Darurat Radikalisme di Pendidikan Kita (*Bagian 2)


543

Oleh: Ndaru Anugerah

Pertanyaan sederhana, siapa paling berkepentingan atas intoleransi dan radikalisme yang ada di dunia pendidikan kita?

Jawabannya: organisasi transnasional. Pertama Hizbut Tahrir, dan kedua Ikhwanul Muslimin. Untuk kedua organisasi tersebut, saya nggak perlu bahas lebih lanjut karena sudah sering saya ulas.

Untuk apa mereka menyasar kaum muda? Sebagai ajang penjaringan kader. Seperti kita tahu, saat masa sekolah mereka terus menerima doktrin. Dan giliran mereka kuliah, organisasi ini akan memetik benih yang telah mereka tabur saat masa-masa sekolah dulu.

Dengan kata lain, organisasi transnasional tersebut menyasar kaum intelektual. Hanya kaum intelektual-lah yang mampu mewujudkan mimpi indah mereka tentang khilafah yang begitu mulia. Coba dijawab, mungkinkan khilafah diwujudkan dengan cara damai?

Selalu ada aksi kudeta yang selalu memakai gerakan massa. Pengalaman di Irak dan Libya sudah mengajarkan kita bersama. Dan sudah jadi rumus, bahwa gerakan massa (people power) motornya adalah middle class, yang nggak lain kaum terdidik. Ya, kaum intelektual.

Lalu bagaimana modus operandinya?

Karena di sekolah guru adalah faktor dominannya, maka nggak bisa dipungkiri bahwa guru-lah yang harus pertama kali dikader oleh mereka. Caranya, lewat jejaring kaderisasi yang ada di kampus-kampus terutama yang berafiliasi dengan dunia pendidikan. Kalo dulu namanya IKIP.

Disini, para organisasi transnasional tersebut menggunakan kader level 1 mereka yang sangat mumpuni dalam dunia dakwah di masjid-masjid kampus dan juga unit kegiatan mahasiswa yang ada bau-bau agamanya.

Lewat pemahaman ajaran agama yang mereka miliki, mereka akan mudah menjaring kader sebanyak-banyaknya. Apalagi pakai janji-janji surga plus 72 bidadarinya. Siapa yang nggak klepek-klepek dibuatnya.

Harapannya satu. Kelak sang calon guru yang telah berhasil dikader di kampus kemudian lulus, maka skenario utama mulai dijalankan.

Tugas sang guru adalah menaburkan pemahaman ajaran radikalisme yang mereka punya kepada para muridnya. Dan murid-murid dari tingkat TK hingga SMA, otomatis akan mudah dijerat lewat magic word sang guru yang acap didaulat sebagai orang tua di sekolah.

Perlahan namun pasti, ajaran tentang intoleransi mulai menemukan ladangnya.

Pada riset yang diadakan oleh PPIM UIN di tahun 2018, menyatakan bahwa 56,9% guru-guru TK hingga SMA memiliki pemikiran yang intoleran. Mereka cenderung mengajarkan para muridnya dengan sikap intoleran, dari mulai pelarangan untuk mengucapkan hari raya agama lain hingga pandangan anti untuk dipimpin oleh orang yang tidak segolongan.

Singkatnya dari mulai aksi penolakan ketua OSIS yang memiliki latar belakang agama yang berbeda, proses akan berlanjut kepada penolakan kepala daerah hingga kepala negara yang tidak sesuai dengan golongan mereka.

Dan proses ini sudah berlangsung lama dan sistematis. Tak heran gerakan radikalisasi di sekolah sulit untuk diberantas. Bahkan oleh seorang Jokowi sekalipun.

Lalu apakah proses ini nggak bisa dihentikan penyebarannya?

Bisa sih bisa. Tergantung keseriusan pemerintah.

Makanya berkali-kali saya tanyakan tentang kesungguhan sikap pemerintah dalam memberantas radikalisme. Kok yang saya tangkap hanya sebatas wacana doang tanpa aksi nyata. Padahal kita ketahui bersama, untuk memberangus radikalisme butuh aksi nyata bukan sebatas retorika.

Langkah pertama yang harus diambil adalah proses seleksi CPNS calon guru darurat untuk dibenahi. Agar kelak, guru yang akan mengajar tidak membawa pesan radikalisme buat bahan mengajar para muridnya.

Selanjutnya, kurikulum yang ada di kampus-kampus pendidikan, juga kudu direvisi dengan seksama. Hal ini untuk mengantisipasi ajaran intoleran yang mungkin masuk ke kepala para mahasiswa yang kelak menjadi guru lewat materi kuliah.

Selain itu, kurikulum di sekolah dan madrasah juga nggak boleh diabaikan. Treatment yang sama untuk merevisi-nya juga mendesak untuk dilakukan dengan segera.

Dan yang terakhir, peran orang tua dalam mengawasi pendidikan anak-anaknya juga mutlak diperlukan. “Kalo ada sekolah yang mengusung semangat intoleransi, maka jangan ragu untuk segera melaporkan ke lembaga Ombudsman untuk bisa ditindak.”

Dengan langkah preventif tersebut, setidaknya akan mampu menghambat pergerakan paham radikalisme di dunia pendidikan. Syukur-syukur bisa membuat mati suri.

Lantas gimana langkah kuratifnya?

Tinggal pecat-pecatin aja para guru yang berafiliasi dengan ormas dan paham radikal. Cara gampangnya, cek aja akun media sosial-nya. Begitu terindikasi, langsung dimasukin kotak, dan ganti sama yang baru.

Masalahnya, beranikah pemerintah? Apa perlu bantuan pak Tarno?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!