Ekonomi Akan Membaik?


514

Ekonomi Akan Membaik?

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana prospek ekonomi di tahun 2022?

Menurut RI-1, ekonomi di Indonesia akan bangkit dan melesat tinggi di tahun mendatang, asal kasus Kopit tidak mengalami lonjakan.

“Kalo pengendaliannya masih seperti ini, di 2022 proses kebangkitan ekonomi akan kelihatan,” demikian ungkapnya. (https://www.idxchannel.com/economics/covid-terkendali-jokowi-yakin-ekonomi-ri-melesat-di-2022)

Jadi ekonomi akan melesat, jika dan hanya jika penanganan Kopit sebaik tahun 2021 yang berhasil menekan jumlah kasus dan membuka pelonggaran-pelonggaran.

Pertanyaannya: apa iya?

Saya pernah bahas, bahwa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) adalah skenario yang tidak bisa dihindari di tahun mendatang. Penyebabnya harga batu bara (sebagai bahan baku utama pada PLTU) yang terkerek naik. (baca disini)

Bukan itu saja, efek dari kenaikan batu bara juga akan memicu naiknya harga semen yang selama ini dipakai sebagai bahan baku pada pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Singkatnya, harga semen naik, maka otomatis nilai proyek makin membengkak.

Dari sini saja, akal sehat kita bisa menalar, apakah kenaikan TDL dan semen nggak akan membawa imbas pada kenaikan harga produk lainnya? Apakah ada industri ataupun rumah tangga yang nggak membutuhkan listrik?

Cerita ‘baiknya’ nggak berhenti sampai disini.

Coba perhatikan, berapa harga Pertalite yang memiliki RON 90 tersebut saat ini? Menurut data harganya Rp. 7.650 per liter.

Harga ini terbilang murah, mengingat harga kekinian produk sejenis mencapai Rp. 11.000 per liter. Ada selisih harga 3.350 per liternya disana. (https://www.motorplus-online.com/read/252968107/harga-bensin-pertalite-aslinya-jauh-lebih-mahal-pertamina-bakal-naikkan-harga?page=all)

Kasus yang sama berlaku pada Pertamax yang punya RON 92. Harganya saat ini yang hanya Rp. 9.000 per liter, jelas lebih murah ketimbang harga Shell Super yang mencapai angka Rp. 12.860 per liternya. Ada selisih harga sekitar Rp. 3.860 per liter di sana. (https://ekonomi.bisnis.com/read/20211203/44/1473476/bbm-shell-naik-lagi-ini-selisih-harganya-dengan-bbm-yang-dijual-pertamina)

Kenapa harganya bisa beda jauh?

Penyebabnya karena harga minyak dunia yang merangsek naik ke angka USD 70 per barel di tahun ini. Ini jelas peningkatan yang signifikan, mengingat harga minyak di tahun 2020 hanya berkisar di angka USD 40 per barel-nya. (https://www.macrotrends.net/2516/wti-crude-oil-prices-10-year-daily-chart)

Dengan harga yang baru, menjadi logis jika harga bensin mengalami lonjakan, karena disesuaikan dengan harga di pasaran.

Di sisi yang lain, Pertamina mengalami posisi yang dilematis akibat harga bensin yang harusnya naik mengikuti market price, terpaksa ditahan akibat adanya ‘intervensi’ pemerintah.

Aliasnya, tingginya harga minyak dunia saat ini memberikan tekanan yang besar atas beban pokok produksi BBM sekaligus menggerus keuntungan yang seharusnya bisa didapat perusahaan.

Kesulitan ini, cepat atau lambat akan mendorong Pertamina untuk melobi pemerintah guna menyesuaikan harga bensin di pasaran, demi menyelamatkan keuangan perusahaan.

Siapa juga yang terus-terusan mau babak belur menalangi kerugian yang didapat perusahaan akibat beban produksi selain terpaksa ‘melepas’ keuntungan yang seharusnya bisa diraih akibat adanya ‘campur tangan’ pemerintah?

Skenario belum lengkap tanpa adanya rencana penerapan pajak karbon yang akan diterapkan mulai tahun depan.

Maksudnya gimana?

Perlu anda tahu, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbon yang dihasilkannya. Kebijakan ini telah lama diterapkan sebagai turunan dari konsepsi yang dilontarkan David Gordon di tahun 1973 silam untuk antisipasi global warming. (https://www.bostonglobe.com/ideas/2014/08/09/the-unsung-inventor-carbon-tax/f1xFyWmaXf2XzW3nVxrNJK/story.html)

Untuk di Indonesia, secara teknis akan ada pajak yang diberikan sebesar Rp. 75 per kilogram CO2 ekuivalen (CO2e) yang dihasilkan. (https://www.gaikindo.or.id/harga-bbm-dan-listrik-bisa-naik-akibat-pajak-karbon-tahun-2022/)

Konsekuensi logisnya, akan ada kenaikan harga beberapa komoditas yang berbahan bakar fosil, seperti BBM dan juga listrik yang sebagian besar bersumber pada gas dan batu bara.

Asal tahu saja, bahwa energi nasional saat ini, sekitar 85-90% total produksinya berdasarkan bahan bakar fosil. (https://tirto.id/energi-fosil-sumbang-85-listrik-ri-per-mei-2020-terbanyak-pltu-fU1K)

Dan jika pajak karbon diterapkan, otomatis harga jual listrik akan meningkat karena aturan tersebut.

Masalahnya, kenaikan ini akan dibebankan langsung kepada masyarakat dan swasta, atau justru akan ditalangi oleh pemerintah dengan pemberian subsidi?

Melihat gelagatnya, pemberian subsidi jelas bukan opsi yang akan diambil mengingat keuangan negara tengah babak belur. Kalo untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga Bretton Woods yang alergi terhadap program subsidi, itu juga mustahil untuk dilakukan.

Yang paling mungkin, rakyat lagi yang akan kena imbasnya.

Jika diringkas, akan ada efek ganda di tahun depan. Pertama kenaikan TDL dan juga kenaikan BBM. Apakah ini nggak akan menyulut kenaikan harga-harga komoditas lainnya?

Apakah kenaikan harga nggak akan mendegradasi tingkat konsumsi masyarakat yang pada gilirannya akan memperburuk kondisi ekonomi?

Lalu, bagaimana bisa yakin bahwa pertumbuhan kasus Kopit akan setara dengan tahun ini, jika hadirnya varian baru Kopit terus mengintai? Bukankah rumusnya: laju pengujian dan pelacakan akan meningkat seiring munculnya varian baru? Apakah penambahan tes nggak berimbas pada makin banyaknya jumlah kasus Kopit? (baca disini dan disini)

Silakan anda renungkan. Apakah ekonomi di tahun depan akan membaik?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!