Melawan Rasa Takut


511

“Kenapa akhir-akhir ini aksi teror kembali marak?” di seberang sana pesan dari whatsapp berbunyi.

Jawabannya retorik. Untuk apa orang menebar teror?

Adalah seorang Abraham Maslow yang mendeskripsikan hierarchy of needs pada tahun 1943.  Maslow membagi kebutuhan manusia lapis pertama, sebagai kebutuhan fisiologis yang berarti kebutuhan paling dasar. Apa itu? Yah orang cenderung mikirin perut dulu, sebelum melakukan hal yang lain. Itu sebab ada ungkapan: makan untuk hidup (bukan hidup untuk makan, yah…)

Lapis berikutnya adalah kebutuhan untuk bebas dari rasa takut.

Nah disini letak masalahnya. Maksudnya?

Menurut Maslow, orang memiliki kecenderungan untuk menghindari rasa takut dan cari aman.

Gak percaya? Coba kita test: apa mau kerja suatu tempat dengan gaji gede, tapi full dengan ancaman? Apa mau punya pacar cantik, tapi rada-rada? Apa mau pilih jalan singkat lewat pekuburan yang angker?

Singkatnya, benar adanya kalo orang memiliki kecenderungan untuk menghindari rasa takut dan cari aman.

Sadar dengan keadaan ini, kelompok goyang dombret memainkan peran psikologis tersebut. Disebarlah teror. Tujuannya jelas: menebar rasa takut!!

Coba lihat lagi, apa yang terjadi di pilkada DKI tempo hari. Agar petahana tidak dipilih lagi, maka ditebarlah teror mayat dan ancaman untuk tidak masuk surga bagi yang memilih gubernur kafir. Biar lebih mantap, aksi-pun digelar di mesjid-mesjid seantero Jakarta. Hasilnya? Warbiyasah brayy!!

Nah, untuk menggulingkan pemerintah yang sah, aksi serupa digelar kembali. Tema yang sama dimainkan. Tebar ketakutan, dengan tujuan agar terjadi kepanikan di masyarakat, dan ujung-ujungnya nongol deh seruan: “Jangan pilih Jokowi lagi karena gagal menciptakan stabilitas keamanan.” Cendol dehh…

Kalo kita lihat yang ada dipermukaan akhir-akhir ini, gereja diserang, masjid dirusak, sampai ada stigma kalo para ulama diserang oleh PKI plus isu kebangkitan komunis, adalah agenda sejenis. Mengusik rasa aman. Ujug-ujug, semua salah Jokowi… Kesimpulannya: jangan dipilih lagi di 2019!! Recehan banget, sihh??

Sekedar flashback, kalo dimasa Orde Baru, Soeharto kerap memainkan langkah-langkah gebug, dalam menjaga stabilitas & keamanan. Sampe menggerakkan organ territorial ABRI ditingkat desa, sekelas Koramil. Walhasil, semua otomatis aman. Kenapa Soeharto mengambil langkah itu? Yah karena teori Maslow tadi…

Era keterbukaan harusnya disikapi dengan kritis. Kalo ada kelompok yang mencoba menggoyang pemerintah dengan istilah kritik, harusnya kita balik bertanya: itu kritik apa nyinyir? Karena kritik melahirkan perbaikan. Sementara nyinyir akan melahirkan kekacauan.

Tahun 2018 adalah tahun politik. Tensi akan semakin naik menjelang 2019. Kencangkan ikat pinggang dan saling bergandengan tangan untuk melawan teror itu. Karena kaum goyang dombret tidak akan menghentikan aksi-aksinya, sampe semua yang diinginkan tercapai.

“Pesan micinnya 2 kilo, bang!!”

Dan micin-pun mulai langka dari peredaran…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!