Saya punya teman dengan usaha barunya, bisnis online. Namun sudah 2 tahun berlangsung, dirasa-rasa kok bisnisnya nggak nambah besar, alias jalan ditempat. Kalo sudah begini, bisa dipastikan rugi bandar. “Pasti ada yang salah,” katanya bernada kesal kepadaku.
Sebagai teman, aku hanya bisa tersenyum simpul, sambil berkata kepadanya: “Bisnis online itu butuh jaringan. Apakah kamu sudah punya jaringan?” Dia-pun terperangah mendengar pertanyaanku.
Memang bisnis online sangat menjanjikan saat ini. Dengan satu kondisi, kita paham betul cara kerjanya. Yang dibutuhkan adalah jaringan, agar kelak bisnis kita bisa cepat membesar.
Dengan kata lain, kalo kerja sendirian tanpa disokong jaringan, sampai Jarjit kepalanya botak, jangan harap bisnisnya akan moncer.
Inilah yang sangat diperhatikan oleh para makelar khilafah yang bercokol di Indonesia. Seperti saya pernah ulas, mereka mengembangkan bisnis mandiri untuk menyokong kegiatan mereka biar tetap bisa eksis. Kenapa? Kalo ngandelin donatur dari luar lewat metode transfer, mana bisa lagi sejak ada PPATK?
Lantas, bagaimana cara mereka mengembangkannya?
Mereka mengembangkan bisnis mandiri secara legal. Jadi, secara kasat mata, apa yang mereka lakukan nggak ada yang salah. Cuma, kalo ditelisik lebih jauh, baru kita ketahui apa yang sebenarnya terjadi.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh kandidat Doktor dari Australian National University, yang bernama Sylvia Laksmi, para makelar khilafah ini menyasar 3 bisnis utama. Pertama agen perjalanan alias tours & travel. Kedua obat herbal, dan ketiga usaha elektronik.
Mari kita bahas, bagaimana cara kerjanya?
Pertama, agen perjalanan alias tours & travel. Kenapa begitu mereka tertarik mengembangkan bisnis ini?
Ada dua keuntungan yang bisa didapat.
Pertama mereka bisa dengan mudah menghimpun uang ummat lewat produk layanan semisal umroh dengan harga miring, yang sebelumnya di-endorse oleh penceramah mereka. “Ikutan umroh disini aja. Selain harga murah, insha Allah barokah,” begitu promosinya.
Kasus First Travel tempo hari adalah salah satu contoh yang paling gamblang. Alih-alih umroh dengan harga murah, yang terjadi malah uang ummat jadi terbang tak tentu rimbanya.
Selain itu, keuntungan lainnya adalah peluang untuk bisa menyeludupkan teroris ke negara yang akan disasar. Kasus biro perjalanan Rafiqa Travel milik Rafiqa Hanum istri Bahrun Naim adalah contohnya, yang diduga mengakibatkan serangan teror di Jakarta pada 2016 yang lalu.
Bisnis yang kedua adalah bisnis obat-obatan herbal.
Kenapa mereka tertarik mengembangkan bisnis ini? Obat herbal adalah produk yang relatif aman dalam kesehatan, karena kecil efek sampingnya. Selain itu harganya yang relatif murah, menjadikan pilihan yang sayang untuk dilewatkan.
“Coba tanya ke orang-orang Indonesia, apa yang akan mereka lakukan untuk bisa memiliki tubuh ramping tanpa harus keluar banyak duit? Obat pelangsing herbal, adalah solusinya” demikian ungkap temanku.
Jangan heran, bisnis obat herbal ini sangat banyak peminatnya di Indonesia. Dan para makelar khilafah melihat peluang ini baik lewat bisnis online maupun konvensional.
Bahkan saya mendapat info, kalo ada yang tiba-tiba kaya mendadak hanya dengan menjalankan bisnis obat herbal secara online. Omsetnya saja mencapai ratusan jeti sebulan.
Dan yang terakhir adalah bisnis barang-barang elektronik, semisal ponsel.
Kenapa mereka tertarik pada bisnis ini? Tak lain karena dalam meracik bahan peledak, ponsel merupakan pilihan utama yang jadi primadona. Tinggal tambah C4 dan beberapa jaringan kabel, bom bisa diaktivasi dari jarak jauh, dan bum…
Selain itu kan, orang Indonesia terkenal sebagai gadget maniac. Prinsipnya: lebih milih lapar daripada nggak bisa update status di media sosial.
Selain ketiga usaha tersebut, tentu ada bisnis lainnya yang mereka juga kembangkan sesuai kebutuhan.
“Baitul maal adalah contohnya, dimana mereka menggunakan layanan keuangan mikro Islami dengan menawarkan layanan keuangan kepada kaum dhuafah, selain mengumpulkan sumbangan dan memberikan pinjaman dengan bunga rendah kepada usaha kecil binaan mereka,” begitu ulas Sylvia.
Singkatnya, dalam bergerak mereka mengandalkan jaringan. Dan jaringan itu bisa dimobilisasi lewat rumah-rumah ibadah, yang biasanya dijadikan tempat untuk ajang silahturahmi, sekaligus mendorong agar bisnis-bisnis jaringan mereka bisa berkembang secara wow dalam waktu singkat.
Biasanya, seminggu sekali mereka mengadakan pertemuan rutin disana. Selain itu, bisnis online mereka juga sama modus gerakannya. Satu sama lain, wajib saling sokong. “Lebih baik bayar mahalan dikit tapi beli dari yang seiman, daripada beli sama kafir,” begitu slogannya.
Jangan heran kalo gerakan bisnis mandiri mereka, berkembang demikian pesatnya. Yah karena disokong oleh jaringan yang kuat pula. Dan ini legal alias sah dimata hukum yang berlaku di Indonesia.
Terus, masalahnya dimana?
Masalahnya adalah, margin keuntungan yang mereka dapat lewat bisnis, dipakai untuk ‘mendanai’ gerakan penegakkan khilafah yang mereka usung. Gerakan HTI salah satunya dan ISIS salah duanya. Dan gerakan kampret di jalanan dan dunia maya, salah tiganya.
Dengan modus pengembagan bisnis mandiri yang lumayan sukses, ditambah jaringan mereka di dalam pemerintahan, tentunya keuangan mereka bisa dibilang sangat mumpuni.
Singkatnya, dana yang selama ini adalah merupakan masalah utama dalam menggalang kekuatan massa, saat ini udah nggak berlaku lagi untuk mereka. Dengan dana besar mereka bisa buat apa saja. Apalagi sekedar menggoyang posisi tukang kayu yang selama ini jadi target utama mereka.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments