Oleh: Ndaru Anugerah
Dua orang siswa SMP Negeri 21 Batam, Kepulauan Riau terpaksa ‘dikembalikan’ ke pihak orang tua mereka gegara menolak memberikan hormat kepada Bendera Merah Putih.
Bukan itu saja, mereka berdua juga berkeras untuk tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya saat upacara bendera berlangsung.
Sebelum mereka berdua ‘dikeluarkan’ dari sekolah, sebenarnya pihak sekolah telah mencoba mengadakan mediasi dengan pihak orang tua siswa. Namun apadaya, upaya mediasi tidak membuahkan hasil.
“Kejadian ini sudah berlangsung kurang lebih setahun,” demikian ungkap seorang narsum.
Setelah ditelisik, ternyata kedua anak tersebut beragama Saksi Yehova.
“Saksi Yehova itu bukan Kristen,” demikian ungkap seseorang. “Mereka menolak perayaan Natal, tidak percaya Yesus dan juga menolak berjabat tangan atau menghormati guru, apalagi sekedar bendera negara.”
Terlepas dari semuanya itu, ajaran untuk mengharamkan simbol negara apalagi menganggap negara ini thogut dan patut ditumbangkan, jelas benih-benih radikalisme. (baca disini) Dan intoleransi juga radikalisme tumbuh subur di negeri ber-flower ini, tanpa pandang bulu agamanya apa.
Nggak percaya?
Di Bali, di tahun 2014 sempat terjadi pelarangan penggunaan jilbab bagi siswa yang beragama muslim, dibeberapa sekolah. Sebutlah SMPN 1 Singaraja dan juga SMAN 2 Denpasar. Padahal kita tahu, bahwa Bali adalah pulau yang mayoritas penduduknya Hindu.
Namun memang yang paling banyak menyeruak ke permukaan adalah benih intoleransi yang menyasar kaum minoritas yang sudah tentu dilakukan oleh kelompok yang selama ini mengaku sebagai ‘mayoritas’.
Dan inilah yang merupakan bahaya laten sesungguhnya, karena kelompok ini sangat berpotensi untuk mengganti dasar negara kita.
Pada Juni 2019 yang lalu saja, sempat meluncur surat edaran kontroversial di SDN 3 Karang Tengah, Gunung Kidul – Yogyakarta. Isinya mewajibkan para siswanya mengenakan seragam muslim. Padahal nggak semua siswa beragama muslim. “Masa namanya Margaretha disuruh pake jilbab?”
Juga di kota Gudeg, tepatnya di SMAN 8 Yogyakarta, aksi intoleransi juga terjadi dimana sang kepala sekolahnya mewajibkan semua siswanya untuk mengikuti acara perkemahan tepat di Hari Paskah. Padahal yang namanya Hari Raya, sudah barang tentu mereka yang merayakannya pergi beribadah.
Kabar beredar, guru-guru dan juga siswa yang beragama Nasrani sempat mengajukan nota keberatan, namun nyatanya nggak digubris oleh sang kepsek. Belakangan karena kasusnya viral, akhirnya sang kepsek terpaksa mengganti tanggal setelah ada ‘desakan’ publik.
Intoleransi adalah cikal bakal radikalisme. Dan ironisnya ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara masif dan terstruktur di sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat menempa siswa untuk menjadi makhluk yang setidaknya humanis dan menghargai perbedaan yang ada.
Ini jelas bukan isapan jempol apalagi sekedar dongeng. Ini nyata dan ada di sekeliling kita.
Merujuk pada survei yang dilakukan oleh Kemenristekdikti di tahun 2018, sebanyak 23,3% siswa SMA di Indonesia memiliki pandangan intoleran karena mereka siap berjihad untuk menegakkan khilafah. Padahal kalo ditanya apa itu khilafah, mereka hanya bisa diam seribu bahasa.
“Pokoknya tegakkan khilafah! Titik!” begitu penuturannya.
Dan gelombang intoleransi yang memicu radikalisme di dunia pendidikan mengalami peningkatan sejak kasus ‘penistaan’ agama yang dilakukan Ahok di tahun 2016.
Setidanya survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) di tahun 2018 menemui pembenarannya bahwa setalah demonstrasi togel, kemudian mayoritas muslim menolak dipimpin oleh seorang non-muslim, walaupun kompeten dibidangnya.
Bagaimana intoleransi dan radikalisme bisa tumbuh subur di sekolah-sekolah kita? Siapa agen-agennya? Mengapa bisa menyebar dengan cepatnya seiring berjalannya waktu?
Semua permasalahan tersebut saya akan ulas pada tulisan saya berikutnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments