Narasi Yang Sengaja Dihidupkan
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa yang paling banyak ditanyakan selama plandemi Kopit?
Pertama, benarkah si Kopit ada? Lantas pertanyaan berikutnya yang berkaitan dengan pertanyaan pertama: kalo si Kopit nggak ada, lantas kenapa banyak orang mati?
Tentang pertanyaan pertama, saya pernah membahasnya, tentu dengan data yang sumbernya berasal dari pakar di bidangnya. Sederhanyanya: kalo si Kopit beneran ada, dapatkah anda menunjukkan dimana isolat virusnya alias virus yang telah di-murnikan? (baca disini, dan disini)
Nggak pernah ada, bukan?
Sekarang, kalo nggak ada, bagaimana kita bisa kasih nama virus tersebut dengan sebutan Kopit?
Belum lagi Postulat Koch yang harusnya dijadikan acuan untuk menentukan bahwa si Kopit yang dituding sebagai penyebab penyakit, nggak pernah sekalipun dijalankan.
Tapi itu nggak penting, karena ‘pokoknya’ si Kopit ada dan menyebabkan penyakit dan kematian. “Kalo si Kopit nggak ada, kenapa banyak orang meninggal?” kurleb-nya demikian.
Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya ada 2 jawaban yang bisa diajukan.
Pertama, sumber kematian terbesar selama ini (sebelum plandemi Kopit muncul) adalah penyakit yang menyasar paru-paru dan sistem pernapasan, dari mulai pneumonia, ILI (Influenza Like Illness) hingga Tuberculosis (TBC). (baca disini)
Jika kemudian muncul Kopit, yang memiliki gejala yang sama dengan penyakit yang menyerang paru dan sistem pernapasan, kenapa baru sekarang orang baru pada panik? Kenapa nggak dari dulu-dulu paniknya, mengingat penyakit yang menyerang sistem pernapasan, bukanlah barang baru?
Dengan kata lain, penyebab kematian yang selama ini dianggap Kopit, nggak lain adalah penyakit lama yang menyasar sistem paru dan pernapasan. Cuma sekarang di rebranding dengan bantuan media mainstream dan diberi istilah kekinian, jadilah Kopit.
Kedua, sumber kematian terbesar adalah salah treatment.
Maksudnya?
Sudah tahu, ada masalah di paru dan sistem pernapasan, kenapa diberikan obat antibiotik Azithromycin secara eksesif pada penanganan Kopit, yang justru punya implikasi pada penyakit kardiovaskular yang dapat mendatangkan kematian? (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/labs/pmc/articles/PMC3374857/)
Salah treatment lainnya adalah penggunaan ventilator pada penderita Kopit. Fakta mengatakan bahwa kebanyakan penderita Kopit yang diberikan ventilator untuk membantu pernapasan, belakangan malah meregang nyawa. (https://www.webmd.com/lung/news/20200422/most-covid-19-patients-placed-on-ventilators-died-new-york-study-shows#1)
Dan ini sudah terjadi sejak awal-awal plandemi.
Sudah banyak praktisi kesehatan dunia buka suara soal hal ini, tapi apakah perlakuan ini praktis dihentikan? (https://www.spectator.co.uk/article/Ventilators-aren-t-a-panacea-for-a-pandemic-like-coronavirus)
Dan salah treatment ketiga adalah penggunaan obat anti-virus yang tergolong obat keras pada penderita Kopit. Iya kalo pasiennya tubuhnya fit, nah kalo pasien jompo, gimana nasibnya? Bukankah senggol dikit langsung joss? (https://www.forbes.com/sites/jvchamary/2021/01/31/remdesivir-covid-coronavirus/)
Belum lagi, obat-obatan yang diberikan, jumlahnya lumayan banyak ketimbang penyakitnya itu sendiri.
Jadi, dimanapun penderita Kopit meninggal (baik di rumah ataupun di rumkit), penyebab utamanya adalah salah treatment tadi, yang sudah pasti menyerang paru dan sistem pernapasan.
Biar situasinya makin dramatis, maka narasi tentang kematian akibat Kopit terus dihembuskan dari hari ke hari.
Di internet anda dapati berita Kopit, Di televisi anda dapati berita Kopit. Dan dari grup-grup jejaring sosial, juga si Kopit yang jadi bahan perbicangan.
Gimana anda nggak makin paranoid setelah di bombardir sana-sini tentang si Kopit?
Kalo kemudian ada klaim bahwa ada seseorang yang sehat-sehat saja, kemudian mati karena dinyatakan kena Kopit, anda harus kritis bertanya: benarkah karena Kopit penyebabnya atau salah perlakuan yang diberikan?
Lagian, dulu-dulu, kalo ada orang yang meninggal secara tiba-tiba (karena serangan jantung), nggak ada tuh label ‘Kopit’ diberikan kepadanya. Dan nggak ada kepanikan massal menanggapi situasi itu.
Terus, kenapa sekarang jadi begitu histeris?
Jawabannya: karena plandemi telah diciptakan dan narasi Kopit mulai dihidupkan.
Bukankah begitu, Rudolfo?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments