Oleh: Ndaru Anugerah
Mendikbud Nadiem melontarkan rencananya untuk menghapuskan Ujian Nasional setelah tahun 2020. “Kami masih menggodok rencana penghapusan UN untuk direalisasikan pada tahun ajaran mendatang,” demikian ungkapnya (30/11).
“Bagus apa nggak berita ini, Bang?” tanya seseorang.
Bicara UN sebagai bahan evaluasi nasional akan menyita banyak waktu untuk mengulasnya. Masalahnya, dana tiap tahun digelontorkan oleh pemerintah dan lumayan gede (sekitar 500 milyar/tahunnya), namun apa sih gunanya?
“Hanya sebagai sarana pemetaan kemampuan peserta didik di tingkat nasional.”
Kalo sekadar memetakan kemampuan, ngapain duit segitu banyak dikeluarin? Apa nggak ada cara lain?
Karena kalo sekedar memetakan, suruh aja konsultan swasta bonafid untuk mendapatkan hasilnya. Lebih cepat, akurat dan terbilang murah. Ngapain harus ngotot?
Ternyata eh ternyata, ada payung hukum yang mengharuskan sistem evaluasi nasional berjalan. UU No.20/2003 adalah rujukan pelaksanaannya. Berbekal itulah, pelaksanaan UN bisa berjalan tiap tahunnya, tanpa pernah peduli relevansinya.
Kalo dulu di tahun 1965 namanya Ujian Penghabisan. Setelah itu ganti nama dari Ujian Negara, Ebtanas (Evaluasi Tahap Nasional), UAN (Ujian Akhir Nasional) dan sekarang Ujian Nasional (UN). Kemasannya saja yang beda, tapi isinya tetap sama: EVALUASI.
Di negeri ber-flower ini, sudah jadi rahasia umum jika UU (biasanya) dikeluarkan semata-mata untuk menjalankan ‘proyek’. Ujian nasional, salah satunya. Pengadaan sarana dan prasarana, salah dua-nya. Dan masih banyak lagi. Yang diuntungkan siapa? Tentu saja para pembuat UU tersebut.
Proyek-proyek ini digelar secara masif tiap tahun. Akibatnya, sistem permafiaan dalam tiap departemen otomatis terjadi. Begitu-lah siklusnya.
Makanya, saya pribadi sangat nggak sepakat dengan proyek-proyek tersebut yang jelas nggak bakal buat Indonesia maju. Mendingan duitnya buat para guru, buat renovasi sekolah yang sudah reot atau perbanyak program beasiswa bagi pelajar yang mau menuntut ilmu ke luar negeri.
Itu jelas ada gunanya.
Jadi kalo sekarang ada wacana lagi untuk menghapus UN, jelas blunder. Kenapa? Selama masih ada UU-nya, pelaksanaan UN jelas nggak mungkin dibatalkan. Kecuali UU-nya direvisi. Yang paling mungkin, formatnya yang harus dirubah.
Kalo dulu UN digelar untuk mendapatkan gambaran kemampuan peserta didik secara nasional. Sekarang, formatnya hanya untuk menguji kemampuan peserta didik di 3 bidang saja, yaitu: Literasi Membaca, Kemampuan Sains dan Kemampuan Matematika.
Kenapa harus 3 bidang itu? Karena ketiga bidang itu-lah yang dijadikan tolak ukur kemampuan suatu bangsa secara akademik.
Pernah tahu PISA? PISA adalah Programme for International Student Assessment yang digelar oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) untuk mengevaluasi sistem pendidikan modern di seluruh dunia.
Lewat PISA yang dilakukan tiap 3 tahun sekali, maka akan tergambar bagaimana tingkat kemajuan pendidikan modern suatu bangsa. Dengan kata lain, hasil PISA akan dijadikan bahan evaluasi pendidikan yang ada disuatu negara. Apakah masalahnya di peserta didik atau di metode pendidikannya?
Sebagai gambaran, dibidang literasi saja, bangsa kita banyak ketinggalan. Merujuk pada temuan UNESCO, bahwa tingkat literasi membaca di Indonesia hanya 0,001%. Aliasnya, dari 1000 anak Indonesia, hanya ada 1 orang yang punya minat baca tinggi. Sisanya, nggak jelas juntrungannya.
Padahal menurut teorinya, dengan membaca seseorang akan tambah pengetahuan selain mampu mengasah proses berpikir kritis dan analitis. Kita tahu bersama, yang namanya creativity alias kreativitas, hanya bisa tercipta kalo seseorang kritis dan analitis. Lewat membaca proses itu dilatih.
Dengan tingkat literasi membaca yang baik, maka otomatis bisa membuat suatu bangsa jadi cerdas. Bangsa yang cerdas dibutuhkan untuk memenangkan kompetisi global di abad 21.
Melalui kemampuan literasi tersebut, seseorang nggak hanya bisa ngomong “katanya-katanya” karena segala sesuatu yang dilontarkan ada dasar pembenarannya secara ilmiah.
“Jangan udah sekolah cape-cape, akhirnya cuma bisa bilang bahwa bumi datar.”
Dan evaluasi yang kelak dilakukan secara nasional ini, hendaknya melibatkan pihak yang mengerti soal alur keuangan, agar ada laporan kebijakan publiknya dan juga dananya tidak digarong oleh jaringan mafia pendidikan yang sudah lama bercokol.
“Tahu nggak sih, kalo skor PISA kita bahkan kalah dari Vietnam. Padahal alokasi dana pendidikan secara nasional sama-sama 20% juga,” demikian ungkap Wamenkeu, Marsadiasmo. Kenapa hal itu bisa terjadi? Ya penyebab utamanya, mafia pendidikan tadi.
Jadi beban mas Menteri lumayan pelik. Dan yang paling rumit adalah gimana caranya mengatasi mafia pendidikan di kementerian. Kalo dulu beliau bisa berhasil dengan Gojek-nya, apa sekarang seorang Nadiem bisa melepas kuatnya cengkraman gurita mafia di pendidikan kita?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments