Langkah-Langkah Tak Terduga


520

Langkah-Langkah Tak Terduga

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, politik itu kotor. Menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan yang diharapkan.

Ada lagi yang punya pendapat, dalam politik yang namanya lawan harus dilibas. Lebih cepat lebih baik. Selalu berpikiran hitam putih dalam memandang.

Apa iya seperti itu?

Politik itu seni. Manajemen, kata kuncinya. Kekuatan mengatur. Bahwa tidak selamanya yang hitam adalah hitam, dan yang putih akan tetap putih. Contohnya kalo kita gak suka maksimal pada seseorang-pun, kita harus mampu mengatur level emosi kita. Jangan malah diumbar, apalagi dikit-dikit curcol di twitter: “Saya prihatin..” Nggak nyeni, bray!!

Dan salah satu tokoh yang mempopulerkan konsep politik itu sebagai seni, adalah presiden Jokowi. Dia tahu siapa musuh-musuh politiknya. Tapi dia bisa berdansa mesra dengan mereka, seolah tak ada rasa benci pada mereka. Walaupun lawan dibuat terkapar, diakhir cerita. Gak usah saya ceritain lah, siapa aja korbannya…

Ini pula yang mendasari pertemuannya dengan PA 212, tempo hari.

Sebenarnya, analisanya sederhana. Ngapain juga perlu ketemuan, mengingat selama ini kelompok 212 selalu brisik pada kebijakan pakde? Apa targetnya? Siapa yang menginisiasi pertemuan?

Begini ceritanya…

Sebenanya, kelompok 212 sudah mencoba move on dari kepemimpinan HRS. Namun apa daya selalu gagal. Semua orang dicoba menggantikannya, namun ujung-ujungnya gagal. “Kurang karisma’nya,” kilah anggota genk kamfret.

Setelah pikir-pikir, kenapa nggak coba negosiasi sama pakde, untuk meng-SP3 kasus HRS. Lagian yang di Saudi sana, hidupnya udah sangat menderita. Pulang malu, gak pulang rindu..

Maka dibuatlah pertemuan rahasia. Kenapa rahasia? Agar umat gak mengalami demoralisasi gerakan? “Masa udah teriak-teriak sangar ke pemerintah, ujug-ujug kok minta ketemuan? Apa kata neng Firza?”

Makanya, genk kamfret meminta dengan sangat (pake plis deh), pertemuan rahasia ini harus terjaga. Gak boleh ada wartawan, apalagi bawa-bawa hengpon buat selfie-selfie… Jangan sampai terekspos dahh…

Lha terus target jokowi apa? Selain takut dicap pemimpin elitis, “Masak presiden gak mau ketemu warganya?  Yah sekedar test the water. Seberapa kuat kubu lawan. Gak lebih.

Gak heran, setelah ketemuan, Jokowi cuman cengar-cengir aja lihat kelakuan PA 212. “Ternyata kekuatan mereka cuma segitu. Cemen!!” begitulah kilahnya, sambil nyengir kuda. Gak cukup sampai disitu, pertemuan yang sifatnya rahasiapun, akhirnya bocor-cor-cor… Maka panik-lah kubu kamfret. “Sial! Ana ditifu sama antum.”

Bukan hanya itu yang dibuat pakde. Langkah-langkah tak terduga lainnya juga banyak dibuat, dari mulai Wiranto yang disuruh ketemu SBY. Rommy yang disuruh ketemu Uno. Luhut yang ketemuan sama om Wowo. Sampe wawancara ekslusif di TV, pakde mengakui bahwa dia sudah bertemu dengan kubu partai Varokah. Seolah ada kesan, jokowi menjalin komunikasi politik dengan pihak lawan.

Makin pusing-lah sang Sengkuni sebagai dirijen. “Sebenarnya, apa sih maunya, nih orang?” begitu pikirnya. Mo nyari diprimbon-pun, nggak akan pernah ketemu jawabannya..

Itulah yang namanya seni berpolitik. Semua langkah-lagkah harus dibuat seolah tanpa skema. Semua langkah-langkah harus dibuat seolah tak tertata. Dan semua langkah-langkah harus dibuat tak terduga. Namun pasti ada tujuannya, mengobok-obok kubu lawan.

Terima kasih pakde, atas pembelajaran politik yang disajikan.

Terima kasih atas sajian bahwa politik itu seni dan bukan hal yang tabu, apalagi kotor.

Coba kalo 32 selama memimpin, Eyang Harto menerapkan seni politik model ginih, yakin stiker belakang mobil yang berbunyi: “Penak jamanku, toh?”, bakal ada dipasaran??

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!