Keputusan (yang ) Janggal
“Gak adil bang. Masa divonis 2 tahun sih?” demikian saya dapat kabar dari seorang kawan disana, lewat pesan singkat whatsapp. Kalo dipikir-pikir, yah sangat tidak adil. Kenapa? Jaksa Penuntut Umum alias JPU aja menuntut Ahok dengan 1 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan, kok hakim malah ketok palu 2 tahun plus segera ditahan. Emang Ahok itu psikopat apa, sampe ada perintah langsung ditahan? Logika-nya begini, anda nyolong ayam, terus dituntut sama tetangga anda untuk bayar ganti rugi 100ribu. Begitu masalah dibawa ke pihak yang berwajib, eh anda malah disuruh bayar 1juta. Adil kah itu? Cukup satu kata, tindakan hakim lebay bin alay…Yang ada tuh, vonis harusnya lebih rendah dari tuntutan jaksa, neng…
Keputusan pengadilan sendiri, pakde jokowi nggak ada intervensi. Sedikit-pun tidak ada. Ini sekaligus menangkis nyinyiran kaum goyang dombret, kalo jokowi pasti melindungi ahok. Padahal, kapasitas-nya sebagai kepala negara, apa susahnya mengintervensi pengadilan? Toh cara itu, tidak dia tempuh. Tujuan-nya cukup baik: memberi pembelajaran kepada setiap warga negara, kalo hukum harus ditegakkan, yang seadil-adil-nya tanpa adanya intervensi dari pihak manapun.
Sekilas, langkah yang diambil jokowi memang bagus. Kita harus acung jempol dan kasih tepok tangan untuk itu. Plok-plok-plok… Namun pertanyaan-nya, apa benar pengadilan alias para hakim sudah bebas dari kepentingan?
Beredar luas dijagat sosial media, tentang profile dari seorang hakim pada pengadilan Ahok yang bernama Abdul Rosyad. Dia adalah satu dari 5 orang hakim yang memutuskan vonis 2 tahun untuk ahok. Dalam akun fesbuk yang dimilikinya (https://www.facebook.com/Abdul.rosyad.96.) ternyata Rosyad adalah pemuja khilafah HTI. Kok bisa? Dia dengan sukacita men-share dan me-like, postingan Felix Siauw dan Aa Gym, yang notabene-nya adalah pemimpin kaum goyang dombret. Bukan itu saja, ternyata Rosyad juga me-like Irene Handono yang merupakan salah satu saksi yang memberatkan ahok. Sampe-sampe, portal Islam, yang isi-nya corong HTI yang gemar menyuarakan Khilafah Islamiyah dan so pasti gemar memojokkan Ahok, juga dia follow. Serasa mau koprol sambil tereak “Fakyuuu”…
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat kah kita bilang kalo keputusan hakim independen alias tidak berafiliasi pada salah satu kepentingan? Nenek-nenek juga tau jawabannya…
Kalo kita mau compare sedikit sama kasus perusakan rumah ibadah alias Wihara di Tanjung Balai, Medan tempo hari, pelaku-nya paling banter divonis 2 bulan 18 hari atas nama Bang Zack alias Zakaria Siregar selaku provokator. Lha ini jelas-jelas membakar rumah ibadah lho…cuman 2 bulan 18 hari bro, lebih rendah dari tuntutan jaksa. Masa komen 1 ayat aja, vonis-nya lebih banyak? Alias-nya, keadilan di Indonesia udah tamat riwayat-nya. RIP…. Besok-besok mending bakar rumah ibadah aja, karena hukuman-nya lebih ringan daripada komen tentang ayat…Fakkk…
Belajar dari kasus ini, ada 2 pelajaran yang bisa diambil. Pertama, independensi hakim dalam memutuskan perkara, sangat dipertanyakan, karena terbukti mereka lebih memilih intuisi daripada fakta-fakta yang disajikan dipersidangan. Kedua, ini merupakan PR berat jokowi, bahwa ternyata kaum goyang dombret sudah merangsek masuk ke jalur hukum juga. Kebanggan kaum, adalah ciri khas-nya, dimana hukum hanya berlaku buat “yang berbeda” dengan mereka. HTI boleh saja bubar, tapi ide-ide dan kader serta simpatisan-nya, tidak otomatis mati dengan sendiri-nya. Mereka pasti akan mengadakan perlawanan dari dalam. Makanya, berkali-kali saya ungkap-kan, revolusi mental bakal gagal total, kalo langkah yang diambil terlalu lama. Revolusi itu harus cepat pakde, gak pake lama. Sekali lagi saya tekan-kan: Pak jokowi, rakyat Indonesia mendukung-mu!! Kenapa sih, masih ragu dalam melangkah? Apa perlu saya kasih bapak sepeda, biar bapak bisa cepat ngelaju?? Kami masih menunggu nyali-mu…
Salam duka untuk keadilan yang mati di Indonesia!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments