Potensi Genosida di Ethiopia
Oleh: Ndaru Anugerah
Kalo menyebut Ethiopia, siapa yang nggak familiar? Selain dikenal sebagai negara berpenduduk terpadat kedua di Afrika, Ethiopia juga punya dua sosok yang kini beken.
Pertama ada Tedros yang saat ini ditunjuk sebagai Dirjen WHO, dan kedua ada PM Abiy Ahmed yang pada 2019 silam mendapat Hadiah Nobel Perdamaian. Ya keduanya dari Ethiopia.
Soal Tedros saya nggak mau ulas, karena sudah pernah saya bahas. (baca disini)
Nah kali ini saya mau fokus sama sosok Abiy Ahmed. Banyak orang mengenal Ahmed sebagai sosok yang coba membawa Ethiopia menuju era baru yaitu demokrasi yang substantif. Paling banter informasi itu yang anda dapatkan, bukan? Selebihnya, siapa juga yang peduli.
Justru disini menariknya, karena Ethiopia justru berada diambang genosida besar abad ini. Gimana ceritanya?
Hampir 3 dekade Ethiopia dipimpin oleh orang bersuku Tigray yang berasal dari Front Demokratik Revolusioner Rakyat Ethiopia (EPRDF). Ini unik mengingat populasi orang Tigray di Ethiopia hanya 5% saja. Ini jelas nggak adil dimata mayoritas warga Ethiopia yang bersuku Oromo.
Jalan tengah akhirnya diambil dengan ditunjuknya mantan perwira intelijen militer yang bernama Abiy Ahmed yang beretnis Oromo selaku pemimpin baru di Ethiopia.
Saat Ahmed memimpin, dia buat langkah politik besar-besaran. Diantaranya menghapuskan label teroris pada organisasi Front Pembebasan Oromo (OLF). Akibatnya, aktivis vokal Oromo, Jawar Muhammed bisa kembali ke Ethiopia di tahun 2018 setelah hampir satu dekade mengungsi ke AS. (https://www.theguardian.com/global-development/2018/aug/20/jawar-mohammed-return-ethiopia-political-change-oromo)
Tapi itu tidak berlangsung lama. Jawar kembali masuk jeruji besi setelah seorang penyanyi ‘kebebasan’ yang bernama Hachalu Hundessa ditemukan tewas dengan cara ditembak. Dan Jawar langsung dituding sebagai biang keroknya. (https://www.bbc.com/news/world-africa-53298845)
Bukan itu saja. Status teroris langsung disematkan kembali pada Jawar oleh pemerintahan Ahmed. Ini jelas cari masalah, mengingat Jawar adalah raja media di Ethiopia sana. (https://www.bbc.com/news/world-africa-54219925)
Masalah diperuncing dengan adanya keinginan Ahmed dalam mempertahankan konsep negara terpusat alias sentralisasi. Ini jelas nggak adil dimata orang Oromo. “Kalo konsepnya mau sentralisasi, kenapa wilayah Sidama dikasih referendum buat ‘merdeka’ oleh Ahmed Abiy?” (https://www.aljazeera.com/news/2019/11/23/ethiopias-sidama-vote-for-new-federal-region-electoral-board)
Karena melihat ketidakdilan yang dilakukan Ahmed, maka beberapa tokoh Oromos mencoba melakukan kudeta di wilayah Amhara pada 2019 silam, meskipun berujung pada kegagalan. (https://www.theguardian.com/world/2019/jun/23/ethiopia-coup-attempt-leaves-army-chief-shot-says-pm)
Selanjutnya, langkah Ahmed Abiy dalam membentuk partai baru di Ethiopia (Partai Kemakmuran) pada Desember 2019, juga menyumbang tajamnya konflik yang tengah berlangsung. Akibatnya faksi utama di pemerintahan yaitu Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) tarik dukungan dari pemerintahan Ahmed. (https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/abiy-ahmed-prosperity-party-bad-news-ethiopia-191204130133790.html)
Padahal, TPLF merupakan kekuatan dominan di dalam koalisi pemerintahan Ethiopia yang punya basis militer kuat. Kebayang dong, gimana doyongnya pemerintahan Ahmed saat ini.
Kenapa TPLF tarik dukungan? Ya karena merasa ‘disisihkan’ oleh Ahmed dengan partai barunya.
Ahmed Abiy sengaja bikin kendaraan politik baru untuk mendukung konsep sentralisasi di Ethiopia, dengan memposisikan dirinya sebagai ‘pemimpin’ berdaulat tak tergoyahkan.
Ini yang bisa menjelaskan mengapa Ahmed Abiy terus menjabat walaupun masa jabatannya telah berakhir di Agustus lalu, dengan alasan klasik pandemi si Kopit. Karena tujuan utamanya adalah Ahmed nggak mau lengser dari kedudukannya saat ini. Kekuasaan itu manis rasanya, bukan? (https://www.aljazeera.com/news/2020/06/ethiopian-parliament-pm-abiy-stay-office-term-200610195337702.html)
Ini memicu keras kelompok TPLF yang menganggap Ahmed bukan lagi pemimpin di Ethiopia. Selain itu pihak TPLF juga tetap menggelar pilkada di bulan September, meskipun pemerintah pusat melarangnya dengan alasan pandemi. (https://qz.com/africa/1902614/ethiopia-tigray-tplf-party-wins-controversial-election/)
Jadi, Ahmed punya dua musuh utama di Ethiopia saat ini, yakni suku Oromo dan juga Tigray. Dan bila tidak ditangani dengan baik, maka potensi Balkanisasi di negara tersebut menjadi tak terelakan.
Masalah tambah ruwet, karena Ethiopia punya masalah eksternal dengan Mesir terkait dengan rencana membuat bendungan atas sungai Nil. (https://foreignpolicy.com/2020/09/22/the-ethiopian-egyptian-water-war-has-begun/)
Makin pusinglah kepala Ahmed Abiy.
Sekarang kita berhitung, langkah apa yang mungkin diambil Ahmed?
Kalo pakai cara lunak dengan diplomasi, statusnya sebagai perdana menteri bakal digeser. Dan ini nggak diinginkan Ahmed yang justru ingin terus berkuasa.
Kalo pakai cara keras alias kekuatan militer, justru akan memicu ‘pesta’ yang lebih meriah lagi. Jadi pakai cara apapun, potensi melebarnya konflik akan terbuka lebar.
Bayangkan jika suku Oromo atau Tigray menang konflik, apa yang terjadi pada suku yang berhasil dilibas kalo bukan genosida? Ingat konflik Rwanda?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments