Bersiap Untuk Guncangan Pertama


524

Bersiap Untuk Guncangan Pertama

Oleh: Ndaru Anugerah

Kenaikan harga batu bara apa nggak punya imbas buat Indonesia?

Ini pertanyaan retorik, karena kemarin (16/11) pemerintah bakal menerapkan kebijakan pasokan batu bara untuk pasar domestik alias Domestic Market Obligation, guna mengamankan pasokan dalam negeri.

Ini dilakukan karena bayu bara digunakan sebagai bahan bakar bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). (https://www.cnbcindonesia.com/news/20211116120721-4-291892/dmo-batu-bara-dicabut-siap-siap-tarif-listrik-bisa-naik)

Secara teknis, harga DMO batu bara untuk PLTU bakal dipatok USD 70 per ton, sedangkan untuk pabrik semen dan pupuk ditetapkan sebesar USD 90 per ton. Secara khusus, harga batu bara untuk pabrik semen bakal berlaku pada 1 November mendatang hingga 31 Maret 2022.

Asumsinya, harga kembali normal pada April nanti, makanya sengaja harga dibuat tentatif.

Apa iya kondisi akan membaik ke depannya?

Yang kedua apakah perusahaan batu bara akan mau menjual barangnya ke PLN sebagai penyedia listrik di Indonesia, mengingat ada disparitas harga yang ‘aduhai’ untuk dilewatkan?

Harga batu bara di pasaran, mencapai USD 180 per ton. Sementara kalo dijual ke PLN dengan skema DMO, harganya cuma USD 70 per ton. Ada selisih sekitar USD 130 per ton-nya. Dengan selisih harga demikian besar, perusahaan mana yang nggak mau ambil keuntungan? (https://itmg.co.id/cfind/source/files/press-release/2021/final_press-release-9m21.pdf)

Masalah makin kusut dengan kenaikan harga batu bara pada pabrik semen dan pupuk. Akibatnya bisa ditebak, harga output-nya bakal melonjak. Kalo semen mungkin berimbas pada pembangunan infrastruktur. Nah kalo pupuk, apa nggak berimbas pada ketersediaan pangan.

Soal pupuk yang bakal naik ditambah kelangkaan yang ada di pasaran, ini saya sudah bahas pada 2 tulisan seri sebelumnya. (baca disini dan disini)

Apakah masalah bakal berhenti sampai disitu? Tentu tidak Rudolfo.

Direktur PLN sendiri, merasa yakin kalo produsen batu bara akan memenuhi komitmen DMO bagi penyediaan batu bara. Setidaknya sampai akhir tahun yang tinggal menghitung jari. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20211116082641-4-291790/pln-haqqul-yakin-dmo-batu-bara-mulus-hingga-akhir-tahun)

Masalahnya, pasokan batu bara nggak hanya sampai akhir tahun. Berikutnya gimana?

Apalagi Indonesia yang paling getol bersuara pada COP26 di Glasgow silam untuk menghapus penggunaan batu bara secepatnya. (https://www.reuters.com/business/cop/cop26-coal-deals-take-aim-dirtiest-fossil-fuel-2021-11-03/)

Bisa dipastikan, ke depannya persediaan batu bara akan makin susah. Ini akan memicu sentimen pasar, dimana ada kelangkaan, harga pasti terkerek naik.

Dengan harga yang makin melambung tinggi, maka skema DMO akan tinggal kenangan.

Yang bisa dilakukan adalah memberikan subsidi dan kompensasi, agar PLN tetap dapat pasokan batu bara dari produsen. Jika skema ini dilakukan, maka beban negara makin berat, mengingat ada disparitas harga sekitar USD 130 per ton-nya.

Berapa ratus triliun rupiah yang akan digelontorkan untuk subsidi dan kompensasi? Dananya dari mana? Kalopun utang, lembaga Bretton Woods selaku pemberi utang paling alergi kalo bicara soal pemberian subsidi kepada rakyat misqueen.

Pusing, kan?

Nah kalo skema DMO dilepas, maka efek domino berupa kenaikan harga-harga (karena tarif listrik naik) menjadi hal yang tak terelakan. Ini yang paling mungkin terjadi ke depannya.

Tapi nggak apa-apa juga. Lha wong kata pak Lurah, “Ekonomi kini tengah meroket.” Jadi kalo ada kenaikan harga, Masbuloh? (baca disini)

Sebagai analis saya hanya bisa mengingatkan: bersiaplah untuk guncangan pertama.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!