Krisis di Wilayah Strategis (*Bagian 1)


532

Krisis di Wilayah Strategis (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah

“Bang, kenapa nggak bahas soal kudeta di Myanmar?” tanya seseorang kepada saya.

Bukan nggak mau bahas, tapi belum sempat bahas. Maklum kerjaan agak numpuk, jadi yang saya lakukan first thing first.

Nah, mumpung hari ini ada waktu luang, saya sempatkan untuk menulis, hitung-hitung sebagai jawaban atas pertanyaan yang ditujukan kepada saya.

Apa yang terjadi di Myanmar? Untuk tahu secara utuh, kita harus punya data yang mendukung.

Tokoh berkuasa, Aung San Suu Kyi (ASSK) di ‘kudeta’ oleh pasukan bersenjata Myanmar, Tatmadaw di bawah pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing. ASSK dan beberapa tokoh kunci NLD akhirnya ditahan pihak militer. (https://www.reuters.com/article/myanmar-politics-int-idUSKBN2A13AK)

Bagaimana kronologinya sehingga ASSK dilengserkan?

Pada November 2020 silam, partai NLD dari kubu ASSK menang pemilu secara telak. Karena menang telak, NLD berhak mengatur jalannya pemerintahan dan otomatis kubu Tatmadaw jadi pihak minoritas di parlemen. Dan ini nggak bisa dibiarkan.

Singkat cerita, atas kemenangan tersebut, pihak Tatmadaw menuding adanya praktik kecurangan pemilu di sejumlah distrik. Namun KPU menepis tudingan yang dilancarkan Tatmadaw.

“Nggak ada bukti kecurangan seperti yang dilontarkan pihak militer,” demikian kurleb-nya.

Karena deadlock, akibatnya kudeta digelar. Tatmadaw akhirnya memberlakukan situasi darurat selama satu tahun ke depan. “Ini sudah sesuai dengan Pasal 417 Konstitusi 2008 tentang penetapan status darurat dan bukan kudeta,” ungkap pejabat di Tatmadaw. (https://apnews.com/article/military-coup-myanmar-explained-f3e8a294e63e00509ea2865b6e5c342d)

Akibat ‘penggulingan’ tersebut, AS dan sekutunya langsung mengecam keras tindakan sepihak yang diambil oleh Tatmadaw. (https://www.reuters.com/article/us-myanmar-politics-reaction/west-condemns-myanmar-coup-chinas-response-is-more-muted-idUSKBN2A11B0?il=0)

Seakan nggak mau kalah set, pemimpin Rohingnya yang berada di Bangladesh Dil Mohammad juga kasih kecaman serupa. “Demokrasi harus diterapkan di Myanmar dengan segala cara,” ungkapnya. (https://www.reuters.com/article/us-myanmar-politics-bangladesh/bangladesh-expects-myanmar-to-keep-rohingya-repatriation-commitments-despite-coup-idUSKBN2A11PI)

Ini jelas lucu.

Lha wong dulu ASSK mendukung tindakan militer terhadap etnis Rohingya, kenapa jadi etnis Rohingnya sekarang malah mendukung ASSK yang telah tega menyetujui agresi militer kepada mereka? (https://www.thehindu.com/news/international/myanmar-election-commission-rejects-militarys-fraud-claims/article33698217.ece)

“Saya tidak tahu apakah Rohingnya itu dapat dianggap sebagai WN Myanmar atau tidak, karena Rohingnya bukan salah satu kelompok etnis resmi di Myanmar,” ungkap ASSK kepada pihak AS kala itu. (https://www.nytimes.com/2016/05/07/world/asia/myanmar-rohingya-aung-san-suu-kyi.html)

Ada apa sebenarnya di Myanmar?

Sekarang mari kita lihat cerita sesungguhnya yang saya yakin nggak akan anda dapatkan di media mainstream yang biasa anda konsumsi.

Seperti yang kita ketahui bersama, Myanmar memulai proses transisi politik menuju model demokrasi ala Barat sejak reformasi 2011 silam. (https://orientalreview.org/2016/09/30/the-deep-state-and-political-transitions-in-national-democracies/)

Dan pada pemilu 2015, NLD memenangkan kontestasi dan ASSK diangkat jadi ‘Penasihat Negara’. Ini karena konstitusi melarang seorang WN jadi pemimpin bila ada anggota keluarganya (kedua anaknya) memiliki kewarganegaraan ganda. (https://www.shropshirestar.com/news/uk-news/2021/02/01/aung-san-suu-kyi-the-oxford-student-who-became-myanmar-state-counsellor/)

AS kala itu, kasih dukungan ke ASSK dengan harapan demokrasi ala Barat dapat dipraktikan di Myanmar dibawah kepemimpinannya.

Sialnya, rencana tak seindah harapan.

Alih-alih mempromosikan nilai-nilai demokrasi Barat, ASSK yang lulusan Oxford University tersebut malah buat gebrakan sendiri yang keluar dari ‘skenario’.

ASSK malah mendukung langkah Tatmadaw dengan menggandeng kemitraan strategis dengan China dan Rusia yang jadi musuh bebuyutan AS. (http://www.jstor.org/stable/10.2307/resrep08014)

Dan gilanya lagi, ASSK mendukung operasi keamanan yang dilakukan pihak militer pada negara bagian Rakhine di Barat Laut Myanmar, tempat dimana komunitas Muslim Rohingnya berada. (https://www.reuters.com/article/us-myanmar-rohingya-army-idUSKBN15V0BI)

“Ini langkah untuk menciptakan keamanan di Myanmar dan bukan operasi genosida terhadap Muslim Rohingnya seperti yang dituduhkan,” ungkap pemenang Nobel Perdamaian tersebut. (https://www.nytimes.com/2019/12/11/world/asia/aung-san-suu-kyi-rohingya-myanmar-genocide-hague.html)

Ini jelas menampar pipi Paman Sam yang mati-matian membela dan menggunakan suku Rohingnya sebagai proxy-nya di Myanmar.

Bahkan saking kesalnya, diplomat AS Bill Richardson ngomong begini, “ASSK gagal mempromosikan nilai-nilai demokrasi sebagai pemimpin di Myanmar. Karenanya dia harus menyingkir dan membiarkan para pemimpin demokrasi Myanmar lainnya untuk ambil kendali di Myanmar dengan dukungan internasional.” (https://www.nbcwashington.com/news/national-international/explainer-why-is-the-military-taking-control-in-myanmar/2557238/)

Ya gimana nggak kesal. Sudah disokong habis-habisan untuk bisa mengambil alih tampuk pimpinan di Myanmar, kok tingkahnya mirip kacang lupa sama kulitnya. Siapa juga yang nggak sewot ngeliatnya?

Lantas, kudeta yang dilakukan kubu Tatmadaw bermuara kemana?

Pada bagian kedua saya akan mengulasnya.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!