Menyoal Asian Values
Oleh: Ndaru Anugerah – 03072024
“Bang, bisa bahas soal Asian Values?” pinta seorang netizen.
Secara etimologis, Asian Values merupakan serangkaian nilai yang dipromosikan sejak akhir abad ke-20 oleh beberapa pimpinan politik dan intelektual yang ada di Asia, sebagai alternatif sadar terhadap nilai-nilai politik Barat yang mengusung tema HAM, demokrasi dan kapitalisme.
Jadi, para pendukung Asian Values berpendapat bahwa pesatnya kemajuan ekonomi di Asia Timur pasca Perang Dunia II, dikarenakan hadirnya nilai-nilai Asia yang mengedepankan asas kebersamaan pada masyarakat mereka. (https://www.britannica.com/topic/Asian-values)
Dengan kata lain, Asian Values adalah konsep yang menekankan nilai-nilai budaya dan sosial yang dianggap khas pada berbagai negara di Asia, yang tentu saja berseberangan dengan nilai budaya Barat yang menekankan pada spirit kebebasan individu alias individualisme.
Bahasa sederhananya, karena budaya Barat yang sarat dengan individualisme dan legalisme nggak cocok dengan masyarakat Asia sebab dinilai mengancam dinamisme ekonomi dan tatanan sosial, karenanya nilai-nilai Asia hadir sebagai solusi atas masalah tersebut, utamanya dalam menjalankan sistem pemerintahan.
Lantas bagaimana implementasi dari nilai-nilai Asia tersebut pada masyarakat?
Biasanya, Asian Values dikaitkan dengan disiplin, kerja keras, kesederhanaan, pencapaian akademik, keseimbangan kebutuhan individu dan masyarakat, hingga hormat pada otoritas yang berkuasa.
Lee Kuan Yew dan Mahatir Mohamad adalah sosok yang meng-endorse perihal nilai-nilai Asia tersebut di Asia Tenggara.
Sekilas baik adanya.
Kenapa?
Karena pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh negara, memang sengaja dibuat oleh tangan-tangan tak terlihat, guna mempertahankan rezim otoriter yang berkuasa.
Sejarah mencatat, bagaimana pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di beberapa negara di Asia (utamanya Asia Tenggara), sengaja dibuat agar rezim berkuasa yang tentu saja selaras dengan kepentingan kartel global, bisa terus berkuasa. Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Eyang Harto, atau Filipina dibawah rezim Ferdinand Marcos adalah beberapa contohnya.
Alih-alih ingin mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi, maka beberapa diktator sengaja dipasang untuk mengamankan imperium bisnis sang Ndoro besar di Asia. Dan senjata yang digunakan untuk itu adalah Asian Values. (baca disini, disini dan disini)
“Rakyat harus nurut pemerintah yang berkuasa, supaya harga-harga sandang pangan jadi murah dan bisa dijangkau oleh masyarakat,” demikian kurleb-nya.
Lumrah jika banyak kalangan akademisi mengkritisi istilah Asian Values tersebut. “Nilai-nilai Asia sangat berkontribusi terhadap pembentukan masyarakat yang korup dalam struktur sosial di Asia,” demikian kurleb-nya. (https://www.ej-social.org/index.php/ejsocial/article/view/367)
Kok bisa?
Karena hadirnya dua dimensi dari Asian Values yang berkontribusi terhadap pembentukan masyarakat korup, yakni dimensi politik dan dimensi sosial.
Pada dimensi politik, sistem politik yang dibuat oleh rezim yang berkuasa yang sarat dengan manipulasi sejarah, tentu saja membentuk tatanan masyarakat yang korup.
Dalam tataran praktis, maka jika seorang pejabat korupsi, maka sistem-nya akan membuka kran yang seluas-luasnya agar para bawahan juga melakukan hal yang sama. Perilaku ini akhirnya menciptakan term korupsi berjamaah.
Hal lain yang dilakukan rezim yang berkuasa adalah dengan memanipulasi sejarah, yang tentu saja menguntungkan penguasa. Kita bisa lihat bagaimana film Pengkhianatan G30S/PKI sengaja diputar dari tahun ke tahun semasa Orba, dengan tujuan memberi justisikasi agar Soeharto tetap bisa berkuasa karena dianggap berjasa pada negara.
Dan rakyat dengan doktrin Asian Values-nya, hanya bisa mengamini apa yang dilakukan sang penguasa, tanpa bisa menggunakan kemampuan bernalar kritisnya.
“Bukankah hal mengenai kepatuhan pada otoritas yang berkuasa adalah bagian dari nilai-nilai Asia yang sengaja dipromosikan?”
Sedangkan pada dimensi sosial, rezim berkuasa sengaja menciptakan tatanan masyarakat yang korup dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya ada tradisi jam karet pada masyarakat, ataupun tilep dana masyarakat dalam bentuk uang kutipan saat warga mengurus surat di kantor instansi pemerintah. Sadar atau nggak, itu perilaku koruptif.
Kalo anda nggak mau kasih ‘amplop’ ke aparat pemerintah, percayalah apa yang anda urus nggak akan pernah rampung.
Singkatnya, Asian Values adalah akal-akalan yang dibuat rezim berkuasa, agar rakyat tunduk pada pemerintah, sehinggadirinya tetap bisa berkuasa disinggahsana kekuasaan. Dan nilai-nilai Asia otomatis bubar saat krisis ekonomi menghantam Asia di tahun 1997 silam.
Apakah Asian Values selalu mengandung hal yang negatif?
Nggak juga.
Prof. Richard Robinson dari Universitas Murdoch mengatakan bahwa Asian Values mengandung beberapa prinsip penting, yang tentu saja bersifat politis.
Salah satunya titik tumpu kebersamaan bukanlah pada negara atau individu melainkan pada keluarga masing-masing. “Keluarga yang kuat bakal membentuk sistem negara yang kuat juga,” begitu kurleb-nya. (https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/09512749608719189)
Ini yang membuat cikal bakal Tiger Parenting pada banyak keluarga di Asia. Dengan orang tua yang peduli pada perkembangan Pendidikan anaknya, konsep ini banyak melahirkan orang-orang hebat di Asia. “Kalo ortunya nggak ‘bawel’, bagaimana mungkin anaknya bisa berhasil?”
Itu sisi positif dari Asian Values yang bisa diadopsi.
Nggak percaya?
Coba anda browse di mesin pencari tentang Tiger Parenting, kan semua-nya bersuara sumbang.
Kenapa?
Karena itu nggak sesuai dengan prinsip sang Ndoro besar. Alih-alih peduli pada pendidikan anak, anak justru diberikan hak individu dengan dalih HAM. Jadi kalo anak nggak sreg dengan pola didik orang tua, mereka bisa tuntut sang ortu dengan dalih melanggar HAM.
Nggak hanya itu, sebab kiblat pendidikan saat inipun jadi rusak, karena nilai-nilai HAM tadi. Guru salah dikit, langsung lapor KPAI.
Siswa nggak naik karena malas belajar, sekolah didatangi pengacara.
Atau peserta didik dinyatakan tidak lulus, yang salah institusinya.
Jadi apa yang bisa disimpulkan soal Asian Values?
Porsi ini silakan anda yang putuskan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)