Dalam waktu dekat, kembali akan digelar forum kongkow kaum monaslimin dan monaslimat bertajuk Ijtima Ulama IV. Rencananya berlangsung di Jakarta pada 5 Agustus mendatang.
“Kami tidak akan mengundang politisi,” tegas penyelenggara. Pun ada yang di undang, apa iya ada yang mau datang? Politisi itu pragmatis, bro. Kalo nggak ada duitnya, ngapain repot-repot datang?
Ok lah, lupakan sejenak agenda kelompok yang hobi mengkapling surga. Namun demikian, apa maksud langkah mereka?
Sederhananya, untuk memahami langkah mereka, kita perlu melilik apa yang sebelumnya terjadi.
Seyogyanya, acara IU digelar sebagai ajang legitimasi ‘ummat 212’ terhadap capres yang akan mereka sokong. Ibarat label halal, bagi mereka itu perlu didapatkan. Kalo nggak, maka capres siapapun itu wajib dikalahkan, dengan segala cara. “Kan Haram statusnya?” demikian alasannya.
Lewat langkah yang berliku-liku, akhirnya tadaa.. muncullah nama Prabowo dan Sandi sebagai paslon capres 2019 penantang petahana. Sejak itu, kubu kampret makin liar menggelindingkan berbagai cara untuk bisa memenangkan capres idolanya.
Ijtima berjilid ala sinetron-pun kemudian digelar lengkap dengan doa-doanya. Tapi toh langkah ini gagal menghantar capres BOSAN menuju kursi singgahsananya. JOMIN pun melenggang. Kampret gigit jari. Apalagi begitu Wowo ketemu Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, tempo hari.
“Sialan. Udah mati-matian bela-belain Prabowo, eh sekarang dia malah asyik rekonsiliasi sama Jokowi,” demikian umpat mereka.
Singkat kata, ada kekosongan terjadi. Sementara kondisi masih hangat-hangat tahi ayam pasca putusan MK kemarin. Aroma perseteruan kampret dan cebong nggak boleh padam. Harus tetap dijaga, agar tensi ngeri-ngeri sedap.
Ummat 212 yang disokong penuh jaringan HTI, butuh figur yang akan mereka sorong menjadi kubu oposisi. Deal-nya jelas. Kelak figur mereka memenangkan kontestasi, maka politik balas jasa otomatis terjadi. Dan prosesi bagi-bagi kue, dapat digelar kembali.
Selain itu, kita tahu bersama, siapa pihak luar yang bermain di belakang mereka. Merekalah yang selama ini merasa dirugikan terhadap kebijakan yang kerap diambil Jokowi. Minimal ada Mamarika yang jelas-jelas dirugikan dengan kasus Freeport.
Melihat sinyalemen ini, Gabener mulai menggeliat. Cita-cita untuk melenggang ke istana tempo hari, pupus ketika akhirnya ditelikung oleh Om Wowo. Padahal udah capek-capek minta restu Washington segala, tapi sungguh apes dan sukses ditelikung di pengkolan akhir.
Sekarang, Wan Abud sungguh berharap bisa mengisi kekosongan itu. Untuk bisa menjadi idola kampret.
Saking niatnya, sampe-sampe dibela-belain untuk datang ke Amrik selepas mengikuti acara di Kolombia pada 9 Juli yang lalu.
Walaupun penjelasan sang Gabener bahwa kunjungan ke Amrik adalah untuk membahas peluang Jakarta agar dapat menjadi tuan rumah balap mobil Formula E, selain menghadiri acara USINDO (United States & Indonesia Society).
Tapi info yang saya dapat bahwa langkah itu adalah ajang sungkeman ke Paman Sam untuk bisa maju di 2024. Dan itu sudah didapatnya.
Merasa telah mendapatkan green light, maka sang gabener mulai gaspol. Untuk mengkerek namanya, tapi prestasi nggak punya, apa yang bisa dilakukan?
Terpaksa buat sesuatu yang sensasional.
Dari mulai getah-getih sampai meminta pemerintah Palestina untuk bisa menggelar barang dagangannya di Jakarta, segera disundulnya. Tujuannya apa kalo nggak mendongkrak popularitas. Kalo sudah popular, maka elektabilitas gabener tinggal keniscayaan. Kan begitu, teorinya..
Namun ada kendala teknis yang dihadapi Anies. Dia nggak punya kendaraan politik. Ini pulalah yang konon mengganjalnya menjadi capres di 2019 berduet dengan AHY, selain faktor biaya tentunya.
Menurut prediksi saya, ke depan hambatan teknis ini akan ditanggulangi dengan masuknya sang gabener ke dalam salah satu gerbong partai politik yang ada, yang kemungkinan besar tidak atau sedikit mendapatkan kue kekuasaan dari Jokowi.
Akankah kasak-kusuk sang gabener membuahkan hasil? Kita lihat nanti…
“Terus Gatot gimana posisinya, bang?” tanya seorang di ujung sana.
Ahh, jangan digubris. Biarlah dia ngebuat sejuta manuver, sekalipun. Toh nggak akan kepilih juga. Sekarang trend-nya sipil yang berkuasa. Yang ada bau-bau militernya, belakangan kurang laku di pasaran.
Gak percaya?
Om Wowo yang udah teriak kencang lebih TNI dari TNI aja udah dipaksa angkat koper, apalagi cuma sekelas mantan Jenderal yang minim pengalaman perang?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments