Penyangkalan Fakta
Oleh: Ndaru Anugerah
Di tahun 2002 – 2004, dunia mengalami wabah SARS yang disebabkan oleh virus Corona, yang dijuluki sebagai SARS-CoV-1.
Walaupun tidak sama persis dengan SARS-CoV-1, namun secara genetik C19 yang dikenal sebagai SARS-CoV-2 memiliki 79% genom yang sama dengan SARS-CoV-1. Keduanya menggunakan reseptor sel inang yang sama, yang digunakan oleh virus untuk masuk ke dalam sel dan menginfeksi korban. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7180649/)
Lantas, bagaimana penanganan di Amrik?
Di tahun 2005, The Virology Journal menerbitkan laporan beberapa ilmuwan yang menggunakan chloroquine dalam pengobatan SARS, dengan judul: “Chloroquine adalah penghambat kuat infeksi dan penyebaran virus Corona SARS.”
Apa yang ditemukannya?
“Kami melaporkan bahwa chloroquine memiliki efek antivirus yang kuat pada infeksi SARS-CoV sel primate. Efek penghambatan ini diamati ketika sel diobati dengan obat tersebut, baik sebelum atau setelah terpapar virus, yang menunjukkan keuntungan profilaksis dan sebagai terapi,” begitu kurlebnya. (https://virologyj.biomedcentral.com/articles/10.1186/1743-422X-2-69)
Apakah pihak AS tidak mengetahui hal ini? Info detik ini Duterte lagi nongkrong dimana dan sama siapa AS bisa tahu, masa informasi demikian penting kok nggak tahu. Yang bokir ahh…
Ini artinya, AS telah lama tahu tentang chloroquine yang digunakan sebagai obat penyakit yang disebabkan virus Corona dan juga terapi pencegahan untuk kasus virus Corona di masa depan.
Dengan kata lain, chloroquine merupakan obat ajaib untuk virus Corona.
“Konsentrasi 10 μM sepenuhnya menghilangkan infeksi SARS-CoV. Chloroquine dapat secara efektif mengurangi pembentukan infeksi dan penyebaran SARS-CoV.” (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1232869/)
Tentang penggunaan chloroquine, saya pernah analisa secara lengkap. (baca disini)
Yang paling spektakuler adalah penggunaan chloroquine dalam penanganan korban C19 di Perancis yang dipimpin oleh Prof. Didier Raoult.
“Penggunaan chloroquine yang diberikan oleh dengan azitromisin dan zinc, berhasil menyembuhkan 79 dari 80 pasien (C19) dengan efek samping yang relatif kecil.”
Lebih lanjut dikatakan, “Chloroquine adalah obat yang potensial sehingga dapat menanggulangi risiko penularan C19. (https://blogs.sciencemag.org/pipeline/archives/2020/03/29/more-on-cloroquine-azithromycin-and-on-dr-raoult)
Tapi yang perlu diingat, bahwa pengobatan dengan chloroquine hanya akan efektif jika seseorang sudah menunjukkan gejala C19. Dengan kata lain, pasien dengan gejala akut, nggak akan ngefek terhadap pengobatan chloroquine. (https://www.the-hospitalist.org/hospitalist/article/221227/arrhythmias-ep/hydroxychloroquine-ineffective-covid-19-va-study-suggests)
Lalu, bila gejalanya sudah akut (misalnya untuk nafas saja udah susah) apa yang layak dipakai? Tentang ini saya sudah kasih solusinya juga. (baca disini)
Mungkin, karena mendengar pembisik disekelilingnya, Trump akhirnya menginstruksikan untuk menggunakan chloroquine dalam mengobati pasien C19 pada 20 Maret silam.
Namun apesnya, Food and Drug Administration (FDA) bukannya kasih otorisasi malahan memperingatkan penggunaan chloroquine, karena dapat menyebabkan detak jantung tidak teratur dan trauma jantung lainnya. (https://www.theguardian.com/us-news/2020/may/18/trump-taking-hydroxychloroquine-covid-19-fda-warnings)
Logikanya kalo chloroquine bisa memicu masalah jantung, para pasien malaria juga berisiko mengalami gangguan jantung karena menggunakan obat ini, donk? Kenapa chloroquine nggak dilarang penggunaannya, kalo gitu? Kan katanya nggak aman?
Aliasnya, statement FDA tersebut jelas mengada-ada. Lagian, apa chloroquine merupakan obat keras? Kan nggak juga, Bray..
Menanggapi pernyataan FDA yang sifatnya spekulatif, pada 23 Maret, Dr. Vladimir Zelenko justru melakukan aktivitas anti mainstream. Dokter keturunan Yahudi tersebut justru menggunakan chloroquine dalam menangani pasien C19, dengan tingkat keberhasilan 100%.
“Tim saya telah merawat sekitar 350 pasien di Kiryas Joel dan 150 pasien lainnya di New York dengan treatment menggunakan chloroquine. Hasilnya kami mendapati NOL kematian, NOL dirawat di rumah sakit dan NOL intubasi.”
Bagaimana dengan efek sampingnya?
“Saya belum mendengar efek samping negatif, selain sekitar 10% pasien mengalami mual dan diare sementara,” begitu ungkap Dr. Zelenko. (https://www.nytimes.com/2020/04/02/technology/doctor-zelenko-coronavirus-drugs.html)
Apakah pengobatan chloroquine menguras kantong?
Justru sebaliknya. Murmer alias ramah dikantong. Hanya sekitar USD 20 saja.
“Semua yang saya lakukan adalah dengan menggunakan kembali obat-obatan lama yang ada disekitar kita dan sudah diketahui tingkat keamanannya. Saya hanya memakainya dengan kombinasi unik dalam pengaturan dengan rawat jalan.” (https://www.varindia.com/news/dr-vladimir-zelenko-treated-699-coronavirus-patients-with-100-success)
Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada Dr. Zelenko? Bukannya dapat pujian, justru makian dari media mainstream karena dianggap dokter cari sensasi. Bahkan seorang jaksa federal berencana akan melakukan penyelidikan atas apa yang telah dilakukan Dr. Zelenko tersebut. (https://www.nytimes.com/2020/05/01/us/coronavirus-doctor-zelenko-malaria-drug.html)
Apakah AS nggak memberikan kesempatan untuk uji klinis terhadap penggunaan chloroquine dalam menangani pasien C19? Sudah, beberapa hari yang lalu. (https://www.nih.gov/news-events/news-releases/nih-begins-clinical-trial-hydroxychloroquine-azithromycin-treat-covid-19)
Namun hasilnya, sudah bisa ditebak. Paling nanti bunyinya: “Chloroquine tidak terbukti efektif dalam membantu pasien C19, malahan bakal memicu masalah jantung atau malah kematian.”
Kenapa bisa begitu?
Apakah rencana besar untuk jualan vaksin diakhir cerita bakal digagalkan oleh sebuah obat bernama chloroquine?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments