Lomba Adu Kuat


507

“Bang kenapa nggak menganalisis kasus tertusuknya Wiranto?” demikian tanya seseorang. Sebenarnya bukan nggak mau, tapi belum sempat saja. Kerjaan bejibun, sementara istri baru balik dari rumkit, kapan punya waktu untuk menulis?

Mumpung weekend, sekarang punya waktu luang untuk membahas hal tersebut.

Kita mulai yah…

Kasus penusukkan yang menyasar Wiranto, menimbulkan beberapa spekulasi. Pertama, kenapa sasaran antaranya Wiranto? Kedua, apa motif dibalik penusukkan itu? Kedua pertanyaan tersebut paling banyak nyantol ke saya. Ada apa gerangan?

Kasus itu bermula dari kunjungan kerja Wiranto dalam rangka meresmikan Ponpes Mathla’ul Anwar yang berada di Menes, Pandeglang, Banten (10/10). Tanpa basa-basi, tiba-tiba seseorang bergerak secepat kilat dan jleb-jleb, tumbanglah sang Menkopulhukam tersebut.

Belakangan orang tersebut diketahui bernama Syahrial Alamsyah alias Abu Rara.

“Berafiliasi ke Jamaah Ansharut Daulah yang berkiblat ke ISIS,” demikian papar aparat keamanan. Bersama sang ekskutor, diamankan juga seorang wanita bercadar yang juga ambil bagian dalam penyerangan tersebut yang belakangan diketahui sebagai pasangan kumpul kebonya.

Kalo sampai disini saja, ngapain juga anda menantikan ulasan saya? Pastinya anda ingin tahu kelanjutannya, benar kan? Okay, saya lanjutkan..

Bicara tentang gerombolan ISIS di Indonesia, sekarang sudah memasuki babak baru. “Sekarang mereka sudah bukan merupakan organisasi sel yang sifatnya hirarkis, tapi organisasi sel yang saling lepas,” demikian informasi yang saya dapatkan.

Aliasnya mereka sudah nggak lagi punya seorang pemimpin (Amir) dalam menjalankan aksinya. Yang ada sel-sel yang saling lepas, nggak terkoneksi satu sama lain. Makanya dalam  organisasi klandestine mereka, sifatnya sektoral. Ada JAD Lampung, JAD Bekasi, dan lainnya. Tapi nggak dalam satu garis komando.

Ini bisa disebabkan karena operasi senyap yang dilakukan oleh Densus 88 dan juga BNPT.

Akibatnya bukan saja mereka tercerai berai, tapi sudah kesulitan dalam mendapatkan bahan baku aksi utama mereka, yaitu bom.

Jangan heran, sel tidur jaringan teroris di Indonesia paling kesal dengan yang namanya Brimob atau kepolisian. Wereng coklat, julukannya. Karena institusi negara itulah, mereka jadi berantakan sperti sekarang ini. Bisa dibayangkan organisasi rahasia tanpa seorang Amir, apa efektifnya?

Nggak aneh, jika penyerangan ke Wiranto tempo hari, senjata tajamlah yang dijadikan alat untuk melaksanakan amaliah mereka. Kenapa nggak bom? Mau dapat dari mana, bahan bakunya?

Sampai sini clear, ya…

Terus, apakah sasarannya hanya semata-mata acak alias random?

Menurut analisa saya, nggak juga. Ada pesan yang hendak disampaikan lewat serangan tersebut. Dengan kata lain, Wiranto memang sengaja diserang, karena memang ada sesuatu yang lebih besar yang ingin disampaikan ke kubu Jokowi. Apakah itu?

Sebelum saya kasih jawaban, ada baiknya kita tahu bersama bahwa ada prosedur intelijen yang salah di lapangan sehingga jatuhnya korban. Kedua, ada operasi senyap yang dilakukan oleh pihak oposisi untuk melakukan aksi penyerangan tersebut.

Yang saya mau katakan adalah, aparat keamanan utamanya intelijen, kecolongan. Bagimana bisa dengan dana 700 milyar yang sudah digelontorkan ke pihak Densus 88 maupun BNPT, kok bisa aksi penyerangan dapat terjadi? Dengan dana yang mumpuni, ngapain aja kerjanya?

Hal kedua yang jadi sorotan saya, kok bisa Abu Rara tahu kalo Wiranto akan berkunjung ke ponpes Menes? Apa tiba-tiba saja tahu alias kebetulan semata? Dalam politik kita tahu diktumnya, nggak ada yang sifatnya kebetulan.

Dengan kata lain, ada pembocor yang telah bersengkokol dengan operator lapang untuk melakukan eksekusi tersebut. “Antum besok serang Wiranto, karena besok dia mau kunjungan ke sini,” demikian kurang lebih skenarionya. Nggak heran, walaupun sederhana tapi cukup sukses aksi dilakukan.

“Coba abang perhatikan dengan baik di cukilan tayangan saat Wiranto diserang. Ada seseorang yang nggak kaget secara spontan atas aksi yang berlangsung tersebut. Dengan kata lain, orang tersebut lah yang diduga terlibat secara tidak langsung dalam aksi penusukkan itu,” demikian ungkap narsum.

Siapa dia, biarlah pihak berwajib yang akan mengembangkannya.

Namun bicara sosok Wiranto, memang cukup kontroversial. Minimal dalam beberapa statement-nya.

Saat ada prajurit TNI yang tewas di Nduga, Papua, beliau malah minta agar masalah tersebut tidak dibesar-besarkan. “Risiko (prajurit) memang seperti itu.”

Saat gempa di Ambon, Wiranto pernah menyatakan agar para pengungsi segera kembali ke rumah agar nggak jadi beban pemerintah.

Sebagai pejabat publik, seyogyanya ungkapan bernada kontroversial jangan pernah terungkap ke publik. Memang sih, risiko prajurit kalo harus mati dimedan juang. Memang sih pengungsi baiknya kembali ke rumah kalo situasi sudah kondusif. Tapi ngapain juga pernyataan yang nggak perlu terlontar.

Dengan ini saja, selain banyak juga pihak baik sipil dan militer yang nggak suka terhadap sosok Wiranto, cukup dijadikan alasan untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya. Perasaan tidak suka-lah yang dijadikan alasan utama untuk melakukan aksi penusukkan tersebut.

Nggak aneh kalo banyak kalangan istri prajurit yang saling bersaut-sautan untuk sekedar menertawakan aksi penyerangan tersebut. Karena di tubuh militer sendiri, yang saya dengar, Wiranto banyak pendukung sekaligus pembencinya.

Dan kebencian itu bisa dipicu salah satunya lewat pernyataan yang sifatnya nggak perlu tadi.

Lantas apa agenda besar dibalik penyerangan tersebut?

Apalagi kalo bukan pelantikkan yang akan berlangsung 20 Oktober nanti.

Apa ada upaya penggagalan? Bukan itu, sama sekali bukan. Melainkan hanya ingin menyampaikan pesan, kalo pemerintahan Jokowi dari awal sudah mendapat penolakkan dari kubu oposisi. Bukan awal yang baik. Dan ini secara vulgar sudah disampaikan.

Kalo sekarang cukup Wiranto selaku ring 1 istana yang jadi korban, bukan nggak mungkin berikutnya Jokowi yang akan jadi targetnya. Dan pakde, cukup membaca sinyalemen ini. Maka keluarlah penyataan pakde untuk “Perang melawan kaum radikalis”

Dan lewat Kasad yang berkolaborasi dengan Kapolri, aksi shock therapy diberikan dengan mencopot pejabat strategis di tubuh militer yang istrinya terlibat aksi nyinyir terhadap kasus penyerangan Wiranto tersebut.

Dampaknya sungguh dahsyat.

Para kadal gurun yang banyak bermukim di pemerintahan, langsung menghapus postingan mereka yang sifatnya menghujat pemerintah, begitu ada himbauan dari Kapolri untuk ‘mengamankan’ aksi teroris medsos tersebut. Maka aksi delete secara massal dilakukan melebihi kecepatan cahaya.

Tinggal disana sang tukang kayu yang ketawa cekikikan. “Oalah, katanya jihad di medsos. Baru diciduk dikit aja kok malah pada panik?”

Kesimpulannya para kadal gurun ternyata nggak sekuat yang dikira…

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!