Menyusun Rencana


509

Siang itu, udara sangat terik. Maklum sudah beberapa bulan tak kunjung hujan. Paling ada hujan cuma sesekali, itupun tidak bisa menutup panasnya suhu permukaan bumi.

Panas di cuaca, berimbas juga pada panas di perpolitikan kita. Utamanya menjelang gelaran pilpres 2019. Semua mulai menyusun rencana, baik kubu cebong maupun kubu kampret. Dan fase pemanasan sebelum marathon panjang dimulai, geliatnya mulai membuat kita gerah.

Bermula dari pertanyaan sederhana: bisakah seorang Jokowi ditumbangkan?

Pertanyaan klasik. Dan jawabannya bisa dijawab dengan nalar. “Bisa, namun sangat sulit.” Kalo dalam bahasa Inggris ada istilah, unbeatable – alias tak terkalahkan.

Justru disitu menariknya. Tak terkalahkan, bukan berarti tidak bisa dikalahkan. There’s always a way. Toh ada seribu jalan menuju Roma, katanya. Benarkah?

Bicara pada tataran strategis, pakde memang di atas angin atas kompetitornya. Sekarang mau bicara apa, coba? Programnya sudah banyak teralisasi dan banyak yang sudah menikmati. Bicara tentang kepuasan publik, jangan ditanya lagi. Ujungnya, elektabilitas pakde-pun meroket setinggi rudal Kim Jong Un.

Namun dibalik semua pencapaian tersebut, masih ada titik cela buat menggerus elektabilitasnya. Kalo kita bicara tentang elektabilitas, ya kita bicara pengandaian. “Jika pilpres dilakukan hari ini” itulah makna sejati elektabilitas. Bukan hal yang baku. Masih bisa digoyang. Lagian pilpres, kan tidak digelar dalam waktu dekat, apalagi hari ini.

Pakde bisa digoyang dari 3 sisi. Pertama dari sisi ekonomi. Kedua dari sisi keamanan. Dan ketiga dari sisi perang gerilya. Ketiga cara itulah yang kini dipikirkan para kampret beserta think-tank’nya hari-hari belakangan ini. Apalagi ada Eep Syaifullah yang sudah teruji dalam menumbangkan Ahok.

Maka jangan heran kalo semua potensi dikerahkan kubu BOSAN untuk menggerus elektabilitas sang petahana.

Cara pertama adalah dengan menyerang sisi ekonomi. Harga-harga yang dipersepsikan tinggi sedemikian hingga uang cepe ceng hanya bisa buat beli bawang dan cabe ala bu Lia adalah satu dari sekian banyak modus yang digelar.

Dan yang paling sering dikipas adalah perkara dollar. Seolah dengan dollar yang sudah tembus dikisaran 15ribu perak, segera berakhir juga negara kita. Padahal kalo dinalar, apa kaitan dollar sama hidup kita? Toh kita nggak secara langsung pake dollar dalam bertransaksi jual beli ataupun ngebayar utangan di warung sebelah.

Cara kesatu, naga-naganya bakal nyungsep alias gagal maning.

Tak pelak, kamera dua-pun digelar. Sisi keamanan mulai diserang, dari mulai serbuan TKA aseng di Bekasi, baru-baru ini, sampai demonstrasi yang melibatkan para mahasiswa kampret bin kutukupret.

Namun setelah dana yang digelontorkan sang donatur dalam jumlah lumayan gede, tapi hasilnya belom balik modal. Belum ada tanda-tanda positif akan sebuah keberhasilan. “Sukses belum kelihatan hilal-nya,” demikian keluhnya. Kalo begini terus, bisa rugi bandar dahh…

Tapi bukan kampret namanya kalo gampang nyerah. Masih bersisa satu cara yang kini mereka sedang modifikasi, yaitu strategi gerilya di lapangan.

Maksudnya?

Cara yang paling ampuh dalam merontokkan pertahanan sang petahana adalah dengan menjalankan strategi perang di darat. Kalo selama ini kubu pakde hanya menggarap pangsa pasar lewat udara alias dumay, bisa dipastikan nasibnya akan serupa dengan Ahok di 2019 nanti.

“Yang paling menentukkan dalam memenangkan peperangan adalah perang di daratan, bukan perang di udara. Itu adalah kuncinya,” demikian kata seorang teman.

Kalo boleh dipikir, berapa banyak sih orang Indonesia yang terakses langsung dengan internet? Let’s say kalo kita sudah bisa kuasai dunia maya sekalipun, apa ada garansi kita bisa kuasai suara pemilih real di lapangan? Aliasnya, pangsa pasar real jauh lebih menentukan kemenangan daripada pangsa pasar dumay.

Inilah pangsa pasar sesungguhnya yang dijadikan sasaran empuk perang di daratan. Pada gelaran pilkada DKI yang lalu, kubu Ahok kedodoran disisi perang model gini. Wajar, karena relawan Ahok walaupun punya militansi, tapi toh nggak di back-up habis sama sumber dana yang cukup. Ironis. Dana ada, namun nggak dioptimalkan.

Disisi inilah para kampret bisa jumawa, karena mereka memang spesialisasi perang gerilya di daratan. Modusnya dari mulai menguasai mesjid, menggalang majlis taklim, kondangan, reunian, sampe arisan emak-emak rempong. Dan hebatnya mereka bisa membungkus rapih pola gerilyanya.

Tak nampak, tapi bisa dirasa. Mirip-mirip kentut sehabis makan telor bebek. Sungguh dahsyat hasilnya…

Akankah pakde keok dengan strategi gerilya para kampret?
Ah, jadi makin menarik mengikuti gelaran pilpres kali ini… Jadi ngeri-ngeri sedap.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!