Obat si Kopit


506

Obat si Kopit

Siapa yang paling diuntungkan pada scamdemic si Kopit? Banyak pihak tentunya. Salah satunya adalah Big Pharma.

Kok bisa?

Pada Oktober ini, Gilead Sciences yang memproduksi obat Kopit yang diberi nama Remdesivir, menandatangai kontrak kerjasana dengan Uni Eropa. Nilainya lebih dari USD 1 milyar. Angka yang fantastik. (https://www.reuters.com/article/us-health-coronavirus-eu-remdesivir-idUSKBN26Y25K)

Bukan itu saja, FDA yang ada di Amrik sana, juga menyetujui penggunaan Remdesivir sebagai obat dalam menanggulangi si Kopit di negeri Paman Sam tersebut. (https://www.gilead.com/news-and-press/press-room/press-releases/2020/10/us-food-and-drug-administration-approves-gileads-antiviral-veklury-remdesivir-for-treatment-of-covid19)

Dengan demikian, obat ‘resmi’ yang dianjurkan untuk dipakai dalam menanggulangi si Kopit, ya Remdesivir.

Jadi buat anda yang punya banyak duit, dan sangat khawatir terhadap kesehatan anda, anda bisa berburu tuh obat. Bukan kah anda langsung percaya kalo badan resmi sudah kasih statement?

Bagi anda yang masih punya pemikiran kritis, saya justru mau kasih analisa yang berbeda. By the way, saya pernah bahas tentang keefektifan Remdesivir beberapa bulan yang lalu. (baca disini)

Di sisi lain, menanggapi referensi yang diberikan FDA, Eric Topol selaku ilmuwan Scripps Research Translational Institute bereaksi dengan mengatakan, “Langkah yang diambil FDA dan UE dengan memberikan persetujuan terhadap penggunaan Remdesivir, jelas merupakan kejahatan, karena tanpa data, tanpa bukti dan tanpa sains.” (https://khn.org/morning-breakout/little-evidence-fda-expands-use-of-remdesivir-anyway/)

Lantas kenapa FDA merekomendasikan penggunaan Remdesivir?

Karena ada rujukan dari 3 penelitian sebelumnya. Satu penelitian yang dilakukan oleh NIH dan 2 penelitian yang disponsori oleh Gilead. Aliasnya, rekomendasinya nggak ‘bebas’ kepentingan. (https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/nda/2020/214787Orig1s000Sumr.pdf)

Jelas aja mengundang polemik yang dahsyat. Sudah lazim bila yang menjadi sponsor penelitian, pasti punya ‘kepentingan’ terhadap hasil penelitiannya, bukan?

Lalu bagaimana ujicoba pembanding yang dilakukan oleh Solidaritas WHO?

Mereka melakukan penelitian di 30 negara pada 405 rumah sakit yang ada di negara tersebut. Cukup representatif. Harapannya, lebih banyak sampel didapat, maka hasilnya diharapkan dapat menjawab pertanyaan: apakah Remdesivir mendatangkan manfaat?

Setelah dapat datanya dan diolah, maka hasil penelitian tersebut di publikasi pada medRxiv. Dan hasilnya mengungkapkan bahwa Remdesivir nggak berhasil menurunkan angka kematian pasien si Kopit yang dirawat di RS.

Selain itu, Remdesivir tidak mempengaruhi durasi rawat inap bagi pasien si Kopit. (https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.10.15.20209817v1.full.pdf)

Dengan kata lain, Remdesivir tidak mengurangi kematian akibat si Kopit. “Butuh waktu lama bagi pasien Kopit untuk pulih setelah minum Remdesivir,” begitu kurleb-nya. (https://www.who.int/news/item/15-10-2020-solidarity-therapeutics-trial-produces-conclusive-evidence-on-the-effectiveness-of-repurposed-drugs-for-covid-19-in-record-time)

Harusnya, rilis penelitian yang dibuat Solidaritas WHO dijadikan rujukan bagi FDA, bukan malah menegasikan dan buat keputusan sepihak dengan menetapkan Remdesivir sebagai rujukan obat bagi pasien si Kopit.

Memang apa efek samping yang bisa ditimbulkan akibat pemakaian Remdesivir?

WHO mencatat pada akhir Agustus silam, bahwa pasien yang menerima Remdesivir untuk pengobatan si Kopit mengalami gangguan pada hati dan juga ginjal. (https://www.who.int/medicines/regulation/medicines-safety/COVID19-PV-update11.pdf)

Laporan ini selaras dengan temuan yang didapat European Medicines Agency (EMA) yang menyatakan bahwa pemakaian Remdesivir perlu ditinjau ulang mengingat adanya laporan cidera ginjal akut pada pasien si Kopit yang menggunakannya. (https://www.ema.europa.eu/en/medicines/human/EPAR/veklury)

Artinya apa?

Remdesivir nggak cukup efektif dalam mengatasi pandemi si Kopit.

Yang terbukti benar adalah harga obat tersebut yang sangat mahal, karena dibutuhkan biaya sekitar USD 2400 untuk sekali pengobatan. (https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/ip_20_1416)

Pertanyaannya: maukah anda mencoba obat pabrikan Big Pharma tersebut?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!