Menyoal Nol Karbon (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
World Economic Forum telah menargetkan rencana mereka untuk menciptakan dunia baru dengan tingkat pencemaran udara yang diakibatkan hidrokarbon alias Zero Carbon pada tahun 2050 nanti, (http://www3.weforum.org/docs/WEF_The_Net_Zero_Challenge_Part1.pdf)
Dan untuk mewujudkan rencana tersebut, Uni Eropa sudah berani pasang target sebagai benua yang netral karbon pertama di dunia pada tahun 2050 nanti. Bukan itu saja, UE juga akan mengurangi emisi CO2 sebanyak 55% pada tahun 2030 nanti. (https://news.trust.org/item/20201217121550-i35qo/)
Senada dengan rencana tersebut, Bill Gates pada Agustus 2020 silam mengatakan hal kurleb sama, “Seburuk apapun pandemi Kopit, perubahan iklim bisa menjadi lebih buruk lagi.” (https://www.cnbc.com/2021/01/08/bill-gates-climate-change-could-be-worse-than-covid-19.html)
Bill Gates menambahkan, “Dengan penurunan emisi yang relatif kecil, maka kita nggak akan pernah mencapai emisi nol dengan terbang dan berkendara lebih sedikit.”
Dengan kata lain, BG mau ngomong kalo emisi nol karbon hanya bisa tercipta kalo manusia mengurangi pemakaian bahan bakar berbahan hidrokarbon secara signifikan. Konsekuensinya penerbangan harus dikurangi dan pemakaian mobil untuk berkendara juga harus direduksi secara besar-besaran.
Lho, kenapa harus dikurangi emisi karbon hingga mencapai nol?
Karena ini akan memicu isu utama yang sang Ndoro besar ungkapkan secara berulang-ulang: pemanasan global alias global warming. Kalo emisi nol karbon tidak terealisasi, maka bumi akan mendekati kehancuran karena tiap tahun suhu bumi akan makin memanas.
Oleh karena itu, cara terbaik yang harus dilakukan adalah menghilangkan pemakaian hidrokarbon sebagai bahan bakar, dari mulai minyak bumi, gas alam, hingga batu bara.
Lalu apa yang bisa dijadikan sumber bahan bakar selain hidrokarbon?
Sebelum melangkah pada jawaban atas pertanyaan tersebut, maka anda perlu tahu dulu apa itu pemanasan global? Siapa yang mengusung teori tersebut?
Di tahun 1968, David Rockefeller dan ‘konco-konconya’ membuat proyeksi tentang pertumbuhan populasi dunia dan juga pola konsumsinya terutama pada minyak bumi. Untuk membicarakan hal tersebut, David kemudian mendirikan Klub Roma di villa miliknya di Bellagio, Italia. (https://www.technocracy.news/club-of-rome-the-origin-of-climate-and-population-alarmism/)
Dan proyek pertama Club of Rome adalah Limits to Growth pada tahun 1972 yang diberikan pada MIT selaku eksekutornya. Inti proyek tersebut adalah proyeksi SDA yang terbatas terhadap populasi manusia yang meningkat secara eksponensial dengan simulasi komputer. (http://www.donellameadows.org/wp-content/userfiles/Limits-to-Growth-digital-scan-version.pdf)
Dari sekian banyak rekan David, salah satunya adalah pengusaha minyak asal Kanada yang bernama Maurice Strong.
Karena kedekatannya dengan David, Maurice diangkat sebagai Wakil Sekretaris PBB dan juga Sekjen pada Konferensi Hari Bumi yang berlangsung di Stockholm pada tahun 1972.
Tentu saja, Maurice juga merupakan seorang wali di Rockefeller Foundation.
Maurice Strong-lah yang merupakan sosok penemu teori pemanasan global.
Menurut klaim yang diajukannya bahwa emisi buatan manusia yang bersumber dari kendaraan sebagai alat transportasi, pembangkit listrik tenaga baru bara hingga pertanian, merupakan sumber utama penyebab kenaikan suhu global yang terjadi secara cepat dan dramatis.
Singkatnya, Maurice mengajukan teori pemanasan global. Dari teori tersebut, maka akan turun istilah baru yang kemudian dikenal sebagai ‘pembangunan berkelanjutan’. Maurice-lah Bapak Pembangunan Berkelanjutan.
Berbicara pada Konferensi Hari Bumi di Stockholm-Swedia, Maurice mempromosikan pengurangan populasi dan ‘penurunan standar hidup’ di seluruh dunia untuk menyelamatkan dunia.
“Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk mewujudkannya, dimana masa depan masyarakat industri harus dibuat runtuh,” ungkap Maurice. (https://www.infowars.com/maurice-strong-in-1972-isnt-it-our-responsibility-to-collapse-industrial-societies/)
Pernyataan yang dikemukakan Maurice, kelak akan dijadikan pijakan untuk dibentuknya IPCC alias Panel antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim yang ada dalam naungan PBB. Panel ini dibentuk dengan asumsi bahwa emisi CO2 buatan manusia kelak akan menyebabkan bencana ekologi yang tidak dapat diputar ulang. (https://www.ipcc.ch/)
Sekarang anda coba cek pernyataan yang dibuat Maurice Strong dengan agenda SDG PBB 2030 dan juga The Great Reset. Kok bisa sama? Apakah ini hanya kebetulan semata? (baca disini, disini, disini dan disini)
Belum lagi kalo anda cek pernyataan Dr. Alexander King selaku salah satu anggota Klub Roma yang tertuang dalam bukunya The First Global Revolution. (https://archive.org/download/TheFirstGlobalRevolution/TheFirstGlobalRevolution.pdf)
Dr. Alexander King bilang, “Dalam mencari musuh baru yang dapat menyatukan kita, maka akan kita dapatkan masalah polusi sebagai ancaman atas pemanasan global, kekurangan sumber air, kelaparan dan sejenisnya yang mempengaruhi kebutuhan kita. Dan ini buatan manusia.”
Dr. Alexander menambahkan, “Jadi kita harus mengubah sikap da perilaku manusia dalam mengatasi masalah tersebut. Dan musuh kita yang sebenarnya adalah kemanusiaan itu sendiri.” (http://www.atl.org.mx/index.php?option=com_content&view=article&id=1519:agendaism-and-fraud-the-sordid-tale-of-climate-science&catid=151:perspectivas-del-futuro&Itemid=539)
Dengan kata lain, Dr. Alexander King ingin ngomong bahwa pemanasan global adalah hanya sasaran antara, karena sasaran sesungguhnya atas isu pemanasan global adalah manusia itu sendiri, yang harus ‘diperangi’.
Dan ini klop dengan agenda The Great Reset yang dibesut beberapa dekade kemudian.
Lantas, apa sebenarnya isi dari teori pemanasan global? Bagaimana dampaknya bagi manusia ke depannya akibat kita menggunakan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar hidrokarbon?
Saya akan ulas pada bagian kedua nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments