Pengujian C19, Perlukah?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Bang, perlu nggak kita di test Corona?” tanya seseorang.
Seingat saya, saya pernah mengulas tentang hal ini, walaupun masih belum terlalu detil. (baca disini).
Karena ada pertanyaan tadi, maka kali ini saya coba membahasnya, agar anda memiliki pemahaman yang lebih komprehensif.
Pertanyaan mendasar, apa urgensi suatu test dilakukan?
Bicara urgensi, bicara tingkat kepentingan. Kalo nggak penting-penting amat, ngapain juga diuji? Pertama buang waktu, kedua buang biaya dan ketiga apakah hasilna cukup akurat?
Namun secara umum pemerintah manapun akan berkilah: “Pengujian penting dilakukan untuk mengetahui berapa banyak orang yang terinfeksi dalam suatu komunitas selain untuk memahami bagaimana virus Corona bisa menyebar.” Paling itu jawaban standar-nya.
Berikutnya akan ada action plan yang diperlukan untuk mitigasi pandemi seperti: mengatur social & physical distancing, stay at home hingga teknis pemakaian masker. Semua itu diperlukan untuk ‘meratakan kurva” pandemi C19.
Sebelum melangkah ke jawaban tentang perlu tidaknya test, maka anda perlu tahu dulu apa itu virus Corona.
Di tahun 1965, virus Corona diidentifikasikan pertana kali dan dikaitkan dengan flu biasa. Jadi bukan baru-baru ini saja.
Ada sekitar 36 jenis virus Corona, namun hanya 4 virus yang biasanya menyebabkan infeksi pada manusia selama lebih dari 60 tahun. Selain itu, 3 virus Corona yang berhasil memicu pandemi pada manusia, yaitu: SARS, MERS dan C19. (https://vaxxter.com/same-play-book-different-virus/)
Pengujian pada manusia segera dilakukan setelah keadaan darurat (pandemi) diumumkan.
Masalahnya, perangkat yang digunakan untuk menguji: jumlahnya terbatas dan tingkat keterhandalannya dipertanyakan.
Menilik kasus di AS, dimana alat test yang disediakan CDC ternyata cacat, sehingga reagen bereaksi terhadap sampel kontrol negatif. Singkat kata perangkat test tidak akurat dan nggak layak pakai. (https://www.sciencemag.org/news/2020/02/united-states-badly-bungled-coronavirus-testing-things-may-soon-improve)
Ini memicu banyak orang Amrik mempertanyakan urgensi pengujian yang dilakukan pemerintah. “Test-nya ngawur, apa mungkin hasilnya akurat?” demikian kurleb pertanyaannya. Kondisi ini akhirnya memaksa pemerintah negara bagian mengeluarkan instruksi wajib test kepada semua warga negaranya.
Washington, contohnya, dimana Gubernur Inslee menyatakan: “Orang-orang yang menolak pengujian, akan dikenakan sanksi dimana mereka tidak diijinkan meninggalkan rumah untuk sekedar membeli kebutuhan dasar semisal bahan pangan.” (https://lynnwoodtimes.com/2020/05/12/governor-inslee-lays-out-statewide-contact-tracing-plan-for-covid-19/)
Padahal, pengujian itu sifatnya tidak bisa memaksa, karena ada UU yang melindungi kebebasan warga negara untuk menentukan pilihannya, bukan?
Lantas, bagaimana prosedur test dilakukan?
Uji PCR alias (Polimerase Chain Reaction) hanya dapat digunakan untuk mengidentifikasi virus DNA. Sedangkan virus C19 adalah virus RNA yang mengandalkan infiltrasi sel sehat untuk bisa bertahan hidup dan berkembang biak. (https://www.iaea.org/newscenter/news/how-is-the-covid-19-virus-detected-using-real-time-rt-pcr)
Aliasnya, test harus dibalik, agar bisa mengidentifikasi jenis virusnya secara spesifik. Maka untuk menguji C19, dipakai uji RT-PCR (reverse-transcriptase polymerase chain reaction). (https://www.emedicinehealth.com/pcr_polymerase_chain_reaction_test/article_em.htm)
Masalahnya dimana? Pengaturan waktu pengujian.
Bahkan jika seseorang memiliki semua gejala yang terkait dengan infeksi coronavirus atau telah terpapar dengan orang yang telah didiagnosis dengan C19, kemungkinan tes RT-PCR positif menjadi berkurang seiring dengan jumlah hari melewati timbulnya gejala.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Paul Wikramaratna mengamini hal tersebut:
“Untuk usap hidung, persentase peluang tes positif menurun dari sekitar 94% pada hari ke 0 menjadi sekitar 67% pada hari ke 10. Pada hari ke 31, hanya ada 2% peluang hasil positif. Untuk usap tenggorokan, persentase peluang dari tes positif menurun dari sekitar 88% pada hari ke 0 menjadi sekitar 47% pada hari ke 10. Pada hari ke 31, hanya ada 1% peluang hasil positif.”
Dengan kata lain, semakin lama kerangka waktu antara timbulnya gejala mula-mula dan waktu seseorang diuji, semakin besar kemungkinan tes akan memperoleh hasil negatif. Terus, bagaimana kita tahu waktu yang tepat untuk pengujian, Bambang? (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.04.05.20053355v2.full.pdf)
Lalu, apakah perlu pengujian ulang terhadap hasil yang negatif? Nggak ada jaminan juga hasilnya akurat, mengingat sistem kekebalan tubuh pasti bekerja untuk pemulihan akibat infeksi virus. Yang ada (kalo diuji ulang) hasilnya bisa naik turun kek roller-coaster, “negatif-positif-negatif…..”
Dan yang terpenting, menurut FDA, uji RT-PCR tidak harus sama dengan virus yang menular penyakit. Ini bisa terjadi karena hasil positif RT-PCR tidak selalu dapat mengidentifikasikan adanya virus lengkap. Padahal hanya virus lengkap-lah yang bisa menularkan dan menyebabkan penyakit. (https://www.fda.gov/medical-devices/emergency-situations-medical-devices/faqs-testing-sars-cov-2)
Makin bingungkan?
Let’s say kalo misalnya anda memiliki semua gejala C19, tetapi hasil RT-PCR anda negatif, apakah itu berarti anda bebas bepergian ke sekolah atau tempat kerja, atau gimana? Apakah anda berisiko menular penyakit ke orang lain atau nggak? Apakah itu berarti anda sudah terpapar sehingga anda harus tetap berada di rumah, atau apa?
Singkatnya, implikasi hasil test cukup membingungkan.
Dengan semua paparan tersebut, silakan anda jawab sendiri pertanyaan di atas.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments