Melepas Cengkraman Google
Oleh: Ndaru Anugerah
Siapa yang pemegang market share terbesar di dunia untuk search engine?
Jawabannya: Google.
Berdasarkan data, di tahun 2020 saja, market share yang dikuasai anak perusahaan Alphabet tersebut telah mencapai 92,54%. Dengan angka yang demikian besar, bisa dikatakan Google bukan lagi leading melainkan menguasai jagat dunia maya pada bidang mesin pencari. (https://www.webfx.com/blog/seo/2019-search-market-share/)
Apa implikasi dari cengkraman Google tersebut?
Menarik menyimak apa yang disampaikan Joe Rogan selaku podcaster kondang di AS. Dia mengatakan bahwa Google bertindak nggak jujur dengan menyembunyikan informasi dari para penggunannya. (https://www.dailywire.com/news/joe-rogan-slams-google-you-guys-are-hiding-information)
“Ini saatnya saya berhenti menggunakan Google untuk mencari sesuatu. Mereka melakukan sesuatu untuk mengumpulkan informasi (dari para penggunanya),” demikian ungkap Rogan.
Tentang aksi patgulipat yang dilakukan Google, memang bukan barang baru. Sudah lama orang tahu akan aktivitas ‘tersembunyi’ yang dilakukan Google, namun semuanya menjadi sangat jelas saat plandemi berlangsung. (https://reclaimthenet.org/google-blacklists-leak/)
Memangnya apa aktivitas tersembunyi tersebut?
Jadi apa yang anda cari pada Google, bukan untuk benar-benar menemukan yang sesungguhnya anda ingin cari, karena Google terlebih dahulu akan melakukan penyensoran. Dr. Robert Epstein menyebutnya dengan istilah Search Engine Manipulation Effect (SEME). (https://www.pnas.org/content/112/33/E4512)
Dengan SEME, Google tidak hanya mempengaruhi hasil penelusuran atas apa yang anda cari, tapi juga memanipulasi saran penelusuran. (https://www.smartt.com/insights/google-autosuggest-manipulation-is-it-a-legitimate-strategy)
Ini sangat fatal, karena pada gilirannya Google akan menyembunyikan sumber non-otoritatif, karena dianggap dengan sejalan dengan garis kebijakan korporat.
Dengan kata lain mereka bisa menyembunyikan hal-hal yang ‘nggak boleh’ anda ketahui, jika suatu sumber dianggap mengancam kebijakan korporat. (https://www.niemanlab.org/2018/07/youtube-has-a-plan-to-boost-authoritative-news-sources-and-give-grants-to-news-video-operations/)
Apakah anda terkejut dengan semua ini?
Kalo iya berarti anda tergolong kuper alias kurang gaul.
Kenapa?
Karena sejak pertama didirikan, Google adalah proyek penelitian dan startup yang didanai dan didukung oleh intelijen dan militer AS untuk ‘mempertahankan keunggulan informasi’. (https://medium.com/insurge-intelligence/how-the-cia-made-google-e836451a959e)
Jika kemudian produk Google menjadi penjara online atas penelusuran yang kita lakukan, itu hal yang lumrah. Nggak ada investasi yang gratis, bukan?
Apakah ada mesin pencari lain yang ‘aman’ untuk digunakan dalam arti tidak memiliki bias (penyensoran)?
Sebenarnya ada 2 mesin pencari independen yang so far masih memegang azas keterbukaaan. Pertama Microsoft Bing, dan kedua Yandex. Sedangkan untuk mesin pencari yang lain, hanya akan mengindeks dari mesin pencari mainstream (Google dan Microsof Bing).
Misalnya anda pakai Yahoo, DuckDuckGo, Baidu atau Ecosia, mesin pencari yang jadi rujukan mereka dalam mengindeks adalah Microsoft Bing. Jadi hasil pencarian dari Yahoo misalnya, akan sama persis dengan hasil penelusuran melalui Microsoft Bing. (https://ahrefs.com/blog/alternative-search-engines/)
Untuk saat ini, Microsoft Bing memang masih ‘independen’. Hanya saja kita tahu bersama bahwa Microsoft adalah komponen Big Tech, yang satu ‘perahu’ dengan Google. Jadi akankah Microsoft Bing akan terus mempertahankan reputasi independensinya?
Selaku analis, saya sangat meragukannya.
Bagi saya, jika anda mengembangkan perlawanan terhadap kartel Ndoro besar, mendingan memakai Yandex sebagai mesin pencari alternatif selain Google. Satu yang pasti, Yandex bekerja tanpa mesin penyensoran dan lepas kungkungan kartel Ndoro besar. (https://money.cnn.com/quote/shareholders/shareholders.html?symb=YNDX&subView=institutional)
Itu kalo anda mau konsisten dan saban hari teriak-teriak ‘resistance’ di jagad media sosial.
Untuk video, anda juga jangan pakai YouTube, karena YouTube telah diakuisisi oleh Google sejak 2006 silam. Kebijakan mereka segaris. (https://www.nytimes.com/2006/10/09/business/09cnd-deal.html)
Sama halnya dengan Google, aktivitas penyensoran yang dilakukan YouTube juga nggak kalah set. Dalam banyak kasus, video yang kita cari, mungkin telah dihapus oleh YouTube akibat sensor yang dilakukannya terhadap konten-konten kontroversial. (https://reclaimthenet.org/youtube-authoritative-sources-boosted-2019/)
Kalo bukan YouTube, lalu solusinya apa?
Anda bisa cari dengan platform video alternatif semisal: Bitchute, Rumble, Brighteon hingga Odysee. Itu semua platform independen dan lepas dari cengkraman Ndoro besar. (https://reclaimthenet.org/free-speech-friendly-video-sharing-platforms/)
Sekali lagi, saya hanya menyajikan santapan yang layak anda dapatkan. Namun semua itu berpulang kepada anda masing-masing, apakah anda mau menyantap sajian ‘alternatif’ atau justru malah menampiknya.
Sampai dimana konsistensi anda dalam mencari kebenaran dan melawan kartel Ndoro besar?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments