Apa yang menyebabkan penanganan kasus terorisme menjadi mandul? Karena upaya preventif yang dilakukan pemerintah, belum menyentuh akar masalah. Hanya sebatas kulit, bukan esensinya. Ironis. Padahal yang dibutuhkan sebenarnya adalah mematikan akar masalahnya.
Lalu apa akar masalah sesungguhnya?
Penceramah selaku pion di lapangan yang selama ini kerap menyebarkan ujaran kebencian baik itu di majlis taklim maupun di tempat-tempat ibadah, masih bebas melenggang menjalankan aksinya. Itulah akar masalahnya.
Dan pemerintah gamang dalam mengambil sikap. Isi khotbahnya ajakan kudeta. Begitu diciduk, langsung teriak HAM. Mau main keras lebih keras, segera LSM-LSM ataupun SJW satu koor dalam berteriak: “pemerintah melanggar HAM.”
Akibatnya sungguh dahsyat. Perlahan namun pasti kebencian demi kebencian menemukan ladangnya. Jangan heran, kasus istri-istri prajurit yang berani berkomentar kasar terhadap pemerintah yang sah, seolah gelap mata dalam menjalankan aksinya.
Karena apa? Mereka meyakini bahwa tindakan yang mereka lakukan tak lain adalah amaliah alias jihad via medsos. Dari mana mereka mendapatkan keyakinan seperti itu? Yah dari penceramah-penceramah yang kerap mereka dengar dalam keseharian mereka.
Singkatnya, tanpa ada penindakan disisi ini, akan mustahil memberantas akar masalah terorisme (dan radikalisme) di Indonesia.
Padahal, dalam memberantas terorisme (dan radikalisme) yang terjadi di negara lain, mayoritas melibatkan tentara, bukan polisi. Kok bisa? Karena terorisme (dan radikalisme) merupakan extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa, yang bisa mengancam keutuhan suatu negara.
Ada term yang selama ini sengaja disembunyikan dari kitab bernegara kita, yaitu Nation Rights. Dalam praktiknya, nation rights alias hak suatu bangsa lebih tinggi kedudukannya dari sekedar human rights. Dengan pendekatan inilah, kasus terorisme (dan radikalisme) bisa ditangani secara benar.
Karenanya, terorisme dan turunannya merupakan pelanggaran terhadap nation rights suatu negara. Penanganannya harus menggunakan state affair alias tentara, bukan lagi public affair (kepolisian). Siapapun bisa diambil tindakan tegas, jika mengancam negara karena ada pembenaran disana.
Lucunya, di Indonesia penanganan kasus terorisme (dan radikalisme) justru masuk ranah pidana bukan dianggap kejahatan luar biasa. Dan kalo sudah menyangkut pidana, maka diperlukan dua alat bukti sebelum menciduk sang pelaku. Pro justitia istilahnya. Ya HAM lagi bicaranya.
Kalo sudah bicara HAM, kelar urusannya. Karena apa? Banyak LSM dan SJW yang sudah mabuk kepayang atas konsepsi HAM tersebut. Bagi mereka HAM adalah segalanya. Bahkan lebih tinggi kedudukannya dari nation rights. Entah darimana teorinya?
Pertanyaan besarnya, siapa yang berkepentingan atas konsesi HAM membahana di seluruh dunia? Yah mamarika, jawabannya.
Sejarawan bernama James Peck, dalam bukunya: Ideal Illusions – How the US Government Co-opted Human Rights, mengungkapkan bahwa sejatinya sejak 1970an AS mulai menjadikan HAM sebagai senjata ideologis dalam rangka memperluas pengaruhnya di seluruh dunia.
Sejak 1976, Deplu AS mengeluarkan laporan tahunan secara rinci tentang pelanggaran HAM yang terjadi di seluruh dunia. Sebanyak 194 negara dicatat dengan rinci ikhwal pelanggaran HAM nya, kecuali AS tentunya. Apa iya AS adalah satu-satunya negara di planet ini yang bebas catatan pelanggaran HAM-nya?
Dari mana mereka mendapatkan data tentang pelanggaran HAM tersebut? Ya dari LSM-LSM dibanyak belahan dunia yang telah mendapat suntikan dana dari mereka. Pernah dengar USAID, NED atau NDI, kan? Merekalah penyalur utama dana bagi para LSM tersebut.
Milyaran dollar digelontorkan tiap tahunnya. Siapa dibelakangnya, kita sudah tahu bersama. (baca disini)
Secara teknis, negara-negara yang nggak mau dicekoki paham HAM ala mereka, maka akan dicap anti HAM dan otomatis nggak demokratis. Kalo sudah gini, maka rejim yang berkuasa sah-sah saja untuk ditumbangkan, karena nggak demokratis dan melanggar HAM.
Coba lihat pengalaman kudeta yang terjadi di Irak dan Libya. Apa senjata pamungkasnya dalam menumbangkan rejim berkuasa disana selain senjata HAM. Cuma kedoknya dibuat manis, alih-alih humanitarian intervention lewat badan dunia bernama PBB. Itu modusnya.
Apa mamarika akan bersikap yang sama terhadap Arab Saudi dan Bahrain, misalnya? Nggak akan. Karena apa? Kedua negara tersebut merupakan rejim boneka AS.
Atau kalo kritis sedikit, pernahkah rejim Soeharto saat orde baru pertama berkuasa, coba untuk dilengserkan lewat kasus HAM? Kan nggak. Ngapain juga rejim boneka dilengserkan? Padahal banyak pelanggaran HAM yang telah dibuat oleh penguasa orba tersebut dari mulai kasus 1965 hingga kasus penculikan mahasiswa.
Terus kemana para pegiat HAM dan SJW saat itu? Kok nggak kencang berteriak seperti saat ini? Yah karena mereka bagian dari permainan yang bernama HAM tersebut. Istilahnya, “ada fulus, urusan mulus.” Walaupun memang tak semua LSM berlaku seperti itu.
Nah sekarang kita jadi tahu posisi dilematis yang diemban Jokowi. Disatu sisi mau berantas terorisme dan turunannya, dilain pihak ada tembok yang sangat kuat untuk melawan upaya tersebut dengan semboyan utama: Demokratisasi dan HAM.
Jadi menarik menyaksikan hari-hari ke depan, utamanya pasca pelantikkan nanti. Dengan mempersulit kepentingan bisnis AS di Indonesia, otomatis Jokowi masuk dalam daftar ‘wajib ditumbangkan.’ Akankah dia bertahan dari gempuran di periode kedua nanti?
Disinilah soliditas pendukungnya dipertaruhkan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments