Ilusi Ketahanan Pangan
Oleh: Ndaru Anugerah – 19122023
Apa yang ada di kepala anda jika mendengar istilah ketahanan pangan?
Secara definitif, ketahanan pangan berarti kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, secara aman, merata dan dengan harga yang terjangkau. (https://www.bulog.co.id/beraspangan/ketahanan-pangan/)
Dengan kata lain, ketahanan pangan punya tujuan mulia, yakni menyediakan pangan bagi segenap warga negara, dengan merata dan harga yang terjangkau.
Sekarang saya tanya: apakah ketahanan pangan terpenuhi saat ini, meskipun jargon ini telah lama dikumandangkan di Planet Namek?
Anda lebih ahli dalam menjawab pertanyaan ini.
Bahkan klaim pak lurah Planet Namek yang punya cita-cita mewujudkan food estate (lumbung pangan), belakangan hancur lebur. Alih-alih mewujudkan ketahanan pangan, yang ada proyek ini dijadikan lahan korupsi berjamaah dengan nilai mencapai triliun-an rupiah. (https://bisnis.tempo.co/read/1685859/program-food-estate-dinilai-gagal-apa-itu-food-estate)
Kenapa bisa begitu?
Ya karena ketahanan pangan itu hanya jargon semata.
Mengapa saya concern akan hal ini?
Karena ke depannya, isu ini akan menjadi jargon yang terus dikumandangkan. Bahkan pada anak-anak di sekolah, isu ini akan terus dicekoki agar orang punya pemahaman yang sama akan konsep ketahanan pangan.
Kok bisa?
KTT iklim COP28 yang telah berakhir di Dubai telah menghasilkan 3 keputusan penting: pertanian berkelanjutan, sistem ketahanan pangan dan aksi iklim. (https://www.cop28.com/-/media/Project/COP28/files/COP28-UAE-Declaration-on-Sustainable-Agriculture-Resilient-Food-Systems-and-Climate-Action.pdf?rev=a18dddc84f3b439fb67732d2ec94aaab)
Secara mendasar, deklarasi menegaskan akan perlunya kita menyesuaikan sistem pangan dan pertanian yang selama ini kita pakai, agar bisa tahan terhadap dampak perubahan iklim yang bisa melenyapkan keanekaragaman hayati.
Saya sederhanakan bahasanya kalo anda kurang memahaminya: agar perubahan iklim tidak menyebabkan kita mati kelaparan, maka mau nggak mau kita harus mengubah pola makan kita.
Jadi ini bukan persuasif sifatnya, melainkan imperatif, dimana otoritas berwenang akan menerapkan aturan ini, supaya kita bisa bertahan hidup dari krisis pangan yang timbul akibat perubahan iklim.
Dan ini bukan lelucon, karena ini akan terjadi dalam waktu dekat,
Pada tataran teknis, kita bukan dipaksa mengurangi konsumsi daging dan susu bukan karena peternakan berkontribusi terhadap pemanasan global, tapi karena daging dan susunya mulai sedikit pasokannya di pasaran (akibat peternakan telah banyak yang ditutup).
Ke depannya, kita tetap punya kebebasan untuk memilih makanan yang akan kita santap. Hanya saja, pilihan kita menjadi terbatas karena makanan yang mendapatkan endorsement dari iklan hanyalah makanan ultra-proses yang dianggap ramah lingkungan dan berkelanjutan. (baca disini dan disini)
Sebaliknya, makanan yang tidak mendapat endorsement akan dikenakan pajak macam-macam yang berujung pada naiknya harga pangan tersebut, karena dinilai tidak berkelanjutan. Masih ingat dengan skenario pajak karbon? (baca disini)
Ini skenario yang paling mungkin diterapkan sebagai Deklarasi Dubai.
Selain itu, karena ini rencana jangka panjang, maka perlu kiranya agar skenario ini dipahami oleh anak usia sekolah. Caranya yang paling mudah adalah dengan menerapkan kurikulum pangan di sekolah-sekolah agar dapat menopang sistem pangan yang berkelanjutan.
Jadi, anak-anak akan dikasih tahu bahwa memakan daging adalah hal yang salah karena tidak ramah lingkungan. Sebaliknya, memakan makan ultra-proses dan juga serangga, adalah tujuan mulia demi menyelamatkan bumi dari bencana iklim.
Terdengar gila, tapi itu akan terjadi.
Lantas dimana peran pemerintah?
Sebagai otoritas berwenang yang bukan saja menerbitkan aturan main, tapi juga mengawasi jalannya aturan main yang telah dibuat.
Kurikulum pangan di sekolah, salah satunya.
Yang kedua, pemerintah akan menerbitkan panduan nasional tentang pola makan berkelanjutan. Tujuannya untuk mendorong masyarakat agar dapat mengonsumsi makan sehat ‘layak santap’. Dan ini nggak ada paksaan, yah.
Selain itu pemerintah juga akan memberi label pangan atas peringkat keberlanjutannya. Jika misalnya suatu makanan dinilai tidak ramah lingkungan, maka peringkat keberlanjutannya otomatis melorot. Akibatnya, harga pangan tersebut akan mahal.
Dan jika masyarakat tetap nekat membeli makanan yang peringkat keberlanjutannya rendah, maka sistem kredit sosial yang kelak diterapkan akan otomatis mengurangi angka kreditnya.
Dengan melakukan semua ini, maka diharapkan ketahanan pangan akan bisa diwujudkan.
Itu sebab, pemerintah ke depannya akan mendorong para petani dan peternak untuk tidak lagi menjalankan aktivitasnya. Sebagai kompensasinya, mereka akan dibayar alias diberikan insentif.
Tujuannya apalagi selain mendorong pola konsumsi pangan ‘serba buatan’ yang berkelanjutan.
Jadi, apa yang bisa disimpulkan dari jargon bernama ‘ketahanan pangan’?
Ini bukan seperti yang tampak dipermukaan. Bukan untuk mengarahkan orang untuk mengalihkan pola konsumsinya semata, melainkan untuk melarang orang untuk memakan apa yang tidak boleh di makan.
Pertanyaan penutup: akankah skenario ini bisa dihindarkan jika capres di Planet Namek mendatang adalah alumni Sekolah Davos?
Paling, dia hanya bilang: becandaa, becyaaandaaa…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments