Proyek Utopis


506

Tayangan viral yang menyorot aksi bullying sekelompok siswa pada gurunya, menyentak perhatian publik nusantara. Belakangan diketahui bahwa aksi tersebut terjadi pada Kamis (8/11) lalu di sebuah SMK Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Aksi tersebut pertama kali mencuat setelah disundul melalui akun facebook Eris Riswandi. Dan bisa ditebak, dalam hitungan singkat, aksi tersebut langsung menemui kanalnya di kolong jagat medsos.

Dan yang cukup mengenaskan adalah sikap 5 orang siswa yang mengeroyok gurunya dengan tendangan dan juga tertawaan bernada ejekkan. Pantaskah seorang guru diperlakukan demikian oleh para siswanya?

Mencuatnya kasus ini, kembali mempertanyakan kepada kita semua. Kemanakah gerangan pendidikan karakter yang selama ini kerap didengung-dengungkan oleh regulator dibidang pendidikan?

Beberapa kali saya sudah menulis artikel tentang perlunya pendidikan karakter di negara ini. Cukup miris, mengingat arus globalisasi yang demikian deras, tapi kita tidak memiliki filter budaya yang baik dalam bungkus karakter bangsa.

Akibatnya bisa ditebak. semua gamang, semua bingung dan seperti sinetron yang bisa ditebak akhir ceritanya, kerusakan demi kerusakan tengah terjadi pada generasi muda di negeri ini.

Serangan yang paling sering menyangkut 3 hal, yaitu: kejujuran, kedisiplinan dan ketidak egoisan. Dan ketiga hal tersebut merupakan komponen karakter dasar yang seharusnya dimiliki oleh para siswa. Gak percaya?

Coba ditanya, dari mana asal muasal korupsi? Atau kenapa angka perceraian kok kian hari kian meningkat? Semua itu berawal dari hal terkecil yang kemudian di pupuk, hari demi hari. Hal terkecil bernama ketidakjujuran.

Atau mungkin kita pernah bertanya-tanya, mengapa mental pejabat kita cenderung tidak taat aturan? Harusnya menjadi wakil rakyat, eh pas rapat dia malah ngabur atau molor. Harusnya jadi guru yang mengajarkan kebaikan, eh malah ngajarin radikalisme. Dari mana asalnya kelukan itu semua? Ketidakdisiplinan.

Begitupun dengan keegoisan. Semua merasa harus menjadi yang pertama. Semua ingin jadi pemenang. Seakan kalo semua prestasi sudah ditangan, masa depan otomatis ada dalam genggaman.

Maka jangan aneh kalo prestasi akademik jauh lebih prestius yang punya nilai jual bagi sebuah sekolah. Dan pendidikan karakter dengan sendirinya menjadi hal yang dinomor duakan. Semua sibuk cari nilai, semua sibuk mengejar prestasi akademik, tanpa mau peduli bahwa jaman sudah berubah.

Apa maksudnya?

Kalo kita hidup jaman baheula, mungkin individual performance adalah segalanya. Namun, sekarang kita lupa bahwa kini era milenium. Kolaborasi jauh lebih penting dari sekedar one man show.

Coba anda melamar ke Google. Mereka akan lebih memilih pelamar yang bisa bekerja dalam grup alias kolaborasi, ketimbang lulusan kampus top dengan IPK setinggi langit, yang tidak bisa bekerja secara kolaboratif.

Inilah yang bisa menjelaskan, bahwa pelajar Indonesia selalu babak belur dalam dunia kerja, karena semua dididik dalam alam yang individualistik. Serba egois. Giliran disuruh kerja tim, semua kedodoran.

Bagaimana solusinya?

Pendidikan karakter adalah keharusan yang harus digarap secara serius, bukan sekedar jargon. Masukkan ketiga karakter dasar tersebut dalam kurikulum pendidikan, terutama pendidikan dasar. Pendidikan karakter butuh waktu yang lama dan bertahap dalam pembentukkannya.

Dan yang paling utama adalah plotting yang jelas pada mata pelajaran yang menjadi ujung tombak pendidikan karakter, yaitu: pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama.

Pada kedua pelajaran ini, seharusnya penguatan karakter lebih ditekankan, karena karakter akan muskil terbentuk tanpa adanya reinforcement dan repetition. Karakter hanya akan timbul dari kebiasaan dan kebiasaan akan membentuk pribadi yang utuh. Nah penguatan bisa dilakukan dalam pembelajaran berulang untuk membentuk karakter orang tersebut.

Namun apa yang terjadi di lapang? Coba apa yang menjadi tagihan pada kedua pelajaran tersebut? Tak lebih dari seonggok nilai. Ranah kognitif yang sebenarnya bukan tagihan utama pelajaran tersebut. Sedangkan ranah sikap yang seharusnya jadi tekanan, malah diabaikan.

Pendidikan karakter hanya akan menjadi proyek utopis di negeri ini, jika tidak digarap dengan serius. Mengutip perkataan Albert Einstein, “Jika manusia hanya diajari banyak hapalan, maka kita seperti halnya melatih seekor anjing.”

Apakah kita demikian adanya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!