“Kenapa ya, kok para kampret makin intensif dalam menjalankan aksinya, jelang hari pencoblosan,” begitu pertanyaan seorang aktivis milenial kepadaku.
Seperti kita tahu, bahwa paslon 02 sangat minim prestasi. Fakta lain yang menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemilih konservatif yang gampang ditakut-takutin dengan berita bohong alias hoax, juga tidak bisa dibantah. Inilah yang kemudian memicu paslon 02 menyerang dengan gaya yang berbeda, yaitu lewat semburan kebohongan.
Soal firehose of falsehood, saya pernah ulas dalam tulisan saya sebelumnya (baca disini). Poin dari metode sebar fitnah ini adalah mengaktifkan zat amygdala yang ada pada diri mayoritas manusia. Salah satu kunci keberhasilan untuk bisa mengaktivasi zat ini pada otak manusia, adalah dengan menebar ketakutan.
Tak terkecuali apa yang dilakukan oleh trio emak-emak yang tergabung dalam tim kampretwati di Karawang. Aksinya tak tanggung-tanggung, bukan saja menyebar black campaign tentang Jokowi, tapi aksinya juga di videokan dan disebar di dumay.
Pada video yang viral seantero dumay, terlihat bagaimana para emak-emak itu menebar ketakutan di tengah masyarakat. Inti skenarionya: kalo Jokowi terpilih lagi, maka jilbab tidak akan diperbolehkan, pernikahan sejenis akan dilegalkan, dan suara adzan tidak akan lagi berkumandang.
Sederhana pesannya, namun sangat efektif dalam mengaktivasi amygdala masyarakat yang pada dasarnya pendidikannya terbilang rendah tersebut. Dan setelah dilakukan secara sistematis, dalam waktu lumayan singkat elektabilitas Jokowi-pun merosot bak celana kolor di Jabar.
Berbicara di Kendari pada Sabtu (2/3), Jokowi mengungkapkan, “Di propinsi Jawa Barat, saat itu 1,5 bulan yang lalu, kami sudah menang 4%. Dulu kan, (pilpres 2014) kami kalah telak, ini sudah menang 4%. Enggak ada hujan, enggak ada angin, tahu-tahu anjlok 8%.”
Selanjutnya pakde menambahkan, “Kami cek. Ke bawah, ke bawah… Cek lagi ke rumah, ke rumah… Apa yang muncul? Ternyata fitnah hoaks sudah masuk (ke rumah-rumah).”
Sebagai pamungkas, Jokowi mengingatkan, “Kalo ada sesuatu di bawah yang kira-kira isinya mengganggu dan akan menurunkan (elektabilitasnya), hati-hati!”
Dari statement pakde tersebut, dapat diambil beberapa kesimpulan.
Pertama, Jabar sebagai sarang kampret sudah sempat dikuasai oleh paslon 01. Dari suara yang boncos pada tahun 2014, kemudian berhasil unggul 4% adalah torehan yang warbiyasah. Artinya apa? Mesin politik atau kerja para relawan, sudah terbilang optimal di Jabar.
Apalagi kang Emil adalah gubernur Jabar yang sudah menyatakan dukungan terbuka pada paslon 01. Jadi wajar, kalo suara JOMIN makin naik di Jabar.
Inilah yang kemudian membuat para kampret blingsatan, mengingat Jabar identik dengan sarang kampret. Itu adalah marwah tersendiri bagi para kampret. Namun karena nggak punya modal buat dijual, terpaksa jurus semburan kebohongan digelar secara masif. Dan terima atau tidak, strategi ini sangat efektif untuk menggerus elektabilitas pakde.
Dan demikian masifnya, hanya dalam hitungan 1,5 bulan saja, elektabilitas JOMIN langsung tergerus. Lha gimana nambah waktu 2 bulan lagi? Bisa-bisa putus tali kolor sempaknya.
Ini diperkuat dengan pernyataan ibu Haryani, yang anaknya tercyduk oleh aparat keamanan akibat aktivitas black campaign tersebut yang menyatakan bahwa mayoritas orang di lingkungannya (baca: Jabar) sudah mempercayai bahwa kelak pakde terpilih kembali, maka tiga hal yang ditakutkan tersebut, pasti akan terjadi.
Dan ini jelas darurat.
Karenanya, kalo ini tidak diantisipasi secepatnya, itikad pakde untuk merebut Jabar, hanya tinggal kenangan. Untuk itu, kata-kata terakhir pakde yang bernada ‘peringatan’ tersebut bisa diartikan bahwa kedepannya akan aksi main keras di lapangan dari kubu JOMIN.
Bisa jadi upaya pencidukan yang akan semakin intensif digelar atau akan ada aksi kontra dari kubu JOMIN terhadap black campaign yang dilakukan oleh kubu kampret secara masif tersebut.
Menurut analisa saya, aksi kampret nggak akan mencapai hasil yang optimal, selama politisasi masjid-masjid tidak dilakukan. Inilah juga yang bisa menjelaskan, kenapa akhirnya Al Khaththath selaku sekjen FUI ngotot bersuara untuk segera mengaktifkan kembali gerakan politik melalui masjid-masjid jelang hari pencoblosan, saat berdemo di KPU Jakarta Jumat kemarin (1/3).
Dan politisasi masjid adalah jurus pamungkas yang dimiliki kampret. Tanpa mengeluarkan jurus tersebut, kemenangan kampret di gelaran pilkada DKI 2017 lalu, hanya sebatas mimpi. Tapi begitu jurus ini digelar, maka seorang Ahok yang tingkat elektabiltasnya setinggi langit-pun, ujung-ujungnya dibuat nyungsep diakhir cerita.
Pilpres 2019 ini ibarat cerita telenovela. Akan ada aksi yang tidak terduga menjelang episodenya berakhir. Dan seperti prediksi saya setahun yang lalu, bahwa pilpres ini adalah perang dingin, dimana dipermukaan tidak begitu tampak aktivitas perangnya, namun aktivitas dibelakang layar-lah yang akan menentukan kemenangan.
Saran saya kepada para relawan dan cebongers, untuk makin merapatkan barisan. Gerakan door to door kalian sudah lumayan berhasil, cuma memang kudu lebih militan lagi.
Satu hal lagi, tinggalkan gaya bermain kalian yang hanya bertahan dan mengutamakan ‘logika serta etika kesantunan’. Karena serapat-rapatnya pertahanan, pasti ada titik lemahnya. Mengutip istilah Ahok, masa ngadepin maling kita mengedepankan KEBERPIHAKAN? Nyang bokir…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments