Krisis di Wilayah Strategis (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian 1 saya sudah jelaskan kronologis aksi ‘kudeta’ yang dilakukan kubu Tatmadaw dibawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing terhadap partai berkuasa NLD, tepat di hari pertama Aung San Suu Kyi (ASSK) mulai menjalankan aktivitas kenegaraannya. (baca disini)
Seperti kita ketahui, LND sukses menggilas partai oposisi Union Solidarity and Development Party (USDP) dengan menyabet 396 kursi di parlemen dari 476 kursi yang tersedia. (https://apnews.com/article/aung-san-suu-kyi-myanmar-coronavirus-pandemic-elections-yangon-6884aae25bac2dbf952a8cc0447c83fc)
Ini jelas ironis, mengingat USDP telah disokong mati-matian oleh Tatmadaw, eh nyatanya keok juga diakhir cerita dengan hanya mendapatkan jatah 33 kursi di parlemen. Dengan suara minoritas, apa yang bisa dilakukan di negara tersebut?
Wajar jika Tatmadaw memiliki kegundahan mengingat ASSK merupakan sosok yang nggak bisa dipegang buntutnya sebagai mitra kerja bernegara.
Lha AS saja yang sudah ‘membesarkan’ namanya, nyatanya harus kecele diakhir cerita saat ASSK mendukung operasi keamanan yang menyasar komunitas Muslim Rohingnya. Gimana dengan Tatmadaw yang nggak ngasih andil apa-apa buat ASSK?
Ini nggak berlebihan, mengingat ASSK dinilai punya itikad untuk menghidupkan kembali semangat damai Konferensi Panglong saat negara tersebut masih bernama Burma. Nah kalo spirit tersebut dilembagakan saat NLD pegang kuasa, bukan nggak mungkin pembicaraan damai dengan para pemberontak di negeri itu (termasuk Rohingnya) bakal sering digelar dan dilembagakan.
Dan untuk yang satu ini, pihak Tatmadaw sangat berkeberatan. “Kalo negara di-sipilkan, kami kebagian apa?” begitu kurleb-nya. (https://www.geopolitica.ru/en/article/21st-century-geopolitics-multipolar-world-order)
Lantas, apakah aksi ‘kudeta’ tersebut nggak berelasi dengan China dan Rusia?
Justru sebaliknya. Bagi China, Myanmar adalah wilayah terseksi yang ada di Asia Tenggara. Dimana letak seksinya? Saya coba jabarkan.
Dalam proyek Belt & Road Initiative (BRI) China, Myanmar punya andil yang sangat penting.
Anda pernah dengar China-Myanmar Economic Corridor (CMEC)? Itu adalah proyek penghubung super penting bagi BRI selain CPEC. (https://news.cgtn.com/news/2020-01-20/Myanmar-s-CMEC-closely-resembles-Pakistan-s-CPEC-NoV3bFGxm8/index.html)
Dengan adanya CMEC, maka China nggak perlu ribet-ribet melewati Laut China Selatan yang kerap dijadikan wilayah konflik oleh AS dan sekutunya, kalo hendak transaksi minyak dengan Myanmar. Cukup ketok pintu dan semua ‘keributan’ yang sengaja diciptakan AS di LCS bakal bisa dihindari.
Setidaknya ada dua keuntungan yang akan didapat China. Pertama hemat jarak karena tidak perlu ambil jalur memutar lewat Selat Malaka untuk dapat minyak dari Myanmar, dan kedua relatif aman dalam menjamin pasokan energi yang dibutuhkan China dari Myanmar.
Asal anda tahu, wilayah pesisir Rakhine adalah daerah ‘kaya’ migas di Myanmar. Dengan kandungan migas melimpah, China jelas ketiban pulung. Nggak aneh China terus menjalin kemitraan strategis dengan Myanmar. (https://css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/gess/cis/center-for-securities-studies/resources/docs/ISPSW-529%20Dutta.pdf)
Selain itu, satu yang nggak boleh dikesampingkan.
