Melawan Lupa: Tragedi 1998


519

Melawan Lupa: Tragedi 1998

Setiap tanggal 12 Mei, saya kerap mendapat pesan singkat dari seorang kawan 98. Beliau selalu mengingatkan saya, bahwa reformasi 1998, belum selesai, terutama mengungkap siapa dalang dibalik kerusuhan yang merenggut banyak jiwa selain lupa psikologis yang dalam bagi warga keturunan Tionghoa.

Saya masih ingat, pada awal bulan Mei 1998, kawan-kawan digerakan terpaksa mengirimkan kotak yang berisi BH dan celana dalam wanita kepada Senat Mahasiswa Trisakti, yang waktu itu dijabat oleh Hendro Cahyono. Tindakan ini dilakukan sebagai upaya provokasi, agar Trisakti ikut tergerak menyuarakan reformasi. Saya masih ingat, bagaimana mahasiswa Trisakti yang mayoritas adalah anak-anak orang tajir, akhir-nya dipaksa bergerak, setelah merasa panas dengan aksi provokasi tersebut. Walhasil, untuk pertama kalinya, mereka bergerak turun ke jalan. Namun naas, baru keluar kampus beberapa meter, dor-dor-dor…4 orang mahasiswa Trisakti langsung meregang nyawa menjadi korban penembakan dari orang tak dikenal, yang kemudian memicu kerusuhan massal di medio 1998 tersebut.

Hangat dalam ingatan saya, bagaimana kerusuhan tanggal 14 Mei 1998 itu berjalan secara sistematis dan masif. Sistematis artinya kerusuhan menarget daerah-daerah yang banyak populasi warga keturunan Tionghoa terutamanya adalah kaum wanita untuk diperkosa dan dibunuh plus bagaimana designer kerusuhan mendatangkan 2 pesawat Hercules yang berisi para preman dari Papua dan Ambon sebagai eksekutor kerusuhan dilapang (yang sudah di-plotting). Masif artinya, digerakkan oleh kelompok yang tahu betul bagaimana menebar teror di masyarakat dengan 1 semboyan: Ganyang Cina. Tercatat, ratusan wanita keturunan Tionghoa diperkosa secara bergiliran di depan keluarga mereka serta akhir-nya dibantai secara brutal. Selain itu, sejarah juga mencatat ratusan orang lain-nya tewas mengengaskan akibat terbakar di dalam mall/bangunan, sampai tidak diketahui lagi identitas-nya. Beberapa shopping center dari Makro hingga Ramayana dan toko elektronik dijarah secara keroyokan dan kemudian dibakar. Toko-toko WNI keturunan Tionghoa pun, dipaksa menulisi property mereka dengan tulisan: Milik Pribumi atau Pro-Reformasi, agar selamat dari amuk massa.

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai oleh Hermawan Sulistiyo, menegaskan ada pelanggaran HAM berat terjadi disana selain adanya kejahatan terorganisir (organized crime). Bahkan, salah satu penyintas Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK), yang bernama Ita Martadinata Haryono (18 tahun dan siswi SMA Paskalis, keturunan Tionghoa), menjadi korban pembunuhan barbar plus biadab pada 9 Oktober 1998. Tubuh, perut dan dadanya ditikam 10 tusukan plus lehernya digorok. Faking krezi, gak? Masa anak SMA dibunuh secara brutal? Ini dilakukan setelah sebelumnya dia dan ibu plus 4 penyintas lainnya rencananya hendak memberikan kesaksian tentang tindakan pembunuhan dan pemerkosaan yang terjadi di Indonesia terhadap kaum keturunan Tionghoa, di depan Kongres Amerika Serikat. Pembunuhan Ita sendiri merupakan upaya yang sarat pesan, kalo tragedi 1998 jangan sekali-kali diungkap kepermukaan. Pertanyaan-nya,  siapa bermain disana?

Sebagai gambaran, saat itu, Pangkostrad dijabat oleh Prabowo Subianto. Kepala Staf-nya Kivlan Zein, Pandam Jaya dipangku oleh Syafrie Sjamsoeddin, Kapolda Hamami Nata dan Menhankam Pangab adalah Wiranto. Sebenarnya kalo mau mengurut benang kusut, siapa dalang dibalik kerusuhan 1998, ke-empat orang itulah yang mumpuni untuk mengungkap-nya. Apalagi, selang tak berapa lama dari kejadian itu, Prabowo selaku pangkostrad di-mutasikan sebagai Komandan Sekolah Komando AD di Bandung dan pada tahun 1999 (alias masuk kotak), dan akhirnya Prabowo resmi dipecat dari militer aktif oleh Wiranto selaku Menhankam Pangab, setelah ada rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diketuai oleh Subagyo HS. Apa hasil rekomendasi DKP?  “Menyatakan para anggota Tim Mawar, unit di bawah Kopassus, bersalah dalam melakukan penculikan aktivis yang dianggap radikal.” Apakah kerusuhan juga tanggungjawab Prabowo? Entah lah, walaupun banyak pihak menuju ke-arahnya. Yang jelas, siapa yang punya akses untuk membuat rusuh suasana kecuali yang pegang kendali keamanan? Siapa yang mau ambil alih kekuasaan yang sah lewat aksi kerusuhan rekayasa yang kemudian bisa di-tenangkan? Ya tentu saja pihak-pihak yang saya sebutkan di atas. Walau banyaknya tudingan mengarah ke-dirinya, toh Prabowo kekeuh menyangkal keterlibatan diri-nya dalam kerusuhan itu. “Saya berjanji untuk siap membuka semua lembaran hitam Mei 1998 pada saat-nya,” demikian ucapan mantan Pangkostrad tersebut kepada pihak AsianWeek. Namun sampe lebaran monyet berganti menjadi lebaran kuda, janji itu tak pernah kunjung dipenuhi…Ada apa?? Silakan jawab sendiri…

Mengenai penuntasan kasus ini, saya jujur pesimis. Cuma pelajaran berharga yang bisa diambil adalah, jangan biarkan hal ini terjadi kembali. Jangan biarkan orang-orang tertentu mengkotak-kotakan diri kita sebagai pribumi dan non-pribumi, karena kita sebenar-nya adalah satu, BANGSA INDONESIA. Kasus Ahok adalah contoh kecil pengkotak-kotak-an ala orde baru terhadap dirinya dan sayang-nya Ahokers hanya bertindak sebagai silent majority. Gampangnya: lihat KTP kalian, apa ada tertulis Pribumi atau Non-Pribumi?? Kita yang sadar akan hal ini, jangan hanya diam, tapi aktif melawan gerakan tersebut. Pertanyaan-nya kita mau tunduk ditindas, atau malah bangkit melawan. Karena diam adalah pengkhianatan terhadap demokrasi di bumi pertiwi.. Apa kita mau peristiwa 1998 terulang kembali?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


4 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. Bang, bukankah hampir setiap riak yg terjadi di sebuah negara, apalagi SE seksi Indonesia, apalagi riak sebesar 98, yg berujung terjungkalnya Pemimpin besar, apa iya tidak ada campur tangan kepentingan / skenario para iblis globalis juga?

error: Content is protected !!