Saat Reuni Kehilangan Relevansi


524

Oleh: Ndaru Anugerah

Kisruh penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, membuat kelompok yang secara politik selalu berseberangan dengan pemerintah kemudian mengerucut dan membentuk bola salju yang besar. Terbentuklah kelompok baru, yaitu kelompok 212.

Dan kini mereka berencana mengadakan reuni yang kedua.

Apa dasar dilakukannya reuni bernuansa politik tersebut?

Kalo dulu, reuni digelar karena dua alasan. Pertama, karena memang ada bohir yang menginginkan dukungan dari kelompok tersebut. Kedua, memang ada polarisasi kekuatan politik. Itu dasarnya.

Jika merujuk pada kasus pilpres yang lalu, memang ada polarisasi 2 kubu antara cebong dan kampret, antara JOMIN dan BOSAN.

Karena posisi presiden dan wakilnya yang cukup strategis, maka tanpa diundang-pun para bohir berani patungan, dengan harapan akan ada imbalan setelah calon yang dijagokan memenangi kontestasi. Yah, hitung-hitung berjudi. Siapa tahu bakal menang.

Intinya, ada relevansi antara isi dan bungkus. Ada konten, ada juga konteks. Antara kubu yang berseberangan dan nggak ketinggalan kubu pendana yang memungkinkan acara reuni terjadi.

Namun kini, polarisasi itu sudah bubar. Puncaknya, Prabowo yang awalnya sepakat untuk menjadi oposisi permanen, malah belakangan masuk dalam postur kabinet Jokowi. Akibatnya, para kampret yang bernaung di bendera 212, merasa ditinggalkan.

“Istilahnya kendaraan yang ditumpangi mereka sudah nggak bisa jalan.”

Padahal sudah mati-matian bela Om Wowo, tahunya ditinggalkan diakhir cerita. Sungguh pengorbanan yang sia-sia. “Sakitnya tuh disini,” demikian ungkap yang tepat. Otomatis mereka kehilangan panggung politik dan ‘kendaraan politik’ yang bisa mereka tunggangi.

Sekarang pertanyaannya, kalo sekadar mengulang romantisme sejarah, ngapain juga ngotot mengadakan acara bertajuk reuni?

Pertama, dananya darimana? Kan sudah nggak ada bohir-nya. Kalopun ngotot tetap diadakan, konsekuensi logis akan didapatkan. Jumlah peserta yang melorot drastis kek tali kolor putus.

Kedua, urgensinya juga apa? Apa mau mengusung Anies jadi capres? Lha wong gelaran pilpres aja masih sangat lama.

Tapi, bukannya sadar akan kondisi yang terjadi saat ini, mereka malah bersikap lebay. Menurut Ketua Umum PA 212 Slamet Ma’arif, diperkirakan akan ada 1 juta orang yang hadir dalam reuni. Tapi dia juga mengatakan mungkin angkanya bisa tembus 10 juta.

Ntah bagaimana cara menghitungnya. Mungkin pake rumus togel versi 4.0 produksi Petamburan.

Padahal, menurut mapdevelopers.com, jumlah peserta 212 di tahun 2017 nggak nyampe angka 1 juta. Persisnya 700an ribu orang. Sedangkan di GBK pada tahun 2018 yang lalu, angkanya mentok dibilangan 400-an ribu.

Nah kalo sekarang klaimnya mencapai 1 juta orang, ya palingan dihadiri oleh 10ribu orang saja di Monas nanti. Setidaknya pihak kepolisian telah mengestimasi jumlah yang akan hadir di gelaran tersebut.

Wajar-wajar saja sebenarnya klaim seperti itu. “Lagian kalo nggak bombastik, mana bisa laku dipasaran?”

Untuk menambah meriahnya acara karena bakal digelar dinihari alias pas para pedagang sayur sedang jualan di pasar, maka para kampret kembali menaikkan hastag #welcomebackHRS di twitter.

Nah untuk yang satu ini, dijamin kerinduan para laskar Petamburan yang selama ini kehilangan induk semang, dijamin bakal terobati.

Dengan kondisi seperti ini, lambat laun publik akan jenuh dengan tingkah pola kelompok togel tersebut. Alih-alih meraup dukungan dan simpati publik, yang ada publik justru muak dan makin meninggalkan mereka. Pertanyaannya sederhana: mau ngapain lagi sih?

“Nggak apa-apa juga ngadain reuni, Bang. Kali aja ada yang bisa CLBK.” Apa benar begitu, kak Emma?

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!