Resolusi Kaum Sarungan


515

Bertempat di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Citangkolo, Banjar, Jawa Barat, Bahtsul Masail Maudluiyah Munas dan Konbes NU yang merupakan forum diskusi antar ahli keilmuan Islam, terutama yang berkaitan dengan fikih, menghasilkan beberapa resolusi penting (1/3).

Salah satu seruan kaum sarungan tersebut adalah tidak menggunakan istilah kafir bagi ummat agama lain alias non-muslim di Indonesia.

“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekkah menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Namun setelah nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-muslim. Ada 3 suku non-muslim disana, tetapi tak disebut kafir,” begitu ungkap Ketua PBNU Said Aqil Siroj.

Pada kesempatan itu, forum Ulama tersebut juga mengganti istilah kafir bagi kaum non-muslim dengan sebutan muwathinun alias warga negara.

“Tidak nyaman jika seseorang yang beragama kemudian dipanggil kafir. Bisa-bisa pecah belah bangsa ini. Selain itu ada unsur kekerasan teologis dengan istilah kafir. Ada kesan untuk memusuhi orang yang bukan golongannya,” begitu ungkap sebuah narsum pada forum tersebut.

Sebenarnya, Soekarno sebagai Bapak Bangsa juga pernah berpidato pada saat lahirnya Pancasila (1 Juni 1945), terutama saat menyinggung tentang prinsip kebangsaan. Dia mewanti-wanti agar bangsa Indonesia berTuhan secara kebudayaan dengan saling menghormati antar pemeluk agama sehingga tidak terjebak dalam apa yang disebut sebagai “egoisme” agama.

Kebayang, kalo misalnya pemeluk agama memaksakan ukuran kafir dari agamanya sendiri untuk menilai agama lain. Otomatis akan timbul sikap saling menegasikan satu sama lain yang bisa menjurus ke perpecahan. Ujung-ujungnya, perang saudara tinggal menemukan pematiknya.

Pemikir Islam dari Mesir, Fahmi Huwaydi pernah menyerukan istilah (kafir) dzimmi untuk segera ditinggalkan, karena sudah nggak kontekstual alias jadul. Selain itu, menurutnya konsep dzimmi bukan diciptakan oleh Islam tapi sudah ada dalam tradisi Arab pra-Islam.

Hal ini pulalah yang menyebabkan kekhalifahan Islam Turki Utsmani pada tahun 1876 juga sudah menghapuskan istilah dzimmi dan menggantinya dengan istilah muwathinun alias warga negara.

Jadi klop sudah, bahwa istilah kafir yang terutama menyasar pada kaum non-muslim memang seharusnya dilempar jauh-jauh dari konsepsi bernegara di Indonesia. Lha, negara ini kan dasarnya Pancasila, bukan agama, apalagi Islam. Dengan fakta ini, bukankah setiap WN sama kedudukannya di dalam bernegara?

Siapa sebenarnya yang berkepentingan terhadap konsep takfiri alias mengkafirkan orang lain yang bukan kelompoknya? Muhammad bin Abdul Wahab adalah pencetusnya pada medio abad ke-18, dengan gerakan Wahabi yang kemudian diusungnya sebagai gerakan pemurnian Islam.

Sejak itu ideologi wahabi bertransformasi ke banyak gerakan internasional, dua diantaranya: Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Sudah rahasia umum, jika 2 gerakan trans-nasional inilah yang menjadi pemicu gerakan Arab Spring di jazirah Arab. Siapa yang berkepentingan atas gerakan ini, kita sudah tahu bersama jawabannya.

Sadar akan gerakan yang bisa memicu civil war, maka berdasarkan kajian dan masukan, salah satunya dari ormas terbesar ummat Islam di Indonesia (yaitu: Nahdatul Ulama), maka Jokowi memutuskan untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia dan menyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

Berdasarkan rekam jejaknya, maka HTI selaku makelar khilafah sangat berkepentingan agar “Islam” bisa memimpin dalam setiap aspek kehidupan di masyarakat. Teknisnya, semua harus berbau Islam agar bisa kaffah. Dari lingkup terkecil, mereka mulai menebar pemahaman segalanya harus Islam.

Pilih ketua kelas, harus Islam. Pilih ketua RT, harus Islam. Bahkan pilih pemimpin, juga harus Islam. Sebenarnya ya sah-sah saja, kalo tanpa intimidasi baik verbal maupun fisik. Namun di lapangan, kelompok ini tak segan-segan mengkafir-kafirkan bahkan tindakan persekusi bukan saja kepada non-muslim, tapi juga sesama muslim yang tidak sepemahaman dengan mereka.

Belum lagi dalam kerangka kehidupan demokrasi, kalo misalnya ada calon pemimpin potensial, namun ternyata non-muslim, maka sudah bisa dipastikan akan gugur sebelum bertanding jika mengacu pada pemahaman kaum takfiri. Karena bukan Islam, maka haram hukumnya untuk memilihnya.

Lha, terus apa gunanya pemilihan umum kalo gitu, brayy?? Padahal di Indonesia kita tidak mengenal konsep WN kelas 2. Emangnya jaman kompeni, apa?

Resolusi yang dihasilkan pada forum tersebut, juga banyak menyasar modus gerakan yang kerap diusung HTI, diantaranya: Tidak boleh ada lembaga negara yang mengeluarkan fatwa kecuali MA, sebab Indonesia bukan darul fatwa. Sehingga tidak boleh ada satupun lembaga yang mengatas namakan dirinya sebagai mufti alias ulama yang bisa memberikan fatwa kepada ummat.

Dengan diambilnya kedua keputusan penting tersebut, maka langkah HTI praktis mati gaya. Padahal pola yang mereka biasa lakukan adalah mendorong untuk keluarnya fatwa, guna melegitimasi gerakan politik mereka. Kasus Ahok dan Tanjung Balai adalah contoh yang bisa dijadikan rujukan atas pola gerakan mereka.

Dengan adanya minimal 2 dari 5 resolusi yang dihasilkan pada forum diskusi ulama tersebut, maka kaum kampret langsung kejang-kejang. Coba lihat di sosmed, siapa yang merupakan antek-anteknya. Karena keputusan itu sebenarnya menyasar gerakan politis mereka dengan selalu berlindung pada upaya penyelamatan Islam yang kaffah.

Padahal salah satu jurus pamungkas kampret adalah dukungan ‘ulama’ dalam bentuk keluarnya fatwa guna melegalkan gerakan politik mereka. Kalo sudah begini, kampret bisa apa?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!