Menurut Ketua Mao, menjalin kemitraan dengan dunia ketiga yang terletak di wilayah selatan, wajib hukumnya bagi China. Kenapa? Karena merekalah rekan strategis yang diperlukan untuk mewujudkan tatanan dunia baru yang multipolar. (https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/ziliao_665539/3602_665543/3604_665547/t18008.shtml)
Melihat semua kondisi tersebut, apakah hanya China yang tahu informasi tersebut? Ya nggak lah ya.
AS lebih dulu tahu soal ini. Bahkan dikalangan diplomat AS, Myanmar dikenal sebagai Kosovo di Asia Tenggara, yang cocok dijadikan pusat operasi militer regional AS. Rohingyaland, istilah yang dipakai. (https://orientalreview.org/2015/06/09/american-plan-for-a-south-asian-kosovo-in-rohingyaland-ii/)
Jangan heran kalo isu Rohingya terus digoreng-goreng oleh AS lewat media mainstream-nya, karena memang ada cetak biru mereka akan wilayah seksi di Myanmar tersebut.
Bukan itu saja, seruan yang dikeluarkan oleh ASSK kepada para pendukungnya saat dirinya di-‘kudeta’ oleh Tatmadaw, juga bukan tanpa instruksi AS. Apa tujuannya? Revolusi Warna tentunya. (https://syncreticstudies.com/2014/12/03/the-color-revolution-model-an-expose-of-the-core-mechanics/)
Dan ini paralel dengan seruan negara-negara ‘koalisi’ AS yang langsung mengecam keras aksi ‘kudeta’ yang dilancarkan atas kepemimpinan NLD di Myanmar. “Sanksi akan kami jatuhkan bagi Myanmar,” demikian kurleb-nya. (https://www.japantimes.co.jp/news/2021/02/02/asia-pacific/myanmar-coup-day-2/)
Sialnya, saat AS berencana melobi DK PBB agar mengecam dan menjatuhkan sanksi buat Myanmar, lagi-lagi China dan Rusia membatalkan aksi tersebut. Akibatnya rencana tersebut batal dieksekusi. (https://www.france24.com/en/americas/20210203-china-russia-block-un-security-council-condemnation-of-myanmar-coup)
Jadi, apa yang mungkin akan dilakukan AS ke depannya?
Yang pasti mereka nggak akan menyerah, mengingat Biden punya 2 agenda utama ke depannya. (baca disini dan disini)
Paling mungkin AS akan mendanai para demonstran yang akan beraksi di Naypyidaw guna menuntut dibebaskannya ASSK dan petinggi NLD lainnya, selain akan mempersenjatai kubu pemberontak yang ada di Myanmar, termasuk pemberontak Rohingya.
Sebaliknya China bakalan melipatgandakan ‘sokongan’ kepada Tatmadaw guna menjaga keamanan di Myanmar. (https://sputniknews.com/columnists/201501291017517136/)
Itu baru China. Belum lagi rencana masuknya Rusia pada papan catur yang tengah dimainkan.
“Memangnya Rusia bakalan ikut dalam permainan tersebut, Bang?” tanya seseorang.
Coba pikir. Kunjungan Menham Rusia Shoigu ke Myanmar baru-baru ini, apa bukan sinyal kuat kalo Rusia bakan ikutan main catur? Ngapain juga sekelas menhan Rusia diutus ke Myanmar kalo hanya ngomongin urusan ‘recehan’?
Simak kata-kata Shoigu, “Rusia setuju untuk memasok Myanmar dengan sistem rudal Pantsir S1, drone pengintai Orlan-10E dan sistem radar.” (https://www.irrawaddy.com/opinion/analysis/myanmar-military-rolls-red-carpet-russian-defense-minister.html)
Dengan semua pasokan persenjataan dari Rusia (dan juga China), AS dan sekutunya dijamin bakal dapat lawan yang bukan kaleng-kaleng kalo seandainya nekat main ‘kasar’ di Myanmar. Setidaknya mereka akan berpikir keras, sebelum menjalankan aksi nekatnya.
Ahh, makin menarik untuk disimak kelanjutannya. Jangan lupa sruput lem-nya kawan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments