Hegemoni Para Bankir (*Bagian 1)


526

Hegemoni Para Bankir (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 18062024

Bagaimana uang diciptakan?

Secara teknis, uang diciptakan melalui proses pinjaman. Uang nggak akan pernah ada sampai nasabah setuju untuk menanggung utang yang diberikan oleh para bankir. Setelah itu para bankir tinggal ketik angka-angka ke dalam komputer dan memperbaharui saldo akun pinjaman. Dan secara ajaib, uang ada disana. (baca disini)

Berdasarkan faktanya, uang yang dipinjamkan hanya ada dalam sistem keuangan digital para bankir. Nggak ada ceritanya seseorang ataupun negara yang berhutang dalam jumlah besar, langsung diberi uang secara fisik oleh para bankir, kan?

Parahnya lagi, setidaknya 97% dari semua uang yang ada di dunia (yang dikenal sebagai uang fiat), diciptakan dengan cara ini. Dan yakinlah bahwa informasi ini nggak pernah anda dapatkan pada bangku kuliah. (https://positivemoney.org/videos/introduction/)

Lalu siapa para bankir sesungguhnya?

Mereka bukanlah teller ataupun manajer sebuah bank. Itu hanya pekerja ‘recehan’.

Para bankir adalah pemilik manfaat dan pemegang saham utama dari bank tersebut. Secara khusus para bankir adalah pemilik bank sentral yang bersifat private alias swasta. Para bankir merupakan inti dari kartel Ndoro besar yang menjalankan skema ponzi pada keuangan global.

Ini bukan isapan jempol.

Berbicara kepada publik, mantan gubernur Bank of England, Mervyn King di tahun 2012 mengatakan, “Ketika bank memberikan pinjaman kepada para nasabahnya, mereka otomtais menciptakan uang dengan mengkreditkan uang ke rekening nasabah mereka.” (https://www.bankofengland.co.uk/-/media/boe/files/speech/2012/mervyn-king-speech-to-the-south-wales-chamber-of-commerce.pdf)

Harusnya, mekanisme penciptaan uang merupakan otoritas milik pemerintah. Jadi pemerintah kasih instruksi ke bankir, baru mereka dapat mencetaknya. Pengendalian kebijakan moneter, istilah-nya. Tujuannya membatasi jumlah uang yang diciptakan para bankir ketika mereka memberikan pinjaman kepada nasabah.

Tapi mekanisme ini kan nggak berlaku sebagaimana adanya. Nyatanya para bankir bertindak otonom dan nggak mengindahkan kebijakan moneter yang diatur pemerintah. Malah praktik penggandaan uang yang akhirnya tercipta. (http://positivemoney.org/how-money-works/banking-101-video-course/whats-wrong-with-the-money-multiplier-model-banking-101-part-2/)

Lalu dimana posisi bank komersial lainnya?

Saat bank sentral memodalkan bank komersial, para bankir nggak kasih uang tunai yang dibawa dengan mobil lapis baja, untuk dimasukan ke brankas. Nggak gitu mekanisme-nya.

Para bankir hanya menambah cadangan bank sentral atas bank komersial tersebut dengan sejumlah uang yang ditentukan. Dan itu hanya angka-angka digital dalam sistem komputer yang mereka pakai. Yang terpenting, bank-bank komersial cukup mematuhi aturan main yang telah ditetapkan.

Dengan mekanisme penggandaan uang, bank komersial menahan persentase cadangan dan meminjamkan sisanya kepada nasabah. Melalui cara ini, maka bank komersial menciptakan utang dan uang tambahan secara bersamaan.

Seharusnya mekanisme ini dikendalikan oleh bank sentral lewat aturan main yang telah ditentukan. Sayangnya, pengendalian bank sentral pada bank-bank komersial nggak berjalan sesuai skenario. Entah ini sengaja atau tidak, tapi begitu yang terjadi.

Pada praktiknya, bank komersial kerap kali tidak menunggu simpanan nasabah dilunasi. Mereka hanya berasumsi bahwa simpanan nasabah akan dibayar. Toh ujung-ujungnya akan dibayar juga, meskipun belum dibayar atau nasabah nggak mampu membayarnya.

Kasus Lehman Brothers dengan jelas mengilustrasikan hal ini. (baca disini)

Masalah lainnya, banyak bank sentral yang tidak menetapkan cadangan sama sekali. Walhasil, tidak ada persyaratan bagi bank untuk mempertahankan jumlah likuiditas minimum atas uang negara sebagai rasio terhadap total pinjaman. Padahal ini diatur dalam Basel Capital Accords. (https://en.wikipedia.org/wiki/Basel_Accords)

Yang terjadi kemudian, jumlah uang beredar di pasaran, menjadi tidak terkendali jumlahnya.

Di saat yang sama, para investor tidak menyia-nyiakan kesempatan atas uang jumbo yang beredar di pasaran. Bank-bank komersial mengambil alih hipotek dan menggabungkannya sebagai sekuritas berbasis hipotek. Akhirnya tercipta jenis produk keuangan baru yang disebut derivatif. (https://financial-dictionary.thefreedictionary.com/derivatives)

Kemudian bank-bank komersial menjual derivatif ini. Dengan melakukan hal tersebut, bank akan menghapus ‘kewajiban’ hipotek dari rekening mereka dan ke rekening pembeli derivatif. Hal ini akan memberikan tambahan likuiditas bagi bank-bank komersial, karena kewajiban mereka turun dibandingkan dengan jumlah aset yang mereka miliki.

Dengan menciptakan banyak utang, otomatis akan meningkatkan jumlah uang yang beredar.

Semestinya, pinjaman diberikan oleh bank-bank komersial kepada nasabah yang mampu untuk membayarnya. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Utang malahan diberikan kepada pihak yang paling riskan alias nggak mampu untuk membayarnya, yang berpotensi untuk memicu kredit macet.

Diktumnya: yang penting bisa dapat banyak cuan, tidak peduli orangnya bisa bayar atau nggak.

Sialnya, investor cukup jeli melihat kondisi pasar, bahwa sekuritas bank yang didukung hipotek nilainya jauh lebih rendah daripada yang dikatakan bank kepada mereka. Bank memberikan hipotek tapi nggak melihat kemampuan seseorang untuk membayarnya kembali.

Singkatnya, bank telah menipu investor. Wajar jika kepercayaan investor kepada bank-bank komersial anjlok. Ini berakibat pada penarikan uang secara besar-besaran milik mereka di bank komersial.

Orang gila mana yang mau menaruh uangnya di bank yang menjalankan aksi spekulatif yang berpotensi pada kredit macet?

Karena di-rush oleh para investor, maka bank komersial-pun kolaps dan menciptakan krisis keuangan di suatu negara.

Nggak berlebihan jika mantan Menteri Keuangan Inggris, George Osborne pernah mengatakan, “Terakhir kali negara menghadapi guncangan ekonomi, maka bank-bank komersial-lah yang sebenarnya menjadi pusat permasalahannya.” (https://www.gov.uk/government/speeches/statement-from-the-chancellor-and-main-british-banks-and-building-society-on-maintaining-support-for-households-and-businesses)

Setidaknya begitulah bagaimana siklus krisis keuangan dapat terjadi. Dan ajaibnya, saat bank sentral memberikan dana talangan (bailout) untuk mengatasi krisis tersebut, hanya beberapa pihak yang menerima bantuan tersebut sesuai dengan ‘keinginan’ bank sentral.

Apakah pemerintah punya kuasa untuk menghentikannya? Kan nggak.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!