Nominasi Nobel


507

Nominasi Nobel

Oleh: Ndaru Anugerah

Hanya beberapa minggu setelah mencoba menjadi penengah proses perdamaian antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA), Trump berhasil dinominasikan sebagai kandidat peraih Nobel Perdamaian 2021. (https://www.foxnews.com/politics/trump-nominated-for-nobel-peace-prize-by-norwegian-official)

Siapa yang merekomendasikan?

Nggak lain adalah Christian Tybring-Gjedde, selaku anggota parlemen Norwegia. Dialah yang kerap memuji Trump atas upayanya menyelesaikan konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah.

“Atas jasanya, saya pikir Trump telah melakukan banyak upaya untuk menciptakan perdamaian antar negara daripada kebanyakan nominator Hadiah Perdamaian lainnya,” ungkap Gjedde. Bahkan menurut Gjedde, Trump merupakan presiden AS pertama sejak Carter yang belum memulai konflik baru.

Sebagai informasi, ini bukan kali pertama Gjedde mencalonkan presiden petahana AS sebagai nominator peraih Nobel. Sebelumnya, Gjdde juga telah mencalonkan Trump pada 2018 silam karena upayanya untuk memperbaiki hubungan Korea Utara dan Selatan, namun kandas.

Dan ini kali kedua, dirinya mengajukan Trump sebagai calon peraih Nobel kembali. Wajar, mengingat berdasarkan aturan main yang dikeluarkan oleh Komite Nobel Norwegia, setiap calon harus diusulkan oleh politisi dan anggota parlemen top di negara tersebut. Termasuk oleh seorang Gjedde.

Pentingnya kesepakatan damai antara UEA dan Israel, menurut humas Israel Avigdor Eskin, layak dijadikan alasan bagi seorang Trump untuk mendapatkan Hadiah Nobel tersebut.

“Perjanjian tersebut membuka gerbang untuk hubungan yang konstruktif dan bersahabat dalam arti yang luas,” ungkap Eskin. (https://sputniknews.com/analysis/202008201080220185-why-arab-nations-are-seeking-normalisation-with-israel-unlike-iran-and-turkey/)

Dan benar saja. Pada 11 September yang lalu, Trump menyatakan bahwa Bahrain akan mengikuti UEA untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel. “Ini merupakan langkah maju,” ungkap Trump. (https://sputniknews.com/middleeast/202009111080433463-israel-bahrain-agree-to-normalize-relations)

Rencananya, upacara penandatanganan Abraham Accord (kesepakatan perdamaian) antara UEA dan Israel akan berlangsung di Gedung Putih pada 15 September mendatang.

Meskipun mayoritas negara Arab memboikot Israel karena upaya aneksasinya terhadap Palestina, nyata sudah ada 2 negara Arab yang sebelumnya telah menjalin kerjasama dengan negara Zionis tersebut, yaitu Mesir (1979) dan Yordania (1994).

Lalu, apakah upaya pencalonan Trump sebagai nominator penerima Hadiah Nobel akan berjalan mulus?

Analis senior di Wall Street, Charles Ortel justru menyatakan sikap yang pesimis. “Kalo alasannya adalah bahwa Trump merupakan Presiden AS pertama setelah Carter yang memegang kekuasaan tanpa konflik baru, itu jelas lebay,” kurleb begitu ungkap Ortel.

Masuk akal.

Coba anda lihat bagaimana seorang Trump yang dengan mudahnya mengeluarkan rencana perdamaian bagi Israel dan Palestina (Deal of The Century), tapi konyolnya nggak mengikut sertakan pihak Palestina dalam perundingan. (https://www.bbc.com/news/world-middle-east-51263815)

Bagimana juga seorang Trump yang tanpa melalui proses penyelidikan tetiba langsung tuding China sebagai negara penyebab wabah Corona. (https://theconversation.com/donald-trumps-chinese-virus-the-politics-of-naming-136796)

Itu saja sudah cukup sebagai alasan bahwa Trump nggak punya itikad baik dalam meredam, tapi justru malah menciptakan konflik.

Lagian, kalo mau bahas masalah perdamaian di Timur Tengah, nggak akan mungkin capai solusi tanpa melibatkan masalah Palestina yang telah dicaplok wilayahnya oleh Israel. Jadi bukan penandatanganan perjanjian damai antara Benjamin Netanyahu dan Mohammed bin Zayed Al Nahyan semata, lantas masalah di Timteng langsung wes-ewes-ewes bablas angine.

Sekedar info, bahwa bukan sekali ini saja Nobel buat langkah blunder. Pada Desember 2009, Barrack Obama juga telah menerima hadiah serupa, karena jasanya memperkuat diplomasi internasional dan kerjasana antar manusia. (https://www.nobelprize.org/prizes/peace/2009/press-release/)

Namun belakangan, mantan sekretaris Nobel Geir Lundestad mengaku menyesal atas upaya pemberian hadiah tersebut. “Hadiah itu adalah kesalahan fatal karena tidak sesuai dengan harapannya,” ungkapnya. (https://apnews.com/62b528f542724995b7fac9f9cb8921c7)

Ya jelas aja. “Kekacauan di Timur Tengah justru dipicu oleh Obama, Hillary Clinton dan John Kerry, sehingga banyak pengungsi yang bermigrasi ke Barat akibat krisis yang ditimbulkan,” ungkap Charles Ortel.

Bisa disimpulkan bahwa pemberian Nobel sarat unsur politisnya.

Akankah Trump sukses melenggang untuk meraih Nobel? Sebagai analis, saya meragukannya.

Kalo Trump aja bisa dapat Nobel, bukan nggak mungkin seorang Wan Abud akan menerima hadiah serupa atas jasanya terhadap Republik Wakanda.

Apa memang seperti itu maunya?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!