Mengukur Soliditas


511

“Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu,” begitu headline surat kabar mainstream yang nyaring berhembus belakangan ini. Kemana ujungnya? Benarkah Jokowi nantinya akan menerbitkan perppu untuk menganulir revisi UU KPK yang telah disahkan pada 17 September, lalu?

Revisi UU KPK yang telah disahkan lewat rapat paripurna dengan DPR, sebenarnya merupakan penyempurnaan dari UU No.30/2012 tentang lembaga anti rasuah tersebut. Wajar disempurnakan, karena tidak adanya dewan pengawas terhadap lembaga KPK.

Bila terus dibiarkan, bukan nggak mungkin KPK bisa bertransformasi menjadi lembaga super body yang bisa bergerak liar. Bahkan seorang kepala negara saja diawas DPR. Pertanyaannya: apa adil jika lembaga sekelas KPK mggak punya penyeimbang?

Jokowi sendiri, awalnya keukeuh untuk menjalankan revisi UU KPK tersebut, karena sudah melalui mekanisme yang benar. Kenapa harus dianulir pakai perppu? Apa karna ada tekanan massa, terus keluar perppu? Jika ini benar terjadi, maka bisa jadi preseden buruk.

“Oh, kalo lain kali nggak suka sama policy yang dikeluarkan Jokowi. Gampang. Tinggal pakai tekanan massa, maka niscaya Jokowi bakal melempem dan menuruti maunya kita,” pikirnya. Apa selembek itu seorang pakde?

Coba kita hitung ke depan, bagaimana kans-nya?

Berdasarkan UUD pasal 22, menyatakan bahwa perppu bisa dikeluarkan jika kondisinya genting. Nah definisi ini jelas bias. Apakah tekanan massa bisa dikategorikan sebagai kondisi genting? Apakah demonstrasi yang melibatkan anak-anak SMA dan STM layak dikategorikan genting?

Kan gaje…

Coba kalo perppu yang kemudian diambil oleh Jokowi. Apa implikasinya?

Pertama preseden buruk jelas terjadi. Kedua, Jokowi jelas melecehkan eksistensi DPR yang sudah mensahkan revisi UU KPK tersebut. Dan ketiga, apa ada jaminan bahwa demonstrasi akan berakhir, minimal jelang hari pelantikan? Kan nggak juga.

Bahkan belakangan, demonstrasinya mulai beralih isu menjadi “Turunkan Jokowi”, bukan lagi menolak revisi UU KPK. Dan kelompok dalrun alias kadal gurun, sudah jelas-jelas menyatakan tuntutan mereka saat unjuk rasa Mujahid 212 kemarin (28/9) dengan agenda yang sama.

“Ganti rejim, Turunkan Jokowi dan tegakkan Khilafah Islamiyah,” begitu isi tuntutannya plus kibar-kibar bendera HTI.

Aliasnya mubazir, seandainya Jokowi keluarkan tuh perppu. Lagian seperti saya sering ulas, bahwa Jokowi berada dipuncak performa-nya dalam mengkonsolidasikan kekuatannya, minimal ditubuh angkatan bersenjata plus Polri. Ngapain bergeming terhadap tekanan massa?

Lalu kalo perppu nggak diterbitkan, apa ada solusi lain?

Ada. Pertama lewat legislative review, dimana presiden bisa merubah substansi UU lewat konsultasi dengan DPR. Dan yang kedua lewat judicial review. Langkah ini jauh lebih kongkrit, dimana UU yang sudah disahkan bisa digugat lewet Mahkamah Konstitusi (MK).

Keuntungan lewat judicial review adalah, pasal per pasal yang ‘dianggap’ melemahkan KPK bisa dikupas tuntas. Jadi nggak main asumsi seperti saat ini. Udah main anulir aja melalui terbitnya perppu. Padahal kan tidak semua pasal dianggap bermasalah.

Dengan kata lain, judicial review jauh lebih elegan dalam ketatanegaraan. Terus kenapa musti ngotot untuk mendesak seorang presiden mengeluarkan perppu?

“Ada kepentingan lain yang bergerak dibelakang layar,” demikian bisik seorang narsum.

Apa maksudnya?

Coba jeli sedikit, lihatlah siapa petinggi partai koalisi yang mendukung keputusan seorang Jokowi belakangan ini? Hampir dipastikan nggak ada. Kenapa mereka nggak kasih dukungan? Karena dalam politik, tiap dukungan ada imbal baliknya. Nggak gratis.

Kalo gitu, apa kepentingannya?

Nggak lain dan nggak bukan, soal pembagian kue-kue kekuasaan yang belum menemukan kepastian. Seperti yang kita tahu, sampai saat ini banyak pihak yang menantikan pembagian kue kekuasaan (setingkat menteri dan turunannya), terpaksa dibuat harap-harap cemas menjelang hari pelantikkan.

Tak terkecuali semua pihak yang selama ini mengklaim telah memberikan kontribusi terhadap kemenangan Jokowi digelaran pilpres. “Jangan sampai kejadian, kita sudah berharap eh belakangan malah dapat zonk,” demikian kurang lebihnya.

Maka tak sedikit yang kemudian mbalelo, karena mungkin mengendus gelagat nggak akan dapat kue kekuasaan tadi. Kira-kira, kalo anda tadinya dapat jabatan, terus bakal digeser, apa yang akan ada lakukan? Mungkinkah anda hanya berdiam merenungkan nasib?

Jelas akan ada reaksi.

Dan penanganan demonstrasi belakangan mudah dibaca. Pertama kerja intelijen boleh dikatakan impoten. Kok bisa demonstrasinya’membesar’ dan kebablasan? Ngapain aja kerjanya?

Dan yang kedua, penanganan unjuk rasa yang dilakukan pihak kepolisian. Lebih eksesif, sifatnya. Wajar kalo kemudian kapolri mencopot sejumlah kapolda yang ditenggarai nggak bisa membina anggota dibawahnya. “Kematian mahasiswa jelas catatan merah buat pihak kepolisian.”

Jadi tahu kan, kemana arahnya demonstrasi ini?

Tentu masalah pembagian kue bukan hal yang utama. Karena ada pemain lain yang tengah merancang agenda dibalik agenda. Apakah itu? Saya akan ulas pada tulisan berikutnya.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!