Perang Soviet-Afghanistan
Oleh: Ndaru Anugerah
Perang Afghanistan memang sudah lama usai. Tapi apakah masalah selesai dengan ditariknya Soviet pada wilayah tersebut? Nyatanya, Afghanistan malah dijadikan ladang pertempuran sekaligus pabrik bagi terbentuknya kekuatan jihadis yang didanai oleh AS dan Arab Saudi.
Bagaimana konflik bermula?
Adalah Mohammed Daud Khan (MDK) yang semula menggulingkan sepupunya, Raja Zahir Shah pada kudeta dlakukan di tahun 1973. Otomatis pasca kudeta MDK didaulat sebagai presiden Afghanistan. (https://www.nytimes.com/1973/07/18/archives/afghan-king-overthrown-a-republic-is-proclaimed-afghanistan-king-is.html)
Masalah nggak berhenti sampai disitu, mengingat kemudian MDK mengklaim wilayah Pashtun yang merupakan wilayah di barat laut Pakistan. Tindakan MDK tersebut jelas buat gerah pemerintahan Pakistan yang saat itu dipimpin oleh Zulfikar Ali Bhuto.
Nggak heran bila akhirnya Ali Bhuto menggunakan kaum Islamis di Afghanistan dalam melemahkan kekuatan MDK di Afghanistan. Inilah cikal bakal kekuatan Mujahiddin di Afghanistan. (http://www.understandingwar.org/pakistan-and-afghanistan)
Kekuasaan MDK akhirnya terhenti saat kaum komunis Afghanistan melancarkan revolusi Saur di tahun 1978 yang dipimpin oleh Khalq alias Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDPA) yang didukung penuh oleh Uni Soviet. (https://www.jstor.org/stable/153920)
Kenapa Uni Soviet mendukung revolusi Saur? Karena Soviet menganggap bahwa 40 juta muslim di Afghanistan rentan terhadap radikalisme Islam, yang bisa mendorong pemberontakkan bukan saja di negara tersebut, tapi juga wilayah Asia Tengah lainnya yeng berbatasan dengan Afghanistan. (https://www.refworld.org/pdfid/3c6a3f7d2.pdf)
Karenanya, Uni Soviet kemudian menginvasi Afghanistan pada Desember 1979 untuk mendukung komunis Afghanistan melawan kekuatan Islamis tersebut.
Siapa yang berada dibalik kekuatan Mujahiddin tersebut?
Ada 3 negara yaitu AS, Arab Saudi dan Pakistan. Bahkan menurut dokumen yang dideklasifikasi oleh White House, CIA telah membantu para jihadis Afghanistan sebelum Uni Soviet mengivasi negara tersebut pada Desember 1979.
“Presiden AS Jimmy Carter yang langsung memberi arahan ke CIA untuk mempersenjatai para jihadis pada Juli 1979,” ungkap dokumen tersebut. (https://www.washingtonpost.com/outlook/2019/01/07/history-trump-cia-was-arming-afghan-rebels-before-soviets-invaded/)
Bahkan Presiden Trump mengatakan, “Alasan Rusia menginvasi Afghanistan adalah karena teroris masuk ke Rusia, mereka benar berada di sana.” (https://www.washingtonpost.com/politics/2019/01/02/trumps-bizarre-history-lesson-soviet-union-russia-afghanistan/)
Lantas, apa kepentingan AS, Arab Saudi dan Pakistan di Afghanistan?
Sudah rahasia umum kalo negara-negara di Asia Tengah kaya akan sumber energi minyak dan gas, tak terkecuali Afghanistan. Bayangkan bila cadangan migas tersebut berhasil dikuasai Soviet, apa nggak kacau dunia persilatan? (https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2Fs12182-014-0377-7.pdf)
Selain itu, AS juga menjadikan perang Afghanistan sebagai sarana untuk membalas kekalahan yang dideritanya saat Perang Vietnam yang disokong oleh Uni Soviet.
Sedangkan Arab Saudi, adalah pabrik pencetak para jihadis yang ada di Afghanistan (yang kemudian mendirikan pemerintahan Taliban), yang sudah pasti beraliran Wahhabi. “Taliban sendiri awalnya sekolah agama Islam beraliran radikal yang didanai penuh oleh Arab Saudi.” (https://www.bbc.com/news/world-asia-49192495)
Pakistan sendiri, (selain konflik atas wilayah Pashtun dengan Afghanistan), merupakan anggota aliansi regional SEATO dan CENTO yang dipimpin oleh AS yang bertujuan menghadang gerakan anti komunis di dunia pada 1950-an. (https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/1964-01-01/pakistan-american-alliance)
Jadi nggak mungkin bagi Pakistan untuk bersikap netral saat Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979. Lha wong AS merupakan sekutu dekatnya.
Pada tataran teknis, pasukan gerilyawan Afghanistan didukung oleh persenjataan dan dana yang mumpuni, setelah sebelumnya mereka mendapat pelatihan teknik perang oleh AS lewat Operasi Siklon yang dibesut oleh CIA. Operasi tersebut menelan biaya sekitar USD 50 juta. (https://warontherocks.com/2019/02/afghanistan-remembering-the-long-long-war-we-would-rather-forget/)
Jangan herman bila kombatan mujahidin di Afghanistan, menjadi begitu sulit untuk ditaklukkan oleh Uni Soviet. Ini pula yang akhirnya memaksa perang Soviet-Afghanistan berlangsung lama, kurleb hampir satu dekade.
Pada akhirnya, perang tersebut menjadi perangkap yang sukses dalam menjebak beruang Soviet dalam kekalahan. Soviet dipaksa ‘mundur’ di tahun 1989 dengan kerugian finansial yang sangat besar akibat mendukung penuh perang tersebut.
“Duit udah banyak keluar, tapi gerilyawan Mujahiddin nggak kunjung bisa diberantas.”
Ini juga yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong rontoknya Uni Soviet di tahun 1991.
Perang Soviet-Afghanistan boleh-boleh saja telah berakhir. Namun bangkitnya kekuatan Islam fundamentalis justru berawal disitu. Termasuk kekuatan Al-Qaeda dan ISIS yang dijadikan alat justifikasi AS dalam mengusung Global War on Terrorism. (baca disini dan disini)
Saat diwawancara oleh Washington Post, mantan Penasihat Keamanan Nasional AS di era Jimmy Carter, Zbigniew Brzezinski mengatakan bahwa AS sama sekali tidak menyesal telah mendukung para jihadis Islam (saat perang Soviet-Afghanistan) yang belakangan telah melahirkan kader teroris di masa depan. (https://www.counterpunch.org/1998/01/15/how-jimmy-carter-and-i-started-the-mujahideen/)
“Apa yang penting bagi sejarah dunia? Kelompok teroris Taliban atau runtuhnya kekaisaran Soviet?” begitu kurleb ungkap Brzezinski.
Apa pentingnya saya membahas perang Soviet-Afghanistan?
Konflik perang di Afghanistan adalah kunci dalam menjawab tidak kunjung tuntasnya pemberantasan terorisme di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Dimana para pelaku teror umumnya merupakan kombatan asal Afghanistan.
Bagaimana para jihadis Indonesia bisa ke Afghanistan? Siapa yang mensponsori? Apa implikasinya bagi gerakan terorisme di Indonesia?
Harap bersabar ya. Pada lain tulisan saya akan mengulasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments