Belakangan ramai dibicarakan tentang wacana pemindahan ibukota negara. Adalah Jokowi yang kembali menghembuskan isu tersebut ke permukaan. Akibatnya sungguh dahsyat. Polemik kembali bermunculan antara yang pro dan kontra.
Berdasarkan data yang saya dapat, awalnya ada 3 opsi yang diajukan. Pertama ibukota tetap di Jakarta tetapi daerah seputaran Istana dan Moas dibuat khusus untuk kantor-kantor pemerintahan, kementerian dan lembaga. Ini perlu dilakukan untuk menciptakan iklim efisiensi dalam hal koordinasi.
Opsi kedua, pusat pemerintahan dipindah ke luar Jakarta, tapi jarak radiusnya nggak jauh-jauh amat alias masih dapat dijangkau. Sekitar 50-70 km dari Jakarta. Ide ini bagus, tapi berdasarkan analisa kelayakan, sulit menemukan lokasi ideal.
“Kawasan Jonggol saja yang sempat digadang-gadang, nggak layak karena berdasarkan studi masuk daerah rawan gempa,” demikian ungkap sebuah narsum.
Dan opsi terakhir adalah memindahkan ibukota ke luar pulau Jawa, yang secara spesifik mengarah ke kawasan Indonesia Timur. “Bosen kalau terus-terusan di wilayah Barat, selain ketimpangan pembangunan yang harus dipikirkan,” ungkap narsum yang lain.
Setelah utak-atik gatuk, Jokowi lebih memilih untuk memindahkan ibukota ke luar pulau Jawa. Dan hasil ‘bocoran’ yang saya dapat, sepertinya akan dipindahkan ke Palangkaraya. Ini sebenarnya bukan isu baru, mengingat mendiang presdien Soekarno pernah memiliki wacana untuk menarget daerah tersebut sebagai ibukota negara pada tahun 1950an.
Ada beberapa alasan kenapa Palangkaraya yang akan dipilih sebagai daerah tujuan ibukota negara.
Pertama, adanya lahan yang cukup untuk membangun sebuah ibukota. Konon, lahan seluas 300 ribu hektar telah dipersiapkan untuk tujuan tersebut. Dan dengan luas lahan tersebut, ibukota baru akan lebih lapang ketimbang wilayah Jakarta yang serba empet-empetan.
Kedua, berdasarkan analisa kelayakan, Palangkaraya tidak memiliki gunung berapi dan laut, sehingga tidak masuk klasifikasi daerah rawan gempa dan tsunami. Belum lagi hutan dan sungainya yang banyak, akan mampu menampung air saat musim penghujan tiba. Dengan kata lain, ancaman banjir juga bisa diantisipasi.
Dan yang ketiga, secara georafi, Palangkaraya ada ditengah-tengah Indonesia.
Lha, apa urgensinya?
Ingat cita-cita Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia? Nah untuk itulah, fungsi ibukota adalah sebagai poros. Yang namanya poros, posisinya harus ada ditengah, bray…
Jakarta, jika bicara dalam konteks geografi, posisinya ada di Barat. Dan ini justru akan memicu ketimpangan dalam segala hal. Dengan kata lain, konsepsi Jawa-sentris dalam pembangunan otomatis tercipta.
Tragis. Padahal justru, wilayah Indonesia Timur-lah yang selama ini banyak memiliki Sumber Daya Alam yang mampu menopang pembangunan Indonesia, tapi hampir tidak bisa mencicipi manisnya kue pembangunan tersebut, akibat masifnya pembangunan yang ada di Jawa.
Dengan bergabungnya Indonesia kepada mega proyek Belt and Road Initiative yang digagas oleh China, maka pembangunan wilayah Indonesia Timur adalah keniscayaan. Demi menyelaraskan tujuan tersebut, Pakde-pun berencana memindahkan ibukota negara, selain menjawab masalah ketimpangan pembangunan selama ini.
Adanya ibukota yang berada ditengah kepulauan Nusantara, maka secara geopolitik segala macam keputusan yang sifatnya strategis dapat mudah dieksekusi. Kalo sekarang, misalnya, Papua butuh keputusan cepat dari pemerintah pusat, maka jarak yang lumayan jauh akan menjadi kendala tersendiri. Padahal, era digital membutuhkan segala keputusan yang sifatnya serba cepat.
Dan kita bisa lihat, siapa yang kemudian beraksi keras dengan rencana ini? Ada 2 kelompok. Pertama, merekalah yang selama ini menikmati manisnya proyek-proyek pembangunan yang bisa mencukupi priuk-priuk nasi mereka. Dan yang kedua, mereka yang selama ini dijadikan pion oleh pemerintahan mamarika untuk merongrong pemerintahan Indonesia.
Satu yang pasti. Adanya proyek strategis dengan China yang melibatkan Indonesia, mampu membuat pemerintah AS meradang. Karena adanya dengan kerjasama tersebut, mungkinkah negeri Paman Sam kelak bisa menikmati manisnya kue pembangunan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments