Kekosongan Kekuasaan? (*Bagian 3)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama dan kedua tulisan, saya telah mengulas tentang langkah yang diambil AS pada Saudi, serta sikap pragmatis Saudi dalam mengantisipasi ‘renggangnya’ hubungan tersebut. (baca disini dan disini)
Pertanyaannya: apakah tepat langkah yang diambil Saudi dalam memecahkan kebuntuan yang ada?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, anda perlu tahu bahwa hubungan AS dan Iran mengalami pasang surut. Jadi, walaupun sekilas kedua pihak saling berhadapan, nyatanya keduanya tidak melulu bersitegang.
Maksudnya gimana?
Di masa kepemimpinan Obama, sikap AS terhadap Iran boleh dibilang melunak. Ini terlihat dengan dibesutnya perjanjian nuklir Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) di tahun 2015 silam, antara AS dan Iran.
Inti perjanjiannya adalah Teheran akan diberikan bantuan uang senilai miliaran dollar agar tidak mengembangkan program nuklirnya. (https://www.nbcnews.com/storyline/smart-facts/what-iran-nuclear-deal-n868346)
Dengan adanya perjanjian tersebut, jelas merugikan Saudi dan Israel yang bermusuhan dengan Iran. “Kok teroris malah diajak kerjasama dan bukannya diperangi?” begitu kurleb-nya. (https://www.usnews.com/opinion/articles/2015/04/17/obamas-iran-nuclear-deal-is-an-unforgivable-betrayal-of-israel)
Namun perjanjian nuklir JCPOA tersebut nggak berlangsung lama karena kemudian dianulir oleh Trump saat dirinya berkuasa. Bukan itu saja, sanksi ekonomi terhadap Iran juga dijatuhkan oleh Trump. (https://www.nbcnews.com/think/opinion/trump-s-withdrawal-iran-nuclear-deal-has-been-vindicated-ncna1003091)
Dengan hadirnya kebijakan Trump, maka Saudi dan Israel langsung jingkrak-jingkrak kegirangan, karena menilai kebijakan tersebut bakal membuat Iran meradang. (https://www.dw.com/en/how-trumps-sanctions-are-crippling-irans-economy/a-49335908)
Dan sekarang, beda lagi skenarionya, dimana Saudi kini mulai ‘ditinggalkan’ kekasih yang selama ini bersamanya. Nggak perlu kecerdasan tertentu untuk seorang MBS membaca skenario ini. Karenanya upaya mengakhiri konflik yang ada di dunia Islam dengan menggandeng Iran, adalah hal yang paling masuk akal untuk dilakukan saat ini.
Bagaimana kita tahu bahwa rencana normalisasi hubungan tersebut merupakan hal yang serius untuk dilakukan Saudi?
Kalo nggak serius, ngapain juga Saudi mengadakan beberapa kali pertemuan dengan pihak Iran? Yang pertama saat di Irak. (https://www.aljazeera.com/news/2021/5/5/saudi-arabia-and-iran-held-talks-more-than-once-iraq-president)
Dan yang berikutnya saat di Oman. (https://thearabweekly.com/saudi-iranian-dialogue-transferred-oman-second-round-after-baghdad)
Itu bukti keseriusan yang pertama.
Yang kedua, perundingan tersebut melibatkan sosok yang dianggap berpengaruh di kedua belah pihak. Misalnya, ada kepala Direktorat Intelijen Umum Saudi, Khalid al-Humaidan. Sementara di pihak Iran ada Wakil Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, Saeed Iravani. (https://asiatimes.com/2021/07/iran-saudi-arabia-on-the-edge-of-rapprochement/)
Satu yang perlu anda ketahui, bahwa Iran juga bukan tanpa sebab mau melakukan upaya damai dengan Saudi.
Di tengah tekanan sanksi ekonomi yang diberlakukan AS, ditambah ekonomi biaya tinggi yang diberlakukan Teheran karena menyokong kelompok Hizbullah di Lebanon dan Suriah serta Houthi di Yaman, jelas membuat masyarakat Iran gerah terhadap situasi ini.
Akibatnya demomstrasi merebak di negara Mullah tersebut. Ini jelas memaksa Iran untuk mau berkompromi dengan Saudi soal rencana damai. Harapannya pasti, kalo kata damai tercipta, Iran bisa menekan ekonomi biaya tinggi yang selama ini dikeluarkannya pada para proxy-nya. (https://www.voanews.com/middle-east/voa-news-iran/iran-protests-spread-tehran-which-sees-biggest-anti-government-march-18)
Bayangkan apa yang akan terjadi jika kata damai tercipta pada kedua pemain besar pada papan catur geopolitik di TimTeng? Ini jelas pukulan yang sangat besar bagi rencana kacau balau yang dibesut oleh AS selama ini pada kawasan tersebut.
Bukan itu saja berita ‘baiknya’ karena Iran juga tengah merajut kerjasama dengan Taliban yang kini menguasai Afghanistan. Ini terlihat jelas saat peralatan militer AS dari Afghanistan yang diambil oleh Taliban, yang didapati tengah berada di Iran. (https://www.middleeasteye.net/news/us-supplied-military-equipment-seen-iran-following-afghanistan-withdrawal-report)
Ini saja bisa menggambarkan betapa dekatnya Taliban dengan pihak Teheran, yang punya platform yang sama dalam melawan hegemoni Washington.
Secara singkat, dengan absen-nya kehadiran AS di Afghanistan, telah membuka mata banyak pihak untuk mengubah konstelasi status-quo yang mendatangkan implikasi buruk buat keamanan regional, menjadi tatanan baru yang lebih nyaman dan aman.
Akankah rencana ini akan berjalan?
Masalah ini sepertinya bisa sedikit mendapatkan titik terang dengan hadirnya Rusia.
Pada April 2021 silam, Putin melakukan kunjungan ke Riyadh guna membahas kemitraan energi alias green initiative antar kedua negara. Dalam geopolitik, terkadang apa yang terbaca justru bukanlah yang tampak dipermukaan. Masa iya, kedua tokoh bertemu hanya untuk bicarain program Ndoro besar? Apa gunanya bagi Saudi yang core business-nya adalah fossil fuel jika membicarakan soal The Great Zero Carbon dengan Rusia? (https://www.arabnews.com/node/1835896/saudi-arabia)
Sasus beredar mereka berencana akan menstabilkan harga minyak dunia selain komitmen bersama untuk tetap menggunakan migas pada tahun-tahun mendatang.
Dan bila ini benar adanya, maka ini jelas bertabrakan dengan agenda sang Ndoro yang malah mau menghilangkan penggunaan bahan bakar fosil guna membentuk tatanan dunia baru yang berkelanjutan. Apa nggak kacau? (baca disini, disini dan disini)
Selain itu, hadirnya Rusia jelas memberi angin surga buat Saudi, karena masalah senjata yang nggak didapat lagi dari AS, kini bisa mereka dapatkan dari Moscow, dengan dalih kerjasama militer guna menjaga stabilitas kawasan. (https://breakingdefense.com/2021/07/as-america-moves-air-defenses-from-middle-east-will-local-partners-step-up/)
Rusia juga nggak bodoh dalam membaca skenario, mengingat AS berencana akan menghapus sistem anti-rudal Patriot dari beberapa negara Teluk (termasuk Saudi), menghapus sistem THAAD dan juga menarik pasukannya dari kawasan Teluk. (https://www.wsj.com/articles/u-s-military-to-withdraw-hundreds-of-troops-aircraft-antimissile-batteries-from-middle-east-11624045575)
MBS jelas ketar-ketir dengan rencana yang diambil Washington. Nggak salah jika kemudian ‘tawaran’ kerjasama militer yang diberikan Rusia, langsung disambut dengan antusias oleh Saudi.
Ini memang bukan skenario semata wayang yang akan diambil oleh Saudi, mengingat sifat dinamis dari geopolitik yang bisa membalikkan rencana yang telah tersusun baik kepada rencana dadakan alias impromptu.
Tapi satu yang pasti, bahwa absen-nya kekuasaan AS saat ini, akan memampukan Saudi untuk berpaling kepada pihak lain sebagai tambatan hati. Dan jika ini terjadi, papan catur geopolitik di TimTeng akan makin menarik untuk dicermati.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments