Oleh: Ndaru Anugerah
Jakarta, 1998. Gelombang demonstrasi mahasiswa yang menginginkan dibubarkannya Sidang Istimewa MPR karena dianggap dagelan politik semata, jelas tak bisa diremehkan. Pasalnya, di tahun yang sama, para mahasiswa telah berhasil menggulung penguasa 32 tahun orde baru, Soeharto.
Pemerintahan transisi di bawah Habibie, kelimpungan. Setelah berhitung cermat, maka harus ada demonstrasi tandingan, yang tujuannya satu, menghalau gerakan mahasiswa saat itu. Karenanya, Habibie menginstruksikan Wiranto untuk membentuk massa tandingan yang kelak bernama Pam Swakarsa.
Dananya dari mana? “Dana non budgeter BULOG,” demikian sasus yang beredar.
PAM Swakarsa kemudian diisi oleh beberapa organisasi berlatar paramiliter seperti Forum Ummat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Brigade Hizbullah BKUI. Karena memang tujuannya mendukung militer saat itu.
Belakangan, beberapa ormas tersebut melebur dan menjadi satu payung organisasi besar bernama FPI dibawah komando sang baginda habibina Rizieq Shihab dengan markasnya di Petamburan, Jakarta.
“FPI berisikan sejumlah habaib, ulama, mubaligh dan aktivis muslim,” demikian pungkas seorang laskar.
Setelah proyek demo tandingan di penghujung 1998 tersebut usai, praktis FPI yang telah berdiri sebagai sebuah organisasi kemudian lebih banyak bermain di aktivitas dakwah dan mengadakan demonstrasi yang menuntut penegakkan hukum syariah di Indonesia.
Namun perlu digarisbawahi, bahwa ormas petamburan tersebut sifatnya non-ideologis. Hanya taktis semata.
Seiring dengan masuknya HTI pada ormas tersebut, maka radikalisasi-pun terjadi. Laskar yang tadinya agak beringas, menjadi over beringas. Kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh para laskar di lapangan, sontak menjadikan FPI menjadi ormas yang brutal dengan stigma premanisme berbaju agama.
Tak sedikit dalam menjalankan aksi-aksi di lapangan, FPI bertindak main hakim sendiri. Dan aksinya pun banyak yang mengundang antipati. Dari mulai penyerangan tempat hiburan malam, hingga perusakkan atribut agama lain. “Ini ormas apa aparat keamanan?” demikian umpat warga.
Siapa yang kemudian bisa melambungkan nama FPI dijagat perpolitikkan nasional? Ya HTI, jawabannya. Tentang hal ini, saya pernah membahasnya. (baca disini) Aksi demonstrasi berjilid tempo hari sukses menjadikan FPI sebagai ormas nomor wahid, dibawah kendali HTI.
Berbekal sukses pada demonstrasi yang diklaim dihadiri oleh jutaan ummat tersebut, menjadikan sang Bibul besar kepala. Pikirnya, jika Ahok saja yang demikian besarnya bisa dimasukkan ke jeruji besi, apalagi yang lain. Rasa jumawa itu kian hari kian membesar. Padahal Bibul lupa, tanpa HTI apalah arti dirinya.
Dan benar saja, skandal chat mesum yang konon dilakukan oleh sang lejen bersama wanita yang bukan mukhrim-nya (Firza Husein), menjadikan dirinya sebagai peserta umroh terlama sepanjang sejarah umat manusia.
“Apa kata para laskar kalo tahu bahwa dirinya, ternyata kelakuannya mesum-mesum juga.”
Bayang-bayang sanksi sosial dengan jelas terbayang diwajahnya jika perilaku cabul tersebut bakal terungkap di muka publik. Tanpa pikir panjang, maka bergegaslah sang baginda raja lari ke negeri antah berantah nun jauh disana.
Berbagai upaya dilakukan para laskar untuk menggantikan posisi dirinya, namun sayang kharisma sang baginda raja masih sulit tergantikan.
Ditengah kegamangan karena kehilangan induk semang-nya, kini ormas Petamburan tersebut kembali dirudung masalah. Ijin ormasnya yang berakhir di Juni 2019 lalu, hingga kini belum bisa diperpanjang kembali. Alasannya gegara terganjal UU ormas.
“Pertama dalam AD/ART-nya, misi dan visi ormas tersebut adalah penerapan Islam secara kaffah dibawah naungan Khilafah Islamiyah dalam bentuk NKRI Bersyariah.” Dengan status ini saja, wajar jika ormas Petamburan tersebut dibekukan, karena ada bau-bau khilafahnya. Masa HTI aja kemudian dibubarkan, kok FPI nggak?
“Kedua tindakan main hakim sendiri yang kerap dilakukan oleh para laskar di lapangan,” demikian ungkap pak Tito. Padahal dalam negara hukum, semua ada aturan mainnya, dan nggak boleh ada pemaksaan kehendak. Apalagi main jotos. Meskipun dengan dalih agama sekalipun.
Sebenarnya masalah SKT sudah klir, hingga kemudian FR selaku menteri agama yang baru mengeluarkan pernyataan kontroversial, “Saya akan mendorong perpanjangan izin FPI.”
Selidik punya selidik, ternyata pernyataan itu keluar setelah FPI membuat surat pernyataan di atas materai yang intinya mendukung Pancasila dan NKRI. “FR nggak enak sama posisi Wiranto yang sama-sama juga mantan tentara,” demikian bisik sebuah sumber.
Serta merta, timbullah polemik. Antara Mendagri, Menkopolhukam dan Menag, kok penyataannya nggak sinkron. Publik bukan saja bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Dan para cebongers sontak auto-baper dengan menyalahkan masalah ini kepihak Jokowi yang dianggap terlalu lembek terhadap FPI.
“Bagaimana menurut Abang?” tanya seseorang kepadaku.
Seperti saya pernah tulis, bahwa ide ‘membubarkan’ FPI jadi nggak terlalu penting. Sebab apa? FPI bukan ormas ideologis. Karenanya HTI bakalan mencetak ormas baru dengan kemasan beda tapi isi-nya tetap sama, selepas FPI dibekukan nanti. Dalangnya ya HTI lagi HTI lagi. Percayalah.
Namun kalo lihat sepak terjang dibeberapa tahun terakhir, dimana kelakuan para laskar mulai ngelunjak dan sangat intoleran, saya mulai berpikir ulang. Nih ormas mungkin baiknya ijinnya nggak usah diperpanjang saja.
“Ribet kalo yang beginian dibiarin terus-terusan ada,” ucap Bang Dulloh yang jualan jengkol di pasar.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments