Dr. Kauffman Tidak Sendirian
Oleh: Ndaru Anugerah
Masih ingat Dr. Kauffman, kan? Benar sekali. Ilmuwan yang sempat menggemparkan kolong jagat akibat penyataannya yang menyatakan bahwa yang selama ini diklaim oleh banyak ilmuwan dunia sebagai virus Corona, nyatanya hanya exosome. (baca disini)
Ternyata Dr. Kauffman nggak sendirian. Ada ilmuwan dibelahan dunia lain yang punya pendapat serupa. Namanya Dr. Stoian Alexov selaku Presiden Bulgarian Pathology Association (BPA).
“Tidak mungkin membuat vaksin melawan Corona, karena para ahli patologi Eropa belum mengidentifikasikan (menemukan) antibodi yang spesifik untuk SARS-CoV-2,” begitu ungkapnya.
Pernyataan itu jelas membuat tanda tanya besar, mengingat banyak pihak yang telah mengklaim berhasil menemukan vaksin si Kopit dengan mengajukan banyak uji coba klinis. “Lha vaksin-nya untuk apa, kalo identifikasi antibodi terhadap si Kopit belum dilakukan/ditemukan?”
Gimana ceritanya kok bisa Dr. Alexov mengutarakan hal tersebut?
Pada sebuah webinar yang digelar oleh ESP (European Society of Pathology) tentang C19 (8/5), Dr. Alexov mengutarakan pendapatnya ketika ditanya oleh Dr. Stoycho Katsarov selaku pewawancara. (https://bpa-pathology.com/esp-webinar-video-recordings-covid-19-unprecedented-daily-challenges-in-pathology-departments-across-europe-2/)
Videonya tentu berbahasa Bulgaria. (https://bpa-pathology.com/horata-umirat-s-a-ne-ot-koronavirus/)
Tapi kalo anda ingin tahu transkrip video tersebut dalam bahasa Inggris, saya sertakan link-nya agar anda bisa membacanya. (https://off-guardian.org/wp-content/medialibrary/Transcription-of-translation-of-videointerview-of-Dr-Alexov-Rosemary-Frei.rtf)
Lalu apa pernyataan kontroversial Dr. Alexov tersebut?
Menurut patolog yang cukup disegani seantero Eropa tersebut, “TIDAK ADA ANTIBODI KHUSUS YANG DITEMUKAN PADA VIRUS CORONA JENIS BARU.”
Seperti yang kita ketahui bersama, saat tubuh menghadapi patogen yang masuk, tubuh secara otomatis membentuk antibodi khusus sebagai basis pertahanannya. (https://www.britannica.com/science/antibody)
Antibodi spesifik tersebut dikenal sebagai ANTIBODI MONOKLONAL yang terbentuk melalui proses imunohistokimia. (https://www.prosci-inc.com/resources/antibody-development-guide/what-is-immunohistochemistry/)
Setelah memberikan cukup waktu bagi antibodi untuk mengikat patogen yang spesifik tersebut, seorang ahli patologi akan bisa melihat slide dibawah mikroskop, tempat spesifik dimana antibodi yang telah berhasil mengikat patogen, ditemukan.
Masalahnya, ANTIBODI MONOKLONAL TIDAK DITEMUKAN pada si Kopit. Artinya ahli patologi tidak bisa memverifikasi apakah si Kopit ada dalam tubuh atau nggak. “Jangan-jangan yang menyebabkan kematian selama ini bukan di Kopit, melainkan virus lain,” begitu kurleb-nya.
Ini jelas fatal. Kenapa? Antibodi yang ditemukan, seyogyanya merupakan dasar bagi bagi perangkat uji serologi yang banyak dipakai di seluruh dunia saat ini. (https://www.fda.gov/medical-devices/emergency-situations-medical-devices/eua-authorized-serology-test-performance)
Nggak aneh kalo hasil pengujian dengan perangkat RT-PCR, bukan saja tidak akurat, tapi ngawur. (https://www.independent.co.uk/news/uk/home-news/coronavirus-test-antibody-kit-uk-china-nhs-matt-hancock-a9449816.html)
Ini karena salah deteksi virus, yang berakibat pada salahnya alat ukur yang dipakai.
Bukan itu saja. Vaksin si Kopit yang saat ini telah banyak dikembangkan, memicu tanda tanya besar. “Vaksinnya buat melawan virus apa?” (https://investor.lilly.com/news-releases/news-release-details/lilly-begins-worlds-first-study-potential-covid-19-antibody) (https://directorsblog.nih.gov/2020/05/21/enlisting-monoclonal-antibodies-in-the-fight-against-covid-19/)
Padahal BG telah menyatakan bahwa vaksin si Kopit akan dipakai secara luas sebagai senjata untuk mengakhir pandemi C19, dalam bentuk sertifikat digital. (https://off-guardian.org/2020/04/04/did-bill-gates-just-reveal-the-reason-behind-the-lock-downs/)
Selaku ilmuwan, Dr. Alexov nggak berdiri sendirian. Dr. Klaus Puschel juga menyatakan, “C19 bukan penyakit yang mematikan. Dalam kebanyakan kasus, C19 merupakan infeksi virus biasa, yang (sama sekali) TIDAK BERBAHAYA. (https://www.mopo.de/hamburg/rechtsmediziner–ohne-vorerkrankung-ist-in-hamburg-an-covid-19-noch-keiner-gestorben–36508928)
“Infeksi Corona TIDAK BERKAITAN DENGAN BANYAKNYA KEMATIAN, mengingat adanya faktor lain yang justru memicu kematian, seperti: pendarahan otak atau serangan jantung. C19 hanya memicu ketakutan saja pada masyarakat.” (https://www.abendblatt.de/hamburg/article228828787/rechtsmedizin-pueschel-hamburg-corona-virus-infektion-covid-19-coronavirus-krise-patienten-krankenhaeuser-kliniken-infektionsrate-krankheit-pandemie-test-lungenkrankheit-sars-cov-epidemie-sars-cov-2.html)
Yang paling menohok adalah pernyataan dari Torsten Engelbrecht dan Konstantin Demeter (27/6), “Keberadaan RNA SARS-CoV-2 didasarkan pada IMAN dan BUKAN FAKTA, mengingat tidak ada bukti ilmiah bahwa urutan RNA virus tersebut adalah agen penyebab C19.” (https://off-guardian.org/2020/06/27/covid19-pcr-tests-are-scientifically-meaningless/)
Dr. Alexov menekankan, “Otopsi yang dilakukan di Jerman, Itali, Spanyol, Prancis dan Swedia (sebelum WHO melarangnya), TIDAK MENUNJUKKAN BAHWA ‘VIRUS YANG DITEMUKAN TERSEBUT’ MEMATIKAN. Jadi sebenarnya, tidak ada yang meninggal dikarenakan Corona.”
Dan karena ketidakmampuan untuk mengidentifikasi antibodi monoklonal si Kopit, maka tidak ada dasar untuk mengembangkan vaksin dan juga pengujian serologis.
Kenapa? Lha wong virus-nya aja nggak ada. Ngapain diuji apalagi dibuat vaksin, Bray?
Namun di lapangan terjadi represi yang dilakukan oleh WHO secara masif, sebagai kepanjangan elite global. Pertama WHO melarang untuk melakukan autopsi terhadap orang yang meniggal akibat C19. Dan kedua, WHO mendikte bahwa setiap orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 dan kemudian meninggal, maka penyebab kematian HARUS DIKAITKAN dengan C19. Nggak aneh kalo kematian akibat di Kopit terus meroket. (https://www.who.int/classifications/icd/Guidelines_Cause_of_Death_COVID-19-20200420-EN.pdf?ua=1)
Ironis. Bukankah otopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi atau menyangkal teori tentang penyebab kematian, termasuk yang ‘katanya’ disebabkan oleh si Kopit? Kenapa dilarang untuk dilakukan oleh WHO?
Jelas aja. Bila otopsi dilakukan dan diketahui bahwa bukan si Kopit yang menyebabkan kematian banyak orang selama ini, apa nggak geger dunia persilatan?
Setidaknya pernyataan Dr. Alexov mencoba menguatkan pendapat yang telah diungkapkan Dr. Kauffman sebelumnya, bahwa pandemi si Kopit nggak lain adalah pandemi abal-abal.
Semoga akan tambah banyak ilmuwan dunia yang berani berbicara kebenaran tentang si Kopit.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments