Hoax: Apa itu?


507

Berita Bohong

Dalam sejarah, Donasi Konstantinus (The Donation of Constatine) yang dirilis pada 756 CE (285-337 A.D) oleh Kaisar Konstantinus, yang berisi pemberian kepemilikan gereja Katolik berupa tanah luas di kekaisaran Romawi Barat kepada dirinya. Selama berabad-abad, tulisan sejarah tersebut diklaim sebagai kebenaran sampai tahun 1440, ketika sarjana Lorenzo Valla menggunakan analisis tekstual untuk mengekspos penipuan yang dilakukan oleh Kaisar Konstantinus. Donasi Konstantinus praktis (mungkin) merupakan berita bohong pertama yang dicatat sejarah peradaban manusia.

Kata hoax (:baca hoks) berawal dari kata “hocus pocus” yang berasal dari bahasa latin “hoc est corpus”. Kata ini awalnya digunakan oleh para penyihir/pesulap untuk mengklaim kebenaran semu, padahal sebenarnya mereka sedang berdusta. Kata hocus pertama digunakan sebagai mantra sihir oleh Thomas Aldy dalam bukunya candle in the dark (1656). Selanjutnya istilah hoax digunakan untuk menyatakan berita palsu ataupun kebohongan. Pada prisipnya, hoax diciptakan untuk menipu banyak orang dengan cara merekayasa sebuah berita agar terkesan menjadi sebuah kebenaran. Chaotic situation adalah tujuan akhirnya.

Akhir-akhir ini, kita kerap mendengar istilah hoax pada social media, karena peredarannya memang lebih gampang pada jalur ini. Gimana tidak? Kita tinggal mengklik tautan yang tersedia, dengan bahasa provokatif yang ada, kita dengan mudahnya terpancing emosinya. Eh, inipun belum cukup. Ada pesan sponsor: Sebarkan!! Percaya apa nggak, orang yang kadar intelektualnya rendah pasti langsung men-share berita bohong tersebut. Seharusnya, mekanismenya adalah check and re-check dalam menerima berita, apa betul atau tidak, atau hanya sekedar sensasi dan sarat provokasi?

Belakangan ini, pemerintah (:baca pemerintahan Jokowi), cukup disibukkan dengan hoax ini. Pakde yang seharusnya mampu membangun infrastruktur dan urusan penting lainnya, terpaksa meng-counter gerakan hoax berjamaah, yang berarti ada target pembangunan yang terbengkalai karena ulah hoax tersebut. Menurut analisa saya, hoax ini sarat muatan politik, karena tujuan utamanya menggoyang pemerintah yang sah. Dan terlebih lagi, ini dilakukan secara masif dan terencana, mengindikasikan adanya proyek “operasi senyap” dalam penyebaran hoax tersebut. Apalagi dengan menggunakan sentimen agama dalam penyebarannya. Seolah pemerintah sudah mendzolimi kelompok mayoritas. Saya kok tidak sependapat dengan statement seseorang pakar yang menyatakan bahwa “Pemerintah adalah sumber hoax yang utama dalam suatu negara”. Pertanyaannya: kalo pemerintah merupakan sumber hoax, tujuannya apa? Bukankah hoax bertujuan untuk menabur rasa kebencian dan situasi instabilitas pada pemerintahan? Mungkinkah pemerintah menabur hoax untuk membuat instabilitas politik yang dapat berujung pada jatuhnya pemerintahan juga. Dengan kata lain: statement tersebut tidak logis adanya.

Saya pikir, biarlah pemerintahan pakde berjalan tanpa diganggu. Toh dia terpilih secara demokratis. Kalo ada yang tidak sreg terhadap kebijakan beliau, sampaikan secara santun, bukan dengan pemaksaan kehendak melalui pengerahan massa yang beritikad makar. So far, pakde sudah berupaya optimal untuk kemajuan bangsa ini. At least, beliau bukan pemimpin yang suka menumpuk pundi-pundi dari hasil korupsi dan tidak juga menggagas politik dinasti bagi kepentingan diri dan kelompoknya.

Salam Demokrasi!!

* penulis adalah mantan aktivis 98 GEMA IPB.


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!