Merajut Benang Merah


513

“Bang, kemana arah semua rusuh ini? Kapan berhentinya?” demikian pertanyaan yang sering dialamatkan kepada saya. Sebenarnya saya mau-mau aja menjawab. Cuma kalo one by one, bakalan butuh waktu. Mau nulis, pikiran bercabang karena harus nemenin istri di rumah sakit.

Paling saya hanya bisa jawab, “Sabar ya, nanti saya akan ulas secara klasikal.” Dan hari ini kebetulan saya punya waktu untuk menulis.

Kita mulai, ya…

Dalam menganalisis suatu masalah, dibutuhkan ketelitian. Kalo kami dari dulu terbiasa memakai analisis sosial sebagai patokan. Satu peristiwa, nggak mungkin saling lepas. Pasti saling berkait. Ketimbang saya jawab langsung, mending saya kasih petunjuk.

Peristiwa 1. Ratusan mahasiswa menggalang aksi di dekat Mabes TNI Cilangkap, lantaran ingin aksi demonstrasi mereka di gedung MPR/DPR mendapat pengawalan dari aparat TNI (25/9).

Pada saat yang sama, ada mantan KASAL bernama Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebianto yang berada di tengah-tengah mahasiswa, disertai teriakan untuk TNI mau bergabung bersama mahasiswa. Konon mahasiswa berasal dari Bandung dan sedikit dari Jakarta. Kebetulan?

Peristiwa 2. Sekuriti yang bernama Rahmat Hidayah (22) yang ditangkap aparat lantaran mencoba menyamar menjadi siswa SMA jadi-jadian untuk bisa ikutan berdemo di MPR/DPR. Berdasarkan pengakuannya, dia mendapat ajakan demo dari seseorang pengepul lewat grup WA.

Kelak dia akan mendapatkan imbalan senilai Rp.40.000,- plus nasi bungkus tentunya, setibanya di lokasi kopdar. “Lumayan, bisa nambah-nambah periuk nasi,” pikirnya. Bisa disimpulkan, ada proses penggalangan massa.

Peristiwa 3. Tertangkapnya seorang dosen IPB bernama Abdul Basith di bilangan Cipondoh, Tangerang pada Sabtu (28/9) lalu. Bersamanya juga diamankan puluhan bom Molotov yang siap digunakan untuk memicu kerusuhan dengan membakar toko-toko warga Tionghoa yang ada di sekitar Roxy dan Grogol saat demo Mujahid 212 berlangsung.

Yang menariknya, ikut diamankan seorang pensiunan TNI AL bernama Laksamana Muda (Purn) Sony Santoso. Beliau merupakan caleg gagal dari Partai Berkarya, yang punya boss besar bernama Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.

Berdasarkan ketiga peristiwa itu, jelas ada pesan yang ingin disampaikan kepada publik. Bahwa ada skenario yang ingin buat situasi rusuh, belakangan ini.

Siapa orang dibalik layar? Dan apa targetnya?

“Benarkah targetnya adalah upaya penggagalan pelantikan presiden pada tanggal 20 Oktober nanti?” Karena memang demikian masifnya prediksi ke arah sana.

Namun saya bisa katakan, bukan demikian skenario-nya.

Demo berakhir rusuh punya 2 target utama.

Pertama menggagalkan revisi UU KPK yang sudah disahkan. Kedua ingin menyampaikan pesan terhadap niat presiden untuk melakukan tindakan yang sudah tentu tidak disukai sang bohir.

Singkatnya, ini bukan aksi sekali pukul. Hanya test case saja, sifatnya.

Bagaimana skenario sesungguhnya?

Pendana mengadakan rapat para operator lapangan, sesudah mendapatkan arahan dari konsultan politiknya (baca disini). Dan kebetulan para operator lapangan tersebut punya target yang sama, cuma nggak punya modal buat bergerak. Klop deh! Ada pemodal ada operator lapangan.

Siapa targetnya? Jokowi. Hanya memang ending-nya yang nggak sama, antara bohir dan operator lapangan.

Kalo target bohir adalah semacam sign post alias penyampaian pesan agar Jokowi tidak melangkah lebih jauh untuk menjalankan program MLA dengan pemerintah Swiss guna menarik uang panas ribuan trilyun dari negara bersalju abadi tersebut.

Sementara kepentingan operator lapangan adalah menggagalkan revisi UU KPK yang sudah disahkan. Kenapa ngotot harus digagalkan? Karena dengan UU KPK yang baru, potensi untuk main anggaran di Jekardah akan menemui kesulitan besar.

Padahal upaya penggalangan dana adalah modus utama untuk bisa melaju ke pilpres 2024. Tanpa dana yang besar, seorang calon bisa apa? Tahu gelagat, makanya mati-matian UU KPK tersebut wajib diaborsi. “Kadal gurun punya kepentingan atas naiknya capres mereka di 2024 nanti.” (baca disini)

Siapa yang paling efektif untuk digerakkan agar gaungnya bisa didengar masyarakat? Mahasiswa, tentunya, masa iya tukang somay. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang punya akses ke mahasiswa? Partai Barokah plus HTI lah yang punya akses ke mereka.

Partai Barokah punya jaringan KAMMI, yang kadernya jadi petingginya aktif di BEM. Sedangkan HTI punya mahasiswa Gema Pembebasan, yang banyak aktif di UKM dan organisasi keagamaan yang ada di kampus, utamanya kampus-kampus negeri.

Merekalah yang digerakkan. Caranya? Ajak adik-adik kelas untuk berunjuk rasa. “Kan sekarang lagi musin ospek, bray…”

Siasat demi siasat kemudian disusun, strategi dimainkan.

Hanya ada satu kendalanya. Pihak angkatan bersenjata belum bisa diadu domba. Seperti saya sering ulas, bahwa aksi massa apalagi upaya kudeta akan sia-sia tanpa melibatkan pihak yang pegang bedil. Dan baik pemodal maupun operator lapangan, sangat tahu hal ini.

Makanya kemudian ada bisikan dari para mantan jenderal, untuk mengadakan demo mahasiswa di dekat Mabes TNI. Pesannya jelas, agar aparat TNI mau berempati dan mendukung mereka, karena mereka sudah dibuat kesal sama aksi Brimob di lapangan yang bisa dipastikan akan menggagalkan setiap aksi mereka.

Toh, aksi mereka nggak mendapat respon dari TNI. But the show must go on. Jadilah aksi yang ala kadarnya karena dana yang digelontorkan juga paket hemat (baca disini). Pesannya nggak nyampe. Yang ditangkap malah justru rusuhnya.

Gagal pakai mahasiswa, pakai jaringan anak SMA/STM gadungan. Gagal pancing kerusuhan, gunakan bom Molotov untuk bakar toko-toko etnis Tionghoa. Begitu siklusnya.

Namun semuanya berujung pada ejakulasi semata. Apa penyebabnya? Karena ya itu tadi, operator lapangan kurang tahu kondisi psikologis massa yang digarapnya.

Lagian seperti saya sering bilang: “Jokowi sedang dalam kondisi terbaiknya untuk mengkonsolidasikan kekuatan.”  Tanpa sokongan pemegang bedil, usaha sekuat apa juga nggak akan guna bray…

Jadi clear ya skenario-nya.

Apakah ini akan berlangsung lama? Akankah keluar perppu?

Nggak akan. Lagian pemodal hanya punya target untuk menyampaikan pesan, kok. That’s it! Dan pesannya jelas: Pakde jangan coba-coba melanjutkan MLA dengan Swiss, kalo nggak mau Indonesia rusuh, karena gue punya modal yang cukup untuk buat kerusuhan.

Pertanyaannya: tanpa modal, apa bisa kelompok dalrun alias kadal gurun terus bergerak?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!