.wikipedia.org/wiki/Methane)

Apa masalahnya dengan gas metana?

Gas ini ditenggarai sebagai gas rumah kaca, yang tentu saja menjadi biang kerok atas pemanasan global yang terjadi saat ini. Bahkan EPA mendefinisikan metana sebagai gas yang paling berpotensi memicu global warming. (https://www.epa.gov/ghgemissions/understanding-global-warming-potentials)

Berdasarkan data, emisi gas metana berkontribusi sekitar 30% terhadap laju pemanasan global. Sehingga pengurangan gas metana sebesar 45%, akan berpotensi menekan laju pemanasan global sekitar 0,30 Celcius di tahun 2045 mendatang. (https://www.unep.org/news-and-stories/story/methane-emissions-are-driving-climate-change-heres-how-reduce-them)

Apa cukup efektif jika pengurangan gas metana yang begitu besar, tapi dampak terhadap pemanasan global hanya sekitar 0,30 Celcius?

Itupun akan terjadi pada beberapa dekade mendatang.

Terlepas dari semua diskursus tersebut, beberapa negara berinisiatif untuk membentuk Pusat Metana Global alias Global Methane Hub yang berpusat di Santiago, Chili.

“Kami akan memusatkan upaya pada sektor energi, pertanian dan limbah yang menyumbang sekitar 96% emisi metana yang disebabkan oleh aktivitas manusia,” begitu kurleb klaim yang dilontarkan. (https://www.globalmethanehub.org/)

Singkat cerita, 13 negara mendeklarasikan Pusat Metana Global atas endorsement dari World Economic Forum, dengan tujuan utama mengurangi laju pemanasan global pada bidang pertanian. Negera-negara tersebut adalah: AS, Argentina, Australia, Brazil, Burkina Faso, Chili, Republik Ceko, Ekuador, Jerman, Panama, Peru, Spanyol dan Uruguay.

Kok bisa?

Karena pada sektor pertanian, banyak berkontribusi atas gas metana yang selama ini dituding sebagai biang keladi pemanasan global. Anda tahu dari sendawa dan kentut sapi saja, berapa banyak metana yang dihasilkan?

Lantas apa solusi konkritnya?

Alih-alih menyelamatkan planet bumi dari pemanasan global yang memicu pada perubahan iklim, maka sektor pertanian (termasuk peternakan) di seluruh dunia, secara perlahan akan ditutup-tup-tup. Nah pilot project-nya, ke-13 negara anggota tersebut.

Berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat bersama, akan ada target atas lahan pertanian yang harus dihilangkan di setiap negara anggota. Untuk itu, dibutuhkan komitmen bersama dalam mengeksekusi rencana tersebut. (https://www.globalmethanehub.org/2023/05/17/major-livestock-producing-countries-commit-to-mitigate-methane-in-agriculture/)

“Sistem pangan dunia bertanggung jawab atas 60% emisi metana,” seru Marcelo Mena selaku CEO Global Methane Hub.

Pernyataan yang dilontarkan John Kerry bernada sama, “Mitigasi gas metana adalah cara tercepat untuk mnengurangi pemanasan global untuk jangka pendek.” (https://www.climatedepot.com/2023/05/19/john-kerry-targets-farmers-we-cant-get-to-net-zero-unless-agriculture-is-front-center-as-part-of-the-solution-i-refuse-to-call-it-climate-change-anymore-its-not-change-its-a-crisi/)

Coba anda bayangkan jika negara produsen daging dunia seperti Australia, Brazil dan AS (yang tergabung dalam Pusat Metana Global) tidak lagi memproduksi daging karena sektor peternakan-nya ditutup untuk menghentikan laju pemanasan global?

Atau coba pikirkan saat negara-negara yang tergabung dalam Pusat Metana Global tersebut, terpaksa menutup lahan pertanian mereka akibat komitmen bersamanya-nya untuk menghentikan laju pemanasan global?

Apa yang bakal terjadi?

Pertama-tama, tentu akan terjadi kelangkaan pangan. Lalu kekurangan pangan. Selanjutnya akan terjadi kelaparan. Itu skenario yang bakal terjadi jika rencana dieksekusi. Karena mind set-nya: pertanian akan menghasilkan pangan yang pada akhirnya memicu pemanasan global. Titik.

Apakah masyarakat global bakal menderita kelaparan?

Sepertinya bukan begitu agenda-nya. Kalo rencana awal, ya mungkin saja akan ada skenario kekurangan pangan dalam rangka depopulasi. Tapi itu hanya sementara karena akan ada solusi nyata atas masalah yang ada. (baca disini, disini, disini, disini disini, disini dan disini)

“Akan ada transformasi pangan, dari daging sapi, babi, ayam dan sumber protein masyarakat lainnya, dengan larva serangga, ulat bambu hingga jangkrik,” begitu kurleb-nya. (https://leohohmann.com/2023/05/31/globalists-revving-up-plans-to-engineer-global-famine-and-starvation-13-nations-agree-to-convert-over-to-less-productive-green-farming-methods/)

Untuk keperluan ini, maka badan dunia sekelas PBB, WEF hingga LSM-LSM, terus mempromosikan pola makan tanpa daging dan beralih pada konsumsi protein yang didapat dari serangga. (https://news.un.org/en/story/2008/02/249402)

Nggak aneh jika banyak miliarder telah berinvestasi pada pabrik-pabrik yang akan memproses ulat bambu, jangkrik dan serangga lainnya, untuk digunakan sebagai bahan campuran pada persediaan pangan. (https://edition.cnn.com/2023/10/20/business/tyson-insect-ingredients/index.html)

Bukankah orang akan resisten jika tahu bahan campuran pangan mereka adalah serangga?

Tentu saja.

Karenanya, setelah dijadikan campuran, kemasan-nya tidak akan diberi label ‘serangga’ agar orang-orang nggak tahu bahan pembuat makanannya. Toh yang penting makanannya enak. Jadi orang nggak akan bisa menolak atas rasanya yang menggoda.

Apa anda pernah pikir panjang untuk makan sosis atau burger dari produsen makanan ternama, sebelum anda memakannya? Nggak pernah, kan?

Jadi, saat pertanian dan peternakan bakal ditutup secara permanen, kita sudah terbiasa memakan bahan pangan alternatif yang telah disajikan sang Ndoro besar.

Sungguh rencana yang brilian.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